IX | S w e e t - t a l k

47.4K 7.1K 615
                                    

Jakarta adalah salah satu kota yang rentan akan kejahatan. Apa pun. Kejahatan fisik, otak, psikis, ekonomi dan politik. Penghancur masa depan sekaligus tempat membangun hidup cemerlang. Tinggal gimana kamu-kamu membawa diri.

Sebetulnya bukan hanya di Jakarta, kota mana pun kuyakin memiliki kadar masing-masing. Namun, kayak udah jadi kebenaran universal gitu kalau Jakarta tempatnya kegelapan. Nggak sedikit, orang-orang pendatang yang rusak ketika sudah berada di sini. Meski begitu, jangan takut, banyak juga yang awalnya bukan siapa-siapa dan menjadi istimewa di Jakarta.

Balik lagi, hati-hati aja dalam bergaul. Jangan sampai keliru dan justru rugiin diri sendiri. Sama kayak anak artis ganteng itu, ya ampuuun, aku kasihan banget begitu lihat mukanya yang babak belur karena ulah oknum yang aku belum tahu siapa sesungguhnya. Saling lapor sana-sini, minta maaf juga. Dan, kalau sudah sakit begitu kan diri kita sendiri yang rugi.

Yuk, sama-sama jaga diri.

Aku juga gitu, selalu coba buat melindungi diri dari orang-orang supaya nggak kena kejahatan-kehatan di atas. Baik itu fisik, otak, atau psikis. Namun, sayang sekali, Boooook, sekarang ini, aku lagi diserang kejahatan psikis!

Coba lihat di depan ini, si Gabriel gadungan lagi masang muka serius banget. Duduk di kursi rajanya dan aku duduk bak tersangka. "Saya nggak mau tau, cari model buat kover edisi makanan Jawa Timur nanti tapi yang penampilannya casual," katanya. Enteng banget!

Aku yang udah mau meledak.

"Kulit sawo matang, sipit-sipit dikit tapi jangan sipit banget, tinggi badan kira-kira 185 cm, berat badan disesuaikan, modern ya, Ga. Terus..." Hajar, Pak Boooss! Jangan kasih kendur. Aku kesel bangeeeet. Sumpah. Dari tadi dia nyebutin tuh karakteristik, aku nggak kebayang sama sekali siapa yang bakal jadi model kover. "Jangan terlalu murah senyum macam Ongka, harus ada misteriusnya dikit. Kalau bisa---"

"Pak."

"Ya?"

"Misterius atau enggaknya kan bisa diatur pas pemotretan. Dia kan cuma tinggal pegang makanan sambil senyum tipis, gitu kan?"

"Cerdas!" sahutnya mantab, jentikin jari segala. "Udah kebayang siapa modelnya?"

Aku gelengin kepala.

"Yah, Ga. Ayo dong pikir. Ayo, ayo!"

"Bapak inget nggak karakter fisik yang Bapak sebutin tadi?"

"Kamu nggak nyatet?"

"Habis, semua itu cuma khayalan, Pak! Saya kebayangnya malah Robby Purba."

"No!" Tangannya langsung dikibasin hiperbolis. "Dia terlalu sporty. Anak-anak macam Aliando gitu lho, Ga. Yang kalau ibu-ibu lihat pasti gemes dan bakalan suka baca majalahnya sampai habis."

Anyway anyway anyway, Aliando itu emang kulitnya sawo matang ya? Matanya sipit? Yang siwer aku apa dia?

"Sebentar, Ga." Tangannya keangkat di udara, matanya lagi fokus ke layar laptop. "Tapi Aliando nggak sawo matang."

"Nah! Betul!"

"Yaudah deh, terserah kamu gimana modelnya." Gini kan enak! Bantu kerja bawahannya. "Nggak harus muda, yang penting sesuai sama apa yang saya sebutin tadi."

Dan, itu sama saja. Justru semakin bikin aku repot karena semua yang dia sebutin cuma ilusi!

"Harus banget, Pak, nggak bisa dinego bintang terkenal gitu? Amar Zoni, Pak? Reza Rahardian? Atau Rikas Harsa, Pak, duda yang saya yakin deh bikin siapa pun baca pasti ngeces."

"Itu kalau jiwa kamu yang ada di raga mereka. Udah ah. Selesai. Kamu balik sana ke mejamu."

Pak TNI, nge-jagal orang dihukum enggak?



SWEET - TALK ✔️Where stories live. Discover now