Bab 9

313 16 2
                                    

Bab 9

Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan meratap

Berita kebakaran yang menghabiskan rumah Dimas dan beberapa tetangganya menyebar di sekolah. Pihak sekolah pun sepakat untuk meminta sumbangan suka rela dari para siswa. Tiap ketua kelas diminta untuk mengumpulkannya.

Dini, setelah mendengar kabar tersebut tampak tidak percaya. Matanya memancarkan keprihatinan dan sesal yang mendalam. Mencoba memahami duka yang Dimas rasa setelah kehilangan harta-benda dalam sekejap mata.

“Jangan mengkhawatirkannya,” kata Rival sembari memasukkan seluruh uang jajannya ke amplop sumbangan yang Dini pegang.

“Aku tidak punya uang untuk menyumbang,” cicit Dini yang masih berdiri di depan mejanya. Bingung ingin memungut sumbangan dari siswa lain sementara dirinya tidak menyumbang.

Rival tersenyum tipis. “Kalau tak bisa menyumbang dengan uang, kau bisa menyumbang dengan tenaga,” ujarnya bijak. “ Tapi terlalu berat memang untuk perempuan,” tambahnya. “Jadi, kau bisa menyumbang dengan doa yang baik untuk Dimas. Itu juga sudah cukup,” ujar Rival.

Dini menatap Rival. Senyum tipis terukir di wajahnya. Seakan mengucapkan terima kasih dengan senyuman itu. “Meski kau pemarah, tapi ternyata kau cukup bijak juga,” ujarnya setengah meledek.

Rival mengangkat bahunya cuek. “Jangan menilai seseorang dari luarnya,” tegurnya lalu kembali ke bangkunya.

Dini hendak protes ketika sebuah suara yang amat dia kenal mengalihkan perhatiannya.

“Maaf aku terlambat,” suara Dimas menarik perhatian seluruh siswa. Termasuk Dini.

“Kau sekolah? Bukannya kata Rival tadi ijin?” heran Dini dengan perasaan lega. Setidaknya kehadiran Dimas di kelas menegaskan kata-kata Rival kalau memang pemuda itu baik-baik saja.

Dini menunggu Dimas yang berjalan ke arahnya. “Tidak jadi. Abah menyuruh sekolah saja. Pakai baju bebas pemberian tetangga. Seragamku yang tidak terbakar yang kupakai kemarin saja. Dan itu baru dicuci tadi pagi,” katanya. Dia terkekeh kecil di akhir kalimat. Membuat Dini melemparkan tatapan simpati.

“Jangan memaksakan tersenyum kalau kau sedang berduka,” tegur Dini yang tidak suka dengan keceriaan Dimas barusan. Keceriaan yang dipaksakan. Padahal jelas-jelas mata pemuda itu tampak tidak bersemangat dan penuh duka.

“Dalam kamus hidupku, aku hanya akan bersedih satu hari. Setelahnya aku akan berusaha untuk berbahagia,” kata Dimas sambil memasnag wajah masih ceria secara paksa. “Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan meratap,” katanya yang sukses menghadirkan tepuk tangan dari para siswa di kelas yang mendengar.

Dini mendengus. Dia mengamati ekspresi Dimas dengan saksama. Akhirnya dia memaksakan diri untuk percara bahwa pemuda di depannya memang baik-baik saja. “Syukurlah kalau kau tidak apa-apa.”

Dimas mengerling jahil. Senyum lebarnya mengembang. “Apa ini? Kau khawatir padaku? Aih, manisnya...”

Dini langsung menampar bahu Dimas. Merasa muak melihat sikap Dimas yang kembali menggodanya.

“Eh? Apa itu?” Dimas menatap amplop di tangan Dini.

“Sumbangan suka rela untukmu,” kata Rival lalu menepuk pundak sahabatnya dengan sikap hangat.

“Wah! Kalian memang baik,” puji Dimas dengan gembira sambil menatap Dini penuh cinta.

“Kepala Sekolah yang menyuruh,” sahut Dini lalu buru-buru berkeliling kelas. Tak mau ditatap Dimas lebih lama.

“Awas kalau ada yang tidak menyumbang,” ancam Dimas tidak serius.

Rival menyikut Dimas. Tapi terlambat, Dini terlanjur mendengar dan merasa tersinggung.

“Memangnya kenapa kalau tidak menyumbang? Kau kira kita semua yang ada di sini punya uang?” sewot Dini lalu menyerahkan amplop Dimas begitu saja pada pemuda itu. Dia lantas keluar kelas. Wajahnya mengeras menahan jengkel.

“Masa kau lupa kalau Dini bukan orang yang berada?” heran Rival.

Dimas menepuk keningnya. Menyadari kebodohannya barusan. “Aku tadi hanya bercanda, Val. Kau tahu sendiri pantang bagiku meminta-minta.”

Rival menggedikkan bahu. “Sayangnya dia menanggapi ucapanmu dengan serius,” katanya sambil menunjuk Dini yang keluar kelas dengan matanya.

“Bagaimana ini?” Dimas tampak gundah.

“Dia tadi sudah menyesal karena tidak bisa menyumbang. Aku sudah menenangkannya dengan bilang doa yang baik untukmu pun bisa sebagai ganti uang. Tapi kau malah merusaknya.”

Dimas mendecakkan lidah. Niat tadi mau bercanda, tapi malah ditanggapi serius oleh Dini. Orang yang dia sukai! Apa hidupnya masih kurang malang, ya?pikirnya gundah.

“Kacau!” umpat Dimas lalu berlari keluar kelas. “Din! Aku cuma bercanda!” teriaknya di sela langkah kakinya.

Rival hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Dimas. Dia tersenyum kecil. Merasa lucu pada tingkah sahabatnya itu. Juga pada dirinya yang terlalu khawatir pada pemuda itu. Harusnya dia tahu, Dimas bukan tipe orang yang mudah terpuruk.

[]


Hujan Kemarin Karya Orina Fazrina (Telah terbit)Where stories live. Discover now