Bab 5

383 20 0
                                    

Dia bukanlah yang paling aneh. Tapi dia yang paling lurus di antara kita yang hancur ini.

“Heh!” Rival yang mudah emosi jika berhadapan dengan Dini langsung maju. Mendekati Dini yang kini menatapnya berang. Tangan pemuda itu menunjuk Dini dengan sikap benci. “Kalau mau sok-sokan mengikuti peraturan bukan di sini tempatnya! Sana masuk SMA Negeri! Di sini memang cuma untuk berandalan seperti kami!”

Dini menepis telunjuk Rival kasar. Kekecewaan menghujam dadanya begitu mendengar kalimat Rival yang secara tidak langsung mengatakan dirinya tidak sepantasnya ada di sekolah ini. Kalau saja dirinya hidup dalam keluarga yang berkecukupan, tentu saja dia tak akan sudi sekolah di SMA Kita. Sekolah yang lebih banyak mengukirkan kisah tentang prestasi buruk siswanya.

“Karena orang-orang seperti kalianlah, makanya sekolah kita dicap sekolah sampah!” ungkap Dini dengan suara bergetar menahan marah dan kecewa. “Dasar makhluk tidak terdidik!”

Makian Dini makin menyulut emosi Rival.

“Apa maksudmu?” sewot Rival.

Dini yang ingin selalu mengikuti peraturan memang bertolak belakang dengan Rival, Dimas dan siswa-siswi lainnya yang meresa di sekolah ini mereka bisa bersikap seenaknya.

Kalau saja Dini bukan perempuan Rival jamin dirinya sudah melayangkan tinju ke wajah sok benar itu. “Kalau kami tidak terdidik lalu kenapa? Salah? Dasar cewek sialan! Tahu apa kau tentang kami hah?”

“Dasar pembuat masalah!” hardik Dini tak mau kalah. “Kenapa aku harus tahu tentang kalian yang sialan itu? Hah!” katanya berang.

“Sudah-sudah,” Dimas buru-buru melerai dan tersenyum manis pada Dini. “Maafkan dia,” pintanya dengan nada membujuk. “Plis...” bujuknya lagi. Dia berharap Dini bisa menahan amarahnya kali ini. Meski di sisi lain dia juga berharap kawannya yang mudah emosi itu bisa berhenti menyerang Dini dengan verbal.

Dini menghela napas, mengusir rasa jengkel yang bertahta di hatinya. Dia lalu berbalik dan melangkah ke kursinya.

Dimas mendekati Rival yang masih tampak jengkel. “Ayolah, Kawan. Jangan memarahinya. Aku jadi bingung mau membela siapa kalau kalian beradu mulut seperti tadi,” ucapnya yang langsung menghadirkan tamparan ringan dari Rival.

“Kau serius suka dengan dia?” tanya Rival tidak senang. “Apa yang kau suka dari cewek seperti itu? Pemarah begitu!” sungutnya seraya menghempaskan tubuh ke kursi.

Dimas terkekeh. “Dia... berbeda,” gumam Dimas dengan mata menatap sosok Dini penuh cinta. Sementara yang ditatap langsung membuang wajah. Apalagi siulan dan koor mengejek dari siswa langsung mengudara saat mendengar ucapan Dimas yang cukup keras tadi.

Rival mengangkat bahu. “Dia yang paling aneh di sini,” komentarnya dengan nada mengejek.

Dini sudah menoleh kembali dengan wajah berlipat. Siap mengomel pada Rival lagi.

Dimas buru-buru menangkupkan tangan dan meminta maaf atas nama Rival. Saat Dini sudah kembali tidak memandang mereka, Dimas pun berbisik lirih. Kalimatnya mungkin bisa melelehkan hati perempuan yang mendengar. Namun tidak dengan Rival.

“Bukan paling aneh,” bisik Dimas. “Tapi dia yang paling lurus di antara kita yang hancur ini,” lirihnya. Matanya seketika menyiratkan kesedihan. “Aku yakin dia terpaksa sekolah di sini. Andai dia dari keluarga mampu pasti dia memilih sekolah yang lebih baik.”

“Andai itu terjadi, alangkah menyenangkannya kelas kita!” simpul Rival dengan sadis.

Dimas berdecak. “Kau terlalu membencinya. Padahal baru pertama kali bertemu,” sungut Dimas.

“Tukang adu begitu, siapa yang tidak benci?” Rival balik bertanya dengan heran.

“Aku tidak,” sahut Dimas dengan nada bangga.

“Ya. Ya. Kau memang aneh! Baru pertama bertemu langsung suka padanya,” komentar Rival dengan nada mengejek.

Dimas terkekeh. “Ada cewek yang mau kau incar jadi pacar tidak?” katanya sambil menarik kursinya agar bisa duduk di dekat Rival. Dia bertanya karena penasaran sekaligus ingin membuat Rival lupa dengan amarahnya pada Dini.

Rival mengangkat bahu. Baginya untuk apa jatuh cinta jika semua hanya akan menyusahkan. Apalagi pengalaman menunjukkan bahwa ketika cinta berakhir, ada banyak orang yang hancur hatinya, sekaligus kehidupannya. Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh. Lihat saja kedua orang tuanya.

Menurut cerita Nenek, Ayah dan ibunya Riva menikah karena saling cinta. Padahal Nenek dan Kakek tidak setuju. Namun Ayah dan Ibu berusaha saling bertahan dari ketidaksetujuan orang tua. Membiarkan diri mereka terlihat konyol dengan memaksa menjalin hubungan. Bertekad akan kawin lari jika masih tidak disetujui.

Ayah dan Ibu menikah dengan cinta. Cinta pulalah yang membuat mereka saling membebaskan pasangan untuk mengatur-atur asal bisa melihatnya tersenyum. Tapi pada akhirnya begitu cinta pergi, tak ada lagi yang tertinggal selain luka.

Ah, satu hal lagi yang membuat Rival enggan jatuh cinta, terutama pada siswi di SMA Kita. Semuanya pastilah perempuan matre. Sejauh info yang dia dengar dari obrolan Agus dan siswa lainnya di sebelum apel pagi tadi, hampir semua perempuan di sini sudah pernah menjual diri pada om-om atau pria muda berduit demi memenuhi kebutuhan pribadi.

Entah kalau Dini. Kalau dari penampilannya yang teramat biasa, bisa disimpulkan dirinya gadis baik-baik. Mungkin karena dia tak terlalu bernafsu untu mempercantik diri seperti siswi lainnya. Tak terlalu mengikuti modernisasi sehingga tidak sekalipun memilih jalan mengerikan itu untuk mendapatkan ponsel dan bergaya hidup sesuai zaman. Kids zaman now, itu slogan anak muda zaman sekarang, bukan?

Dini juga tidak menggunakan perhiasan. Tidak seperti siswi lainnya yang tampak bersaing dengan barang berharga seperti jam, gelang kalung, cincin dan lainnya. Dia tampak terlalu biasa dengan wajah polosnya yang tak kalah biasa juga.

Rival tanpa sadar memandangi Dini. Mengulang kembali penilaiannya terhadap gadis biasa itu. Dini tidak jelek. Tapi bukan berarti cantik juga. Dia... apa adanya dan tampak alami.

Kalau saja Dini bukan tukang adu, andai Dini tidak matre seperti mamanya dan cewek matre lainnya, jikalau saja Dimas tidak mengatakan padanya lebih dulu bahwa Dimas menyukai Dini, Rival pasti membiarkan hatinya memuja gadis itu.

Sedetik kemudian Rival menggeleng. Apa yang kupikirkan? batinnya kaget sekaligus heran.

[]

Aw...  Ad yang jatuh cinta.    Ehem,  ehem...  😄

Nah, postinganya sampai di sini dulu ya. Bakal aku update lagi kalau udah 500 viewers  di sini atau 1000 viewers di storial haha 😁

Hujan Kemarin Karya Orina Fazrina (Telah terbit)Where stories live. Discover now