3 - Candice

43.1K 2.2K 10
                                    

Aku sempat membeku di pintu sebelum akhirnya menemukan keberanian untuk mendorong pemisah yang berada di antara kami. Pintu itu membuka mulus - tidak berderit seperti pintu apartemen yang kami tempati sekarang - dan akupun melangkah masuk. Aku sempat bertanya-tanya - dengan jantung berdebar keras - seperti apakah Decker setelah satu tahun kami tidak pernah berjumpa. Dan aku tidak perlu menunggu waktu lama untuk mencari tahu. Decker sudah berdiri di tengah ruangan - dalam posisi yang biasa aku sebut angkuh, kedua kaki membuka kecil dan tangan bersidekap santai - menjulang tegak seakan-akan sedang menungguku.

Lalu aku sadar, bahwa dia memang sedang menungguku. Bukankah aku yang memintanya untuk bertemu denganku?

Jadi, aku menyapanya.

"Decker, it's been a while."

Shit! Suaraku bergetar. Aku mengepalkan tangan dan memberanikan diri untuk menatap ke dalam matanya. "Bagaimana kabarmu?"

"Tutup pintu di belakangmu dulu."

Teguran itu membuat kedua pipiku terasa merona. Aku menggigit bibir dan berbalik patuh. See, that's what I mean. Decker tidak menyukaiku - dari dulu sampai sekarang. Sepertinya, sikap sinisnya juga tidak berubah. Sejenak, aku bertanya-tanya apakah memang ini yang ingin kulakukan? Menilik dari sikap dingin pria itu, kecil sekali harapanku untuk mendapatkan bantuannya.

Aku berbalik pelan, masih sambil berdebat dengan diriku sendiri.

"So?" Decker sudah bersandar di meja kerjanya, bokong pria itu bertengger kecil di atas permukaan mengilap itu sementara dia masih bersidekap dengan alis terangkat, menatap aku dengan pandangan bertanya. "Bagaimana kabarmu, adik kecil?"

Adik kecil? Aku selalu benci bila pria itu menggunakan panggilan tersebut. Decker tidak pernah menganggapku sebagai adik, jadi sebutan itu lebih seperti sindiran bagiku. Aku mengangkat bahu dan mengusahakan senyum kecil. Kenapa Decker bertanya jika ia tahu persis bagaimana kabar kami. Tidak mungkin tidak ada yang memberitahunya bahwa mantan ibu tirinya kini terjebak dalam sejumlah utang dan dikejar sana-sini.

"Tidakkah kau lihat kalau aku baik-baik saja?"

Aku tidak harus berputar pelan, seolah-olah meminta Decker menelusuri diriku tetapi itulah yang kulakukan dan ketika mata kami kembali bertatapan, aku melihat sinar di mata Decker menggelap dan suara pria itu menjadi lebih berat. "Aku bisa melihatnya. Kau tumbuh, Candy."

Sial! Bukan itu maksudku. Dan aku tidak suka dengan nada yang digunakan Decker karena aku tidak bisa membedakan dengan pasti - apakah itu ejekan ataukah sesuatu yang lain? Lagipula, aku benci sekali dipanggil Candy, cara Decker mengucapkannya seolah-olah membuatku merasa begitu... Sial! Aku tidak pasti dengan apa yang kurasakan.

"Well, I wish I could say the same thing about you, big brother."

Inilah masalahku. Aku tidak mengerti kenapa aku harus terpancing. Jika Decker mengatakan sesuatu, aku selalu tergoda untuk membalasnya. Mungkin juga itu yang menjadi alasan pria itu untuk bersikap sentimen padaku.

Aku tersipu kecil ketika suara tawa kecil Decker singgah di telingaku. "Funny."

Yeah, maybe. Decker jelas tidak tumbuh, tapi pria itu... bagaimana caraku menggambarkannya? Decker sama mengesankannya dengan Decker setahun yang lalu. Tidak, aku rasa dia menjadi lebih mengesankan dari yang terakhir kuingat. Sejak dulu, kakak tiriku ini memang tampan - jenis iblis tampan yang membuat banyak wanita menggelepar oleh rasa damba. Kau bertanya kenapa aku tahu? Tentu saja aku tahu - bagaimanapun aku juga wanita, jadi aku bisa menyelami perasaan mereka.

Oke, kembali lagi kepada Decker. Pria yang sekarang berada di hadapanku ini memang memiliki pesona di atas rata-rata. Mungkin itu yang membuatnya menjadi begitu angkuh dan arogan. Selain memiliki tubuh kekar dengan otot-otot yang bersembulan, pria itu sangat beruntung karena dilahirkan dalam kesempurnaan fisik dan kesempurnaan itu hanya semakin matang dari hari ke hari.

"Jadi, bagaimana kabar ibumu?"

Aku mengerjap dan memindahkan kakiku dengan gelisah. Tapi, sebelum aku sempat menjawab, Decker sudah melanjutkan. "Kudengar belakangan ini dia cukup sibuk."

Aku menggeretakkan gigi mendengar sindiran halus pria itu. Sesaat, hampir saja aku berubah pikiran. Aku nyaris berbalik dan berjalan pergi, kukatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidak membutuhkan bantuan pria ini. Tapi, aku tahu kalau aku tidak punya banyak pilihan. Bahkan sebenarnya, aku tidak lagi memiliki pilihan. Decker adalah satu-satunya jalan terakhirku, jika tidak maka aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku ke tempat ini.

Aku melonggkarkan tenggorokan dan mengangkat wajah agar mata kami bisa bertemu. Tidak ada gunanya berbasa-basi - aku dan Decker tidak pernah melakukannya, malah biasanya kami saling menghindar.

"Ibuku adalah alasan aku datang ke sini."

Alis sempurna itu kini mencuat kian tinggi.

"Oh, aku pikir kau datang mengunjungiku, Candy. Now, I feel disappointed."

Aku mendengus dan kembali memindahkan kakiku. Aku sangat ingin berbalik dan lari dari tempat ini, aku tidak menyukai cara Decker menatapku dan aku lebih tidak menyukai reaksi aneh yang mulai berkumpul di dalam diriku. But somehow, tatapannya memakuku di tempat.

"Bukan aku yang mengusirmu dari rumah, Decker."

Aku terkejut ketika pria itu kembali tertawa - begitu lepas, begitu menyenangkan - seolah-olah aku baru saja melemparkan lelucon yang paling lucu. Oke, pria itu hanya bersikap jahat, aku tahu.

"Bersikap sinis tidak cocok untukmu, Candy."

Terserahlah. He can go to hell and I still don't care.

"And why you are here again?"

Aku menarik napas dalam, masih sambil berkata pada diriku sendiri bahwa aku sangat tidak menyukai cara pria itu tersenyum padaku - seolah-olah dia mengetahui sesuatu yang tidak aku ketahui dan itu menyenangkan untuknya.

"You have to help my mom. She is in real trouble but I believe you already knew that."

Decker bahkan tidak bertanya - yang membuktikan bahwa si brengsek itu memang tahu. "And why should I?"

"Because she's your step mother."

"She was."

Pria itu benar-benar brengsek. "You are such an asshole, Decker."

Sekali lagi, suara tawa pria itu mengejutkanku. Aku menegang waspada ketika pria itu menegakkan tubuh. "Kalau aku membantu ibumu, memangnya apa yang bisa kudapatkan?"

Aku mengerjap. Decker terlihat serius.

"Kau harus tahu, bantuanku tidak akan gratis, Candy. Apa yang bisa kautawarkan?"

Sudah kukatakan kalau aku tidak menyukai cara pria itu tersenyum. Kini, senyum yang sama kembali mengantung di bibirnya. Senyum yang membuat bulu kudukku meremang samar. Memangnya, apa yang bisa kutawarkan? I left with nothing!


Stepbrother Lil' PetOù les histoires vivent. Découvrez maintenant