Bab 2

819 25 3
                                    

Cinta memang bisa datang begitu saja. Jatuh tanpa diminta pada tatapan pertama.

Rival melambai pada sosok Dimas yang sudah dia kenal saat pendaftaran sekolah. Senyumnya mengembang. Pemuda berwajah tirus itu segera melajukan sepeda deki yang dikendarainya ke parkiran sekolah. Ujung bajunya sudah dia keluarkan dari celana saat diperjalanan tadi. Kancing bagian atas juga telah terbuka. Seakan menunjukkan dia juga sudah jadi preman SMA Kita.

Pemuda berwajah ceria bernama Dimas tadi membalas lambaian Rival. Dia menunggu sampai Rival tiba di parkiran.

Parkiran SMA Kita hanya dibangun dari kayu kecil dan beratap seng murah. Panjangnya pun hanya lima meter. Pas-pasan saja untuk menampung sepeda atau motor siswa-siswi di sana. Tanahnya pun masih tanah asli yang dipenuhi rumput-rumput. Belum atau mungkin sengaja tidak di timbun ulang dengan tanah pasir.

“Rajin sekali kau pakai topi,” sindir Dimas. Rambut bergelombangnya sudah dia cat warna cokelat. Dia bahkan memanjangkan rambut di bagian depan kepalanya hingga menyerupai poni. Bagi Dimas ini adalah rambut kekinian. Tak kalah dengan artis yang dia tonton di televisi.

Rival mendesis jengkel. Tangannya bergerak dan mengangkat kilat topinya. “Hasil kreasi Nenekku,” curhatnya dengan nada jengkel. Dia meringis menahan kesal saat mengingat Nenek dengan kejam mencukur rambutnya. Matanya kini menatap iri pada rambut Dimas yang menurutnya keren. Anak gaul.

Dimas tergelak. Tangannya menunjuk rambut pendek Rival sambil tertawa terbahak-bahak.

“Sialan!” Rival memaki dengan wajah keruh.

“Untung aku tidak punya Nenek cerewet seperti nenekmu,” komentar Dimas kemudian setelah tawanya reda.

Rival mengangguk. Wajahnya manyun hanya dengan membayangkan nenek yang cerewet itu.

“Siap membolos di hari pertama?” ajak Dimas sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Tanda dia sangat antusias atau bersemangat terhadap sesuatu.

Tentu saja ajakan menggoda yang diucapkan Dimas langsung diamini oleh Rival dengan cengiran lebar.

“Oh, ya, mau rokok?” tawar Dimas. Tangannya mengambil sebuah benda persegi dari kantong kemeja di dadanya. Dia memamerkan rokok berbungkus putih yang Rival tahu berharga cukup murah dibanding rokok-rokok lain dengan wajah gembira. “Tadi dikasih anak kelas XII, sebagai ucapan selamat datang.”

“Wah! Keren! Memang beda sekali sekolah ini,” puji Rival. Untuk sejenak dia merasa senang sudah masuk di sekolah yang sebebas ini.

“Hei kalian berdua!” sebuah suara merdu menegur. Dimas dan Rival menoleh kompak. Mereka mendapati perempuan lebih pendek dari mereka dan berkulit agak gelap sedang melempar pandangan mengawasi pada keduanya.

Perempuan berseragam putih-biru yang baru saja memarkir sepedanya berderap menuju ke tempat Rival dan Dimas berdiri. Tangannya dengan cekatan mengambil rokok yang Dimas pegang.

“Hei! Apa yang kau lakukan?” sewot Rival. Tangannya mencoba menggapai rokok yang perempuan tadi pegang namun gagal. Perempuan bertubuh lebih pendek dari Rival dan Dimas itu dengan sigap menjauhkan rokok dari jangkauan Rival.

“Mengamankan rokok ini,” sahut perempuan itu santai sambil memasukkan ke kantong baju seragamnya. Tentu saja Rival yang cukup punya sopan satun itu tidak mungkin berani menaruh tangannya di sana. Bisa-bisa dia mendapatkan tuduhan pelecehan. Dan itu pasti akan membuat neneknya marah besar.

“Ingat! Pelajar dilarang merokok. Lagi pula rokok ini berbahaya untuk kesehatan. Masa kalian masih mau menghisapnya padahal sudah tahu resikonya?” tambah perempuan itu dengan nada heran.

“Suka-suka kita! Kenapa kau yang repot?” Rival menatap galak pada perempuan di depannya itu. Sekilas dia melihat nama lengkap yang tertera di baju perempuan berambut lurus di hadapannya. Dini Aminarti. Dia jamin dirinya akan mengingat dan membenci pemilik nama itu selamanya. Ingat! Selamanya!

Perempuan itu berdecak. Tangannya terlipat di dada. Matanya melemparkan pandangan menantang. “Pilih saja. Mau aku yang amankan dan bilang ini jatuh di tanah, atau kukembalikan dan kuadukan kalian ke Kepala Sekolah?”

Rival mendesis. “Sialan!” makinya kasar. “Kau kira kepala sekolah akan marah? Heh! Dengar, ya! Di sekolah ini tidak ada larangan apapun! Apapun!” tegasnya.

Dini mencibir. Tak mempercayai ucapan Rival barusan. “Lihat saja nanti,” ujarnya yakin. Dia tersenyum penuh kemenangan lalu berjalan menuju ke gedung sekolah.

“Dasar perusak kesenangan orang!” gerutu Rival. Dia menoleh pada Dimas. Dia pikir Dimas akan sama marahnya dengan dirinya. Tapi ternyata bukan tatapan penuh benci yang Rival temui di bola mata Dimas, melainkan tatapan memuja. Apa-apaan ini?

Dimas tak menanggapi gerutuan Rival. Dia masih terbelenggu oleh sensasi asing nan menyenangkan yang merajai dadanya. Di benak Dimas sejak tadi hanya gerakan lambat dari Dini. Begitu lambat sampai dia merasa dadanya sesak oleh sesuatu. Rasa sesak yang dilengkapi dengan rasa hangat.

Entah bagaimana rasa itu tiba-tiba ada. Gara-gara suara Dini yang merdu kah? Karena sikap pedulinya kah? Atau mungkin karena ucapan gadis itu yang begitu penuh keyakinan. Apapun itu, Dimas hanya bisa memastikan bahwa dia telah jatuh cinta. Jatuh begitu saja di pandangan pertama. Kali ini Dimas memahami, bahwa cinta memang bisa datang begitu saja. Jatuh tanpa diminta pada tatapan pertama.

“Kau kenapa?” tegur Rival. “Tatapanmu padanya benar-benar menggelikan!” sindirnya. Dia bergidik ngeri. Tapi Dimas terlalu hanyut dengan dunianya sendiri sehingga mau tak mau Rival menyenggol bahu pemuda itu. Dimas seketika tersadar. Wajahnya yang menunjukkan ekspresi mendamba berubah malu.

Dimas menyuguhkan senyum salah tingkah.

Rival menggeleng. Kedua tangannya berada di depan dada. Menghentikan ucapan yang hendak Dimas sampaikan. “Jangan bilang kau jatuh hati padanya! Aku tidak akan percaya!”

Dimas menyeringai. “Yu are righ, Bro! I ting I faling in lov,” serunya dengan bahasa inggris yang hancur lebur. Maksudnya mau berkata You’re right, Bro. I think I am falling in love, jatuhnya malah begitu.

Rival memandang tak percaya. “Sama cewek tadi?” tanyanya tak yakin.

Dimas mengangguk. “Baru kali ini aku merasakan jatuh hati pada pandangan pertama!” tegasnya kemudian.

Rival masih menyuguhkan ekspresi tidak percaya.

“Dini Aminarti,” gumam Dimas sambil mengulum senyum. Senyum yang di mata Rival begitu tak biasa hingga terkesan aneh.

“Nama yang cantik. Secantik orangnya,” kata Dimas dengan mata menerawang.

Rival langsung berekspresi ingin muntah. Tak terima dengan ucapan Dimas barusan. “Yang begitu kau bilang cantik?” ledeknya. Detik berikutnya tangan Rival terayun dan memukul keras bahu Dimas agar temannya itu sadar kalau Dini tidak ada cantik-cantiknya. “Sadar woy!”

Dimas masih saja tersenyum setelah dipukul keras. “Baru kali ini ada yang perhatian padaku selain keluargaku, Val. Aku pastikan dia akan jadi istriku nanti.”

Rival langsung menggerakkan tangannya. Membiarkan jari telunjuk kanannya di depan dahi. Lalu melakukan gerakan menyilang. Menyatakan bahwa Dimas sedang tidak waras.

Bukannya marah, Dimas malah menatap Rival dengan tatapan penuh selidik. “Awas kalau kau menyukainya juga!” ancamnya kemudian. Seakan tak mendengar bahwa baru beberapa detik lalu Rival mengejeknya.

“Tidak akan!” sahut Rival yakin. Amat sangat yakin.

[]

Jujur nih, sebagai penulis kisah ini, aku paling suka sama Dimas. Dia remaja positif. Juga cara dia menyukai Dini bikin aku jatuh hati padanya hahaha... 

Apakah kamu juga pernah kayak Dimas?  Jatuh hati pada seseorang karena perhatian kecilnya di pertemuan pertama?   😃

Aku pernah, tapi gara-gara disenyumin aja sih hahaha....  😂

Hujan Kemarin Karya Orina Fazrina (Telah terbit)Where stories live. Discover now