Bab 1

1.5K 43 0
                                    

Warna hitam memang warna yang suram.

Rivaldi buru-buru menggulung kasur yang dia tiduri semalaman tadi lalu mendorongnya ke pojok kamar. Dengan gerakan kilat dia melipat seprai dan menaruh di atas kasur tadi. Disusul kemudian dengan menumpuk bantal dan guling di atasnya.

Rival –panggilan akrabnya, segera berhambur keluar kamar. Kakinya berjalan cepat menuju dapur. Tangannya dengan gesit mengambil handuk yang tergantung pada paku kecil di dekat kamar mandi. Dia membaca doa masuk kamar mandi dalam hati, lalu melangkahkan kaki kiri ke dalam kamar berukuran kecil itu. Semua dia lakukan dengan cepat karena dia tak ingin mendengar omelan dari sang Nenek yang amat cerewet.

Beberapa menit kemudian, dengan berbalut handuk pada bagian pinggang Rival keluar dari kamar mandi. Tubuhnya masih terlihat basah, tapi dia mengabaikannya. Dia harus segera berpakaian sebelum Nenek melihatnya dan mengomel sepanjang sarapan. Rival amat tidak betah mendengar omelan yang berputar-putar seperti sinetron ribuan episode itu. Apalagi jika omelan itu sampai menyeret-nyeret nama Ibu yang meninggalkannya tanpa alasan yang jelas 3 tahun lalu dan Ayah yang mulai mabuk-mabukan semenjak ibu meninggalkan mereka.

Rival tersenyum getir mengingat peristiwa memilukan itu. bahkan tidak sampai di situ saja. Berbulan setelah ibunya kabur entah ke mana, ayahnya juga ikut kabur. Mengabaikan kewajibannya untuk merawat Rival yang masih membutuhkan kasih sayang sang ayah. Pria dewasa itu meninggalkan Rival begitu saja. Membiarkannya berada dalam asuhan Nenek dan Kakek, orang tua dari ayahnya.

Rival masuk ke kamarnya yang kecil dan bercat putih yang sudah pudar sembari menghela napas. Menghalau segala gerimis yang mulai mengelayut di dadanya. Pemuda itu lantas mengambil kemeja putih lengan pendek dan celana biru yang ada di lemari pakaian berbahan plastik dan sudah usang sementara kakinya menyisihkan pakaian-pakaian kotor lain yang dia tumpuk di lantai. Dia akan mencucinya setelah pulang nanti. Kebiasaannya sejak SMP. Dia terlalu malas bangun pagi demi untuk mencuci pakaiannya sendiri. Untung saja Nenek tidak memermasalahkan hal tersebut. Selama Rival mencuci pakaiannya itu sudah cukup bagi Nenek.

Rival lantas membuka jendela kamarnya. Membiarkan udara pagi yang segar masuk ke dalam kamarnya yang sumpek. Dia mengamati sejenak embun yang menempel pada rumput di samping rumah lalu memeluk tubuhnya sendiri guna mengusir dingin yang tiba-tiba menyergapnya. Untuk sekian detik dia teringat pada kejadian bertahun lalu. Saat dia masih amat kecil. Kala ibu dan ayahnya masih ada di rumah ini. Ibu akan menggendongnya yang sudah bangun menuju ke jendela. Mengamati ayah yang membelah kayu untuk dijemur dan dijual di pasar.

Rival tersenyum pahit. Kehidupan keluarganya memang tidak sama dengan keluarga lain. Dia anak tunggal. Namun sayang, dia adalah anak yang ditinggalkan orang tuanya. Tak dianggap berharga. Tak diinginkan. Begitulah pemikirannya selama ini.

Rival kembali menghela napas. Menata perasaan hampa yang sudah mengakrabinya selama ini. Kemudian dia berjalan ke cermin. Mematut dirinya di depan kaca berukuran sedang itu. Mengamati diri yang kembali mengenakan pakaian SMP. Senyum getirnya mengembang. Benaknya tiba-tiba memikirkan bahwa kali ini pun mungkin orang tuanya tak menyadari kalau dia telah melewati masa SMP.

Sekarang, Rival sudah SMA. Hanya saja pakaian kebangsaan SMA Kita baru akan dibagikan hari ini. Itu pun tidak membeli. Melainkan hasil pemberian dari siswa kelas XII yang baru saja lulus. Warnanya pun hitam. Warna seragam sekolah swasta tersebut menggambarkan sekali bagaimana keadaan sekolah tersebut. Suram. Sesuram masa depan siswa-siswinya.

Siswa SMA Kita memang tidak berjumlah ratusan. Sebagian besar adalah anak-anak berandal yang tentunya tidak diterima di SMA Negeri atau SMA swasta ternama. Hanya sekolah tersebut yang menerima para para siswanya berkelakuan seenaknya. Atau begitulah yang para siswa di sana pikirkan selama ini.

Hujan Kemarin Karya Orina Fazrina (Telah terbit)Where stories live. Discover now