Bab 6

330 18 2
                                    

Bab 6

Membelamu adalah cara aku menunjukkan rasa cintaku. Lalu, apakah mengkhawatirkanku adalah caramu menunjukkan perasaanmu padaku?

Bu Aida, Wali Kelas X, keluar kelas lagi usai memberikan jadwal pelajaran. Dia juga tampak terganggu denan keributan yang ada di kelas. Terlalu tidak suka dengan keramaian yang dihadirkan penghuni kelas yang tidak beradat itu. Setelah menegur tiga kali dan diabaikan, Bu Aida memilih menyerah.

"Catat, Nov," pinta Dini pada Noviola selaku sekertaris kelas.

Gadis dengan rambut bergelombang dan dicat warna tiger-eye, atau lebih sederhananya perpaduan antara wara hitam, coklat dan keemasan, mengangkat bahu dengan acuh. "Kau saja yang mencatat," katanya sambil menunjukan wajah enggan.

Dini menyerah. Dia mengambil spidol di atas meja guru dan menghadap papan tulis. Siap menuliskan jadwal. Gerakan tangan Dini terhenti saat melihat para siswa mulai berdiri dan mengajak teman lainnya keluar kelas. Agus mengisyaratkan untuk merokok di luar, ke tempat yang tidak akan diketahui para guru. Apalagi rokok pemberian kakak kelas masih aman tersimpan di tasnya. Dan godaan untuk segera menghisap asap nikotin itu tidak bisa ditunda lagi.

Dini buru-buru menghadang tujuh siswa yang hendak keluar itu. "Bisa tidak di hari pertama kita sebagai siswa baru kalian tidak berulah?" pintanya sambil menahan geram. Dia selalu heran kenapa para siswa suka sekali menyesap asap tidak sehat itu. "Aku benar-benar akan mengadukan kalian ke Bu Aida kalau kalian tidak menuruti perkataanku!" ancamnya lagi.

Rival, yang termasuk dari gerombolan siswa yang siap merokok di luar sekolah menatap Dini sinis. "Dengar! Kami tidak merokok di lingkungan sekolah. Jadi tutup saja mulut embermu itu!"

"Oh! Jadi kalian berniat membolos?" simpul Dini sambil menatap kesal pada tujuh pemuda di depannya. "Demi bisa merokok? Yang benar saja!" sinisnya.

Rival menatap Dini emosi. "Coba aku tanya. Kalau kau, bisa tidak di hari pertama ini tidak pakai baju? Tdak, kan? Sama saja dengan kami yang suka rokok ini," ujarnya yang langsung dia sesali pada detik berikutnya. Harusnya dia tidak berkata sekasar itu.

Siswa lain langsung terbahak mendengar ucapan Rival. Sementara itu wajah Dini terlihat pias. Tangannya mengepal menahan amarah. Rahangnya bergemelutuk karena kesal.

Tak ingin menambah keruh suasana dan mempermalukan orang yang sahabatnya cintai, Rival memutuskan keluar kelas sembari memberi isyarat agar yang lain mengikuti. Tapi belum sampai di depan pintu, seseorang sudah menarik kerah seragamnya dari belakang. Sebuah tamparan keras langsung mendarat di pipinya.

Pekikan dari para siswi terdengar. Mereka memandang tak percaya pada sosok yang baru saja menampar Rival.

"Itu untuk kata-katamu yang sudah keterlaluan!" geram Dimas sambil memutar-mutar tangannya yang menampar Rival barusan. Emosinya cukup tersulut saat melihat siswa lain meremehkan Dini.

"Tidak ada yang boleh menghina Dini! Kau maupun yang lain!" seru Dimas geram.

[]

"Sori!" Rival berucap pelan sambil mendekati Dimas yang sedang memutar sepedanya di parkiran sekolah.

Usai menampar diri Rival tadi, Dimas langsung keluar kelas. Dia ingin pergi ke manapun asal tidak bertemu muka dengan temannya yang kelewat kasar saat bicara pada orang yang dicintainya. Juga tak siap melihat tatapan Dini yang mungkin saja akan kecewa padanya karena dia sudah 'berkelahi' di hari pertama.

Dimas memilih diam sebagai reaksi atas ucapan maaf Rival barusan. Dia pun menuntun sepedanya, hendak keluar parkiran. Udara panas yang menyentuh kulitnya membuat Dimas semakin kesal.

Rival buru-buru melangkah dan menghadang sepeda Dimas. "Bro, sorry!" pintanya sungguh-sungguh. Kali ini dengan pengucapan bahasa inggris yang lebih sempurna.

Dimas menatap Rival dengan wajah marah.

"Aku bilang maaf," ujar Rival dengan nada membujuk.

"Kau kira aku tidak mengerti bahasa inggris?" kesal Dimas. Rival hanya membalas ucapan sahabatnya itu dengan cengiran.

Wajah Dimas kian keruh. Mau tak mau Rival memasang wajah serius dan kembali menggumamkan permintaan maaf.

Dimas menghela napas. "Kau sadar tidak kalau kata-katamu tadi sama saja dengan melecehkan Dini? Orang yang aku sukai!" ucapnya. Sisa-sisa emosi masih terdengar dalam suaranya.

"Sori. Aku kelepasan!" Rival mencoba membela diri meski dirinya sedang berusaha mendapatkan maaf.

Dimas membuang pandangan. Dia memilih menatap pepohonan hijau yang ada di sekitar tempat parkir dari pada melihat sahabatnya yang sudah bersikap menjengkelkan.

"Makanya itu mulut di sekolahkan dulu sana! Baru bicara!" sewot Dimas. Dia sadar dirinya terlalu berlebihan bereaksi jika menyangkut Dini. Aneh memang. Tapi, dia nalurinya begitu saja terluka saat melihat Dini diremehkan seperti tadi.

"Iya. Makanya ini aku masih sekolah. Lihat masih pakai seragam SMP lagi," jawab Rival setengah melawak.

Kalimat Rival sukses menghadiskan senyum tipis di bibir Dimas. "Aku tidak bisa memaklumi kata-kata kasarmu untuk Dini. Harusnya kau paham," ucapnya.

"Maka dari itu aku minta maaf," kata Rival lagi. "Aku akan menyekolahkan mulut ini lebih baik lagi," tambahnya dengan tangan teracung, seperti orang yang sedang diangkat sumpahnya.

Dimas kali ini tersenyum lebar. "Dini itu terlalu bagus untuk kita ledek apalagi lecehkan, Val," ucapnya kemudian sambil memutar sepedanya, kembali ke tempat parkirnya tadi. "Dia tidak seperti gadis-gadis lain. Dia berbeda. Aku yakin seharusnya bukan di sini tempatnya bersekolah."

Rival mengangguk sekenanya. Tahu dari mana Dini berbeda? Pikirnya mengejek. Ah, bukankah tadi dia juga merasa Dini berbeda?

Sial! Rival merutuk dalam hati. Dia lantas mengamati Dimas. Keningnya berkerut melihat sahabatnya itu sudah memarkirkan sepedanya kembali. "Tidak jadi bolos?" herannya.

Dimas tidak menjawab. Dia justru menggedikkan dagunya ke arah gedung sekolah.

Rival memutar tubuhnya dan mendapati sosok Dini sedang memerhatikan dirinya dan Dimas dari teras sekolah. Mata gadis itu mengisyaratkan kalau-kalian-adu-tinju-lagi-aku-lapor-kepsek.

Senyum Rival mengembang. Merasa lucu sekaligus senang dengan tingkah Dini kali ini. Dia juga yakin Dini menyusul mereka karena mencemaskan mereka. Khawatir mereka bertengkar lagi mungkin.

Rival lalu melambai pada Dini. "Kami sudah damai!" teriaknya.

"Iya, Din. Kami sudah damai," tegas Dimas lalu merangkul bahu Rival. Senyum lebar menghias wajahnya.

Wajah Dini yang tegang tadi berangsur rileks. Senyum tipis tampak terukir di bibirnya. Senyum yang menular ke bibir Dimas dan Rival.

Entah bagaimana, senyum tipis Dini seakan menghangatkan hati pemuda itu. Terukir dalam benaknya dan akan selalu dia kenang sepanjang waktu merindu. Sayangnya Dimas tak sadar bahwa di sampingnya, seorang sahabat juga merasakan sensasi yang sama. Sahabatnya telah jatuh hati pada gadis yang dia suka.

[]


Halo! 

Maaf baru sempat update. Karena di storial sudah mencapai 1,4k, maka aku kembali update bab baru di sana dan di sini.

Nanti di sini akan bertambah 1 bab setiap 100 viewers ya. Kalau di storial bertambah 100 juga, akan kuposting juga hehe....

Semoga suka. Jangan lupa baca juga 100 Bunga Matahari ya. :D

Hujan Kemarin Karya Orina Fazrina (Telah terbit)Where stories live. Discover now