Bab 3

549 19 4
                                    

Hitam itu suram. Namun jika dipadukan dengan warna lain, dia akan menjadi elegan.

Seperti yang tertera di papan pengumuman, siswa-siswi baik yang baru maupun yang lama diminta untuk berkumpul di lapangan. Rival dan Dimas juga termasuk dalam kumpulan itu.

Seorang pria berusia awal lima puluhan berdiri paling depan dan menghadap para siswa baru. Dia tampak berwibawa sekaligus hangat. Seakan menegaskan bahwa menjadi kepala sekolah tidak harus tampak kaku dan mengancam.

“Selamat pagi,” ucap pria itu dengan penuh wibawa.

“Pagi!” balas seluruh siswa baru yang tidak sampai dua puluh orang itu.

“Selamat datang, anak-anak dengan masa depan cemerlang,” puji pria itu. Senyuman menghias wajahnya. Seakan-akan dia percaya bahwa para siswa di depannya itu memang akan memiliki masa depan yang cerah. Entah mengapa, begitu mendengar kalimatnya, dada Rival berdesir. Seakan bagian dalam dirinya bergembira mendengar kalimat penuh pujian itu.

“Senang rasanya Saya bisa kembali menyambut kalian di SMA Kita ini,” lanjut kepala sekolah tersebut. “Saya berterima kasih atas kepercayaan kalian yang mau menjadikan sekolah ini sebagai batu loncatan untuk meraih mimpi kalian. Saya selaku Kepala Sekolah dan guru-guru di sini akan berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan mimpi terbaik kalian.”

Beberapa siswa kelas sebelas dan kelas dua belas yang ikut berbaris bertepuk tangan meriah. Seakan kalimat itu begitu dinanti mereka.

“Ingatlah bahwa,” Kepala Sekolah memberi jeda pada pidato penyambutannya. “Mimpi adalah kunci~ untuk kita menaklukan dunia~ Berlarilah tanpa lelah~ Sampai engkau meraihnya~” sambung pria tersebut sambil menyanyikan lagu Nidji untuk soundtrack film bertema pendidikan terbaik di Indonesia beberapa tahun lalu.

Para siswa baru yang mendengar langsung tertawa. Merasa pidato Kepala Sekolah tersebut sangat konyol. Apalagi suaranya begitu sumbang saat menyanyi. Beda sekali dengan siswa lama yang mengangguk penuh keyakinan atas nyanyiannya.

“Mungkin bagi kalian ini lucu,” ucap Kepala Sekolah itu dengan suara cukup keras. Menyaingi keriuhan yang tercipta akibat nyanyiannya. “Tapi lagu tersebut benar adanya. Hanya orang-orang yang bermimpi besar yang bisa menjadi orang besar,” katanya lantang.

“Hanya mereka yang bermental kuat, yang bisa mengejar mimpi tanpa menyerah. Dan Saya harap mental kalian seperti itu juga,” ungkap Kepala Sekolah. “Saya katakan pada kalian,” lanjutnya berapi-api. “Masyarakat memang memandang SMA Kita sebagai sekolah sampah, sekolah buangan. Tapi kita tidak boleh sekalipun meyakini bahwa kita adalah sampah. Bahwa kita adalah orang-orang buangan. Kita adalah calon pemimpi besar!”

Para siswa heboh bertepuk tangan. Sebagian besar karena terbawa semangat Kepala Sekolah yang menggebu.

Kepala sekolah mengangguk dengan bangga terhadap reaksi yang diberikan siswa. “Mari kita tunjukkan pada dunia bahwa kita sama. Kita berhak untuk bermimpi dan berhak pula mewujudkannya,” lanjutnya berapi-api.

Tepuk tangan kembali membahana. Satu-dua dari seluruh siswa mulai memikirkan mimpi besar mereka. Sebagian kecil lainnya, terutama siswa kelas XI dan XII yang sudah sering mendengar pidato penuh semangat itu, memilih mengabaikan. Tak yakin mimpi mereka akan mewujud nyata. Mimpi sederhana sekalipun. Hidup terlalu kejam untuk membiarkan orang-orang seperti mereka bermimpi indah.

“Saya hampir lupa, saya belum memperkenalkan diri. Saya Wiryopranoto. Bisa dipanggil Pak Wiryo. Saya Kepala SMA Kita. Semoga kita bisa saling mendukung sampai tiga tahun ke depan,” tutup Pak Wiryo lalu kembali ke posisi para guru yang ada di selasar ruang guru.

Usai pidato Kepala Sekolah tibalah saatnya pembagian seragam. Satu persatu nama siswa baru dipanggil. Ketika sampai giliran Rival, pemuda itu hanya bisa menghela napas. Begitu seragam sekolah itu tiba di tangannya, Rival yakin sekali tak akan ada hal yang menyenangkan di sekolah tersebut. Hidupnya akan sesuram seragam sekolahnya.

Pembagian seragam berakhir beberapa menit kemudian. Kebanyakan memang memasang wajah tak bersemangat begitu melihat warna seragam tersebut.

“Perhatian semuanya!” kembali Pak Wiryo berseru dan berdiri paling depan. Dia menyapukan pandangannya pada siswa yang tampak tidak puas dengan warna hitam pada seragam mereka.

“Saya tahu di benak kalian pasti menyebut bahwa hitam adalah warna yang suram. Tapi saya harap kalian juga tahu, jika hitam berpadu dengan warna lainnya, maka akan terlihat menarik dan elegan.”

Kalimat manis dari Pak Wiryo kembali menarik perhatian Rival. Dimas yang berdiri di samping pemuda itu juga tampak tertarik.

“Seperti seragam itu, saya yakin kalian merasakan suramnya kehidupan kalian. Gelap. Merasa tersesat. Sehingga tugas kalianlah untuk menemukan warna apa yang kalian mau tambahkan selanjutnya. Ingin tetap hitam suram atau menjadi hitam elegan, kalian yang putuskan. Kami di sini hanya bisa mengarahkan. Sedangkan keputusan akhir tetap ditangan kalian.”

Pidato lanjutan dari Pak Wiryo tentang warna sedikit mengubah pemandangan Rival. Apakah benar keputusan ada di tangannya? Bisakah dia mengubah warna hitam suram itu? Dalam hati Rival berharap dia bisa melakukannya.

Rival lalu mengamati Dimas. Mencoba menebak apa yang sedang Dimas pikirkan terhadap seragam tersebut. Namun yang dia dapati justru Dimas yang tengah memandang ke barisan samping, tempat para siswi baru berdiri. Pandangannya tertuju ke arah seorang perempuan bernama Dini.

Rival nyaris saja mencibir. Namun begitu melihat ekspresi Dini, waktu seakan terhenti di sekitar pemuda itu. Dini tampak berbeda dan... menarik.

Rival buru-buru menggeleng saat kata terakhir tadi muncul di benaknya. Tapi, usai menggeleng dia kembali menoleh ke arah Dini. Gadis itu masih tersenyum tipis dan penuh harap.Tangan kurusnya mengusap lembut seragam yang baru diberikan tadi. Ekspresi wajahnya seakan menyatakan bahwa dia percaya dirinya akan menemukan warna baru di suram kehidupannya melalui sekolah ini. Dan Rival, entah mengapa dia ingin mempercayainya juga.

[]


Ow ow... Apakah ini tanda-tanda Rival mulai tertarik pada Dini? Apakah Rival akan benar-benar menjadi rivalnya Dimas dalam merebut perhatian Dini? 

Baca terus kelanjutan ceritanya, ya.  😊

Hujan Kemarin Karya Orina Fazrina (Telah terbit)Where stories live. Discover now