Rindu

59 4 1
                                    

Pagi yang tiba tanpa ditemani terang mentari. Sisa awan kelabu menghiasi langit membawa aroma kehampaan atas kurangnya kehangatan fajar yang harusnya menyapa pagi ini. Hujan malam hingga dini membuat ramai, bagai rintihan langit yang mengucurkan percik dari awan-awan yang menyelimutinya. Rintiknya berisik, namun tetap mengantar pulas semalam. Bahkan embun tetap ada namun tak terbias oleh sinar yang biasanya menciptakan keindahan spektrum warnanya. Aku merasa, ketenangan yang seperti ini seharusnya adalah angan yang selalu kuimpikan. Sebagaimana aku berandai bahwa akan hidup damai selepas kepergian saudaraku. Namun hati tak lagi mampu membohongi diri. Nampaknya cinta ada karena biasa, lama-lama aku terbiasa dengan adanya Danar disisiku. Lama-lama aku merindukan Danar yang selalu membuatku sirik dan dengki kepadanya, sehingga aku harus mengaku bahwa hari ini aku merindukan sosok Danar dalam kehidupanku. Ayah dan Ibu juga sangat merindukan Danar. Entah mengapa Danar tak pernah memberitahukan kabarnya kepada kami. Aku berharap ia bisa mengirimkan surat untuk kami, paling tidak hanya memastikan apakah dia dalam keadaan yang baik-baik saja disana. Terkadang dimeja makan, ayah memulai cerita tentang kenangan semasa Danar berada dirumah. Dan entah kenapa aku juga tertarik untuk hanyut dalam nostalgia tersebut.

Semenjak memasuki SMA, aku tidak lagi berangkat bersama ayah. Andai hal itu masih kulakukan, bagaimana respon teman-teman disekolah saat melihatku. Bahkan apa yang ada dibenak mereka sudah terlihat oleh mata kepalaku melalui angan yang kubuat sendiri didalam khayalan. Pasti julukan anak manja, anak ayah, anak manis, sudah menjadi panggilan yang dianugrahkan oleh teman-teman. Lagipula, jarak dari sekolah kerumah tidak terlalu jauh sehingga aku merasa nyaman untuk menggunakan sepedah ketika berangkat sekolah.

Saat bel istirahat berbunyi aku menyempatkan melihat mading untuk membaca apa saja yang bisa kutemukan disana. Dulunya, aku adalah manusia pemalas dan enggan mengenal pengetahuan juga anti sekali terhadap buku. Semenjak kepergian Danar, lambat laun hal itu berubah dariku. Masih teringat ketika Danar berprestasi disetiap tahun selama sekolah, rasa malu membuatku menyesal atas apa yang telah terjadi. Betapa bodohnya diri ini yang tidak bisa sepertinya. Sudahlah, saat ini aku berusaha berbenah untuk menjadi yang lebih baik. Hari ini banyak artikel yang terpampang dimading, kumpulan puisi yang ditempel perwakilan kelas, ada juga cerpen, serta kritik sosial dengan cermin kekacauan hidup masyarakat yang dituangkan dalam bentuk gambar. Namun, ada satu tulisan yang menyita perhatianku kali ini. Puisi yang dimuat dalam koran dengan keterangan hasil seleksi terbaik. Kutulis ulang puisinya, sebab aku merasakan apa yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca yang menikmati barisan syair indah yang ia sajikan sedemikian rupa.

IBU DALAM IMAJI

Karya: D-Aksa

Aku dalam goa tanpa lilin

Disini aku akan menggambar ibu

Kumulai dengan pola wajah

Kemudian kuarsir rambutnya

Tak kusangka, jari tergelincir dan kuasku terjatuh

Gambar yang kubuat tak terlihat

Sungguh sulit menggambar sosok ibu
Abstrak bagi seorang piatu

Apa yang bisa kudapatkan dari mayat yang tak berdaya

Kuputuskan membuat ibu dalam wujud yang berbeda

Dan aku mampu menghidupkannya

Aku bersombong kepada tuhan

Kubuat ibu seperti yang kumau

Meski ibu yang kubuat tak bisa memiliki raga

Namun dengan cara ini, ibu kekal takkan mati dalam imaji

Aku menilai bahwa sang penulis merasakan kerinduan yang teramat dalam terhadap kasih sayang seorang ibu. Kerinduaan yang membutakan dirinya terhadap apa yang selama ini banyak orang lain pernah dapatkan. Bagaimana ia mencurahkan isi hatinya dengan memimpikan wujud seorang ibu yang seharusnya memberinya kasih dan sayang didunia. Ibu yang seharusnya ada dikala ia berada dalam masa-masa sulit selama tertimpa permasalahan. Didalam kesedihan yang terlukis, semui itu tak mampu ia dapatkan. Hingga angan yang sungguh mengharuskan ia membuat ibu dalam dunia khayalnya. Kemudian menghidupkan sosok ibu dalam bayangannya sendiri. Sungguh memilukan kehidupan yang sedemikian rupa. Ketika membaca itu aku teringan kepada ibuku dirumah. Seraya bersyukur dalam hati bahwa aku masih memiliki kebahagiaan yang sempurna dalam kehidupanku. Tulisan ini juga mengingatkanku kepada seorang saudara yang juga bernasib sama seperti penulis puisi ini. Ingatan akan dirinya membuatku rindu kehadirannya disini. Semoga dia sedang bahagia ditempatnya. Setelah mengutip naskah puisi itu, kuputuskan untuk memasuki kelas sebelum bel masuk dibunyikan.

۩۩۩

Dirumah, aku merasa kejenuhan menghinggapi diri. Ayah belum pulang dari tempat beliau bekerja. Ibu? aku tak menjumpai beliau semenjak pulang sekolah. Mungkin ibu sedang dirumah tante Reni, teman akrab yang tinggal dikomplek sebelah. Biasanya tante Reni yang berkunjung kerumah untuk melakukan aktifitas selingan ala ibu rumah tangga. Apa yang mereka lakukan perlu dimaklumi, rasa penat dengan kegiatan rumah yang itu-itu saja sehingga tidak menemukan hiburan yang menyenangkan hati. Lupakanlah mereka dengan kesibukan yang membahagiakan. Sore ini aku memutuskan untuk keluar dari kamar dan berjalan tak tentu arah hingga kaki mengantarkanku menuju kamar yang satu tahun terakhir telah kosong tak berpenghuni. Kamar ini adalah kamar yang ditempati oleh Danar. Aku membuka pintu dan sejenak memperhatikan seisi ruangan. Kuperhatikan barang-barang tertata rapi, meskipun sederhana hanya tempat tidur dan almari untuk meletakkan pakaian. Diatur sedemikian rupa sehingga nyaman untuk ditempati. Sedikit debu dan sarang laba-laba yang terlihat karena selama setahun ini tidak ada yang sempat membersihkannya. Jujur saja, selama kamar ini ditempati oleh Danar, aku tidak pernah mengunjunginya. Mataku tertuju pada alamari yang terletak dibagian sudut utara ruangan. Kutarik tangkainya dan kulihat baju-baju Danar yang tak lain adalah baju bekas milikku. Tertata rapi. Ternyata, ketika ia pergi meninggalkan rumah ini, Danar hanya membawa beberapa pakaian bekasku atau mungkin tidak sama sekali. Kuamati isi almari ini masih utuh, tak berkurang seperti saat ibu memintaku untuk memberikannya kepada Danar.

Disela-sela tumpukan pakaian, kulihat selembar kertas yang terselip dan aku menariknya. Kertas itu berisi gambar keluarga, ayah dan ibu bersama seorang anak yang saling bergandengan tangan. Gambar berjudul rindu. Aku terdiam dan tidak memikirkan apa-apa selama sesaat. Satu hal yang belum pernah kurasakan, lagi-lagi aku mempelajarinya dari Danar yang kini keberadaannya tidak lagi ada disisiku. Betapa perihnya kerinduan yang menyelimuti diri. Kerinduan Danar terhadap kasih sayang orangtua yang selalu ingin ia dapatkan. Setelah mengetahui ini, aku tidak menjamin keberadaan Danar bersama keluarga kami mampu mengobati kerinduan akan kasih sayang yang lama ia dambakan. Entah ayah dan ibuku mampu membantunya untuk mencicipi rasa itu atau bahkan tidak sama sekali. Yang jelas, hal itu tidak berlangsung lama setelah kepergiannya. Kini rindu bisa jadi menghampirinya kembali bersama kepergiannya dari rumah ini. Kerinduan kembali menjadi teman yang sejati. Menemaninya bersama dengan kesedihan.

Metamorfosis Tak SempurnaWhere stories live. Discover now