XI | S w e e t - t a l k

45.7K 6.4K 448
                                    

Jadi publik figur tuh hidupnya serba salah menurutku. Mau sok bijak setiap kasih caption, dikatain pencitraan. Mau yang sarkas, dibilang nggak tahu aturan. Unggah semua kegiatan pribadi, disebut pamer dan ria. Sementara kalau milih buat jarang update, dibilangnya sok misterius. Ugh, aku kayaknya nggak bakal kuat deh buat jadi kayak mereka. Yakin.

Belum lagi usia-usia muda yang darahnya tuh masih membara gitu. Punya pacar bening dikit, tangan gatal banget mau upload sambil kasih emot love dan kiss di caption. Ditambah ucapan tanggal jadi, atau anniversary yang kedua bulan. Habis gitu, di-bully deh sama netizen. Kaaaaan, serem kan jadi publik figur. Ih, nggak mau ah.

Pemerintahan pun begitu. Mau ambil keputusan aja susahnya minta ampun. Ada aja yang pro dan kontra. Pejabat publik dandan cantik dikit, dikatain sok ngartis, presiden bikin vlog, dibilang terlalu gaul. Serba salaaaah!

Sama nih kayak Ongka. Apa pun yang dia lakuin tuh bikin kening aku mengerut dalam. Salah aja di mataku gitu (aku kadang bukan termasuk netizen nyinyir sih). Bingung, Booook! Tiba-tiba nggak ada kabar, datang lagi dengan songongnya. Daaaaaan, pertanyaanku sekarang begitu dia turun dari mobil, jalan mendekati aku yang udah berdiri di depan pintu adalah, "Kamu stand by di mana sih kok bisa langsung jalan ke sini?"

Salah satu yang bikin kesal dari Ongka itu cengirannya di saat aku lagi serius. Suwer. "Jadi, Bhoo. Tadi tuh aku waktu abis ke kantormu balik dulu ke K-kafe, ngobrol bentar sama Dilan soal kerja sama bareng makanan daerah gitu. Nah, habis itu aku emang niatnya mau ke sini, karena siapa tahu kamu udah pulang, eh pas aku di jalan, kamu telepon. Klik banget nggak sih kita?"

Hmmmmmm. "Kerja sama sama makanan daerah?"

Kepalanya mengangguk mantab. Malam ini dia pakai flanel merah kok manis, sih. "Tapi nggak jadi, Dilan belum nemu gimana caranya makanan daerah bisa berbaur sama Itali."

"Kok Dilan yang mikir?"

"Karena sesungguhnya, Bhoo, modalku di K-kafe tuh cuma nerima uang dan ngatur."

Ya ampuuuuuun, mengakui kelemahan tanpa malu! "Kok bisaaaaa? Dilan kok mau dijongosin gitu sama kamu?"

"Bukan dijongosin, Bhooo." Tangannya menyentil jidatku pelan. Aku mendelik tapi dia malah mengedipkan mata. Bahaya, Sist. Sungguh bahaya. "Jadi, Dilan itu kan sahabatku sekaligus patner sekaligus---eh, Bhoo, aku nggak disuruh masuk?"

Eh, iya! Sampai lupa kalau dia pacarku dan butuh ngobrol di dalam rumah biar nggak kayak abege zaman 80-an. Kalau kata Mama dulu, gadis sama bujang nggak boleh ngobrol di dalam rumah, takut khilaf terus bunting. Lucu memang kalau dengar cerita Mama. Yakali, ngobrol di dalam rumah langsung bunting tanpa main kuda-kudaan dulu. Nggak mungkin, kan? Yakan?

Ongka duduk di sofa seperti biasa. Aku perhatiin, nih orang kalau duduk di situ teruuuuuus nggak pindah-pindah. Geser sesenti pun kayaknya enggak. Cara kakinya juga sama, di tekuk di depan sempurna, tangan di taruh di atas paha. Ya ampuuun, anak manis.

Tiba-tiba dia nyengir tanpa alasan. Aku lama-lama beneran horor deh sama laki satu ini. "Kamu kenapa sih, Ka?"

"Memangnya kenapa?"

"Senyum-senyum gitu?"

"Enggak pa-pa. Seneng aja bisa ketemu kamu. Dalam keadaan Bhoomi yang berbeda. Pakai piyama Minion gitu kelihatan makin unyu, Bhoo. Serius."

Aku baru sadar kalau ternyata piyama ini udah melekat di tubuh! Lah, udah terlanjut juga, mau apa. Mending pura-pura cari topik lain. "Ka, kamu ke sini malem gini nggak takut pulangnya?"

"Takut kenapa?"

"Kan lagi musim geng motor, Ka. Nanti kalau kamu tiba-tiba dihadang di tengah jalan gimana?"

SWEET - TALK ✔️Where stories live. Discover now