Bab 7

317 14 2
                                    

Bab 7

Kita boleh miskin. Tapi jangan pernah mau jadi peminta-minta apalagi menjerat diri dengan hutang.

Hari demi hari berlalu. Kehadiran para guru masih bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan memberi tugas saja. Mencatat atau mengerjakan soal latihan. Hal yang sangat Rival dan teman sekelas sukai tentunya. Sebab dia tak perlu repot-repot mengerjakan tugas tersebut. Dia hanya duduk di kelas, tiduran di mejanya atau di belakang kelas sampai bel pulang berbunyi.

“Adik manis, maukah engkau Abang antar pulang?” Suara Dimas yang sok melayu cukup menarik perhatian Rival yang sedang menyampirkan tasnya. Keinginannya untuk pulang sedikit tertunda demi melihat aksi tak tahu malu Dimas dalam merayu Dini. Aksi yang selalu pemuda itu gencarkan setiap hari. Namun Dini tak pernah memberi tanggapan yang Dimas harapkan.

Sudah Rival tebak, Dini akan menatap Dimas kesal. Senyumnya mengembang melihat teman yang pantang menyerah dalam menarik hati wanitanya itu. Sudah tahu Dini tak tertarik, Dimas masih saja menggodanya dengan rayuan picisan.

“Aku bukan adikmu!” geram Dini sambil menunjuk Dimas dengan wajah murka. Dia memang mulai jengah dengan kalimat-kalimat Dimas yang selalu membuat perutnya mual. “Dan aku bisa pulang sendiri,” tolaknya sembari mendorong Dimas agar membuka jalan untuknya.

Dimas memasang wajah terluka yang terlihat konyol di mata Rival. “Kenapa Adik Manis kasar benar sama Abang? Niat Abang ini baik,” katanya masih mencoba merayu dalam logat banjar yang terdengar mendayu.

Dini menggeram kesal sebelum menghilang dari balik pintu.

Rival menggelengkan kepalanya. “Betah sekali kau merayu Nenek Lampir itu!” sindirnya.

Dimas mencebik. “Namanya Dini Aminarti. Bukan Nenek Lampir,” ralatnya dengan nada tak suka.

Rival memasang wajah bergidik ngeri. “Dia pemarah akut, Dim. Lebih parah dari nenekku, kurasa.”

“Enak saja!” Dimas mendengus tak terima. “Jangan samakan dia dengan nenekmu yang cerewet itu!” tegasnya.

Rival mengangguk dengan malas.

“Eh, mau main ke rumahku?” tawar Dimas semangat ketika teringat ada yang bisa mereka lakukan di rumahnya. “Kemarin ada yang memberi pisang pada abahku, dan mamaku berjanji akan membuat kolak pisang.” Senyum gembira menghiasi wajah Dimas. Senyum yang akan muncul jika dia tidak kelaparan.

Setelah beberapa hari ini dekat dengan teman barunya itu, Rival tahu kondisi keluarga Dimas lebih buruk dari pada kondisi Rival. Untuk jajan saja pemuda itu kadang tidak punya. Tapi tak sekalipun dia meminta atau meminjam uang. Meminta makanan dan minuman yang dibeli teman pun tidak. Kecuali ditawari. Dia benar-benar bisa menahan dirinya dengan baik. Berbeda sekali dengan Rival yang akan mengeluh dan menjadi lesu jika tak diberi Nenek uang jajan.

Beberapa hari lalu memang pernah Rival bertanya, “Kenapa kau jarang sekali jajan? Kuajak membeli pentol pun tak mau?”

“Mamaku sering bilang, ‘Kita boleh miskin. Tapi jangan pernah mau jadi peminta-minta apalagi menjerat diri dengan hutang. Meminta sementara diri masih sehat begini adalah hal yang memalukan. Sementara berhutang padahal sudah tahu tidak bisa bayar , itu bunuh diri namanya’,” jawaban Dimas membuat Rival tertegun cukup lama. Memahami setiap kata dari kalimat panjang barusan. Dalam hati dia menyetujui hal tersebut.

Setelah mendengar jawaban demikian, Rival pun lebih sering memberi jajan untuk Dimas. Tidak banyak memang, karena uang jajan Rival pun pas-pasan. Tapi setidaknya bisa mengusir haus dan lapar yang mendera teman akrabnya itu.

“Boleh juga. Sekalian aku ingin tahu di mana kau tinggal,” Rival menyetujui tawaran Dimas tadi. Dimas langsung merangkul Rival dan menyeretnya keluar kelas.

Sambil bersepeda keduanya bercerita. Membahas beragam hal. Termasuk kelakuan di masa-masa SMP dulu. Namun cerita menggelikan saat Rival dikejar-kejar neneknya pakai sapu karena ketahuan membolos terhenti saat melihat asap hitam yang mengepul di udara dalam perjalanan mereka menuju ke rumah Dimas.

Wajah Dimas berubah panik. Dia melajukan sepedanya menuju ke arah asap berasal. Rival mengikuti dengan cepat. Kepanikan juga menderanya saat sepeda Dimas menuju ke wilayah perumahan kayu padat penduduk yang tampak dilalap si jago merah.

Dimas membanting sepedanya begitu saja. Membiarkan sepeda usang itu jatuh ke jalanan bersemen. Untuk sekian detik matanya menatap nyala api yang mulai membakar rumah kecil di sebelah rumah yang telah hangus. Detik selanjutnya, Dimas berlari panik. Mengikuti kegiatan warga yang mencoba menyelamatkan rumahnya dari nyala api.

Rival mematung di perhentiannya. Mengamati beberapa warga tampak hilir-mudik. Mereka berlarian sambil membawa ember berisi air. Mati-matian memadamkan api yang kian mengganas itu.

“Dimas! Ambil air! Cepat!” suara pria menyadarkan Dimas yang berlari tak tentu arah. Seolah bingung harus melakukan apa di tengah hiruk-pikuk itu. Dada pemuda itu semakin disesaki oleh perasaan takut. Dengan wajah pucat dia berlari ke tetangga, meminjam ember yang masih ada.

Rival tak tinggal diam. Sadar bahwa saat ini bukan saatnya untuk terpaku. Apalagi melihat Dimas yang pucat, dia yakin salah satu rumah yang sedang dilalap api itu adalah rumah Dimas.

Rival secepat kilat meminjam ember tetangga. Berlari ke pinggir sungai yang cukup dekat dengan lokasi kebakaran, lalu kembali ke depan rumah tadi. Menyiramnya sekuat tenaga. Rival tidak tahu berapa kali dia maupun warga di sana yang sigap membantu bolak-balik ke rumah itu dan sungai, hingga akhirnya terdengar bunyi sirine pemadam yang mendekat. Tiga rumah telah terbakar habis ketika mobil pemadam kebakaran datang. Setidaknya dengan kedatangan mereka, kebakaran lebih lanjut bisa dicegah.

Rival menunduk. Mengatur napasnya yang nyaris habis. Perlahan dia mendekati pemuda yang duduk di aspal jalanan dan menatap nanar pada kebakaran di depan yang berangsur padam.

“Rumahku hangus, Val,” kata Dimas sambil berusaha tertawa sementara matanya berair. Dia menertawakan rumahnya yang hancur dalam sehari sementara batinnya menangis. Ah, lebih tepatnya dia menertawakan nasib buruk yang menimpanya. Padahal tadi dia ingin bersenang-senang sambil menikmati kolak pisang buatan mamanya.

Rival tak bisa berkata apa-apa. Tak tahu harus mengatakan kalimat apa sehingga tidak terkesan sok bijak atau sok sabar. Setelah sekian detik tak tahu dengan apa yang harus dia lakukan, akhirnya pemuda itu hanya menepuk bahu Dimas sebagai bentuk simpati. Dalam hati dia mendoakan agar Dimas dan keluarga bisa tegar menghadapi cobaan hari ini yang diluar dugaan mereka.

[]

Hujan Kemarin Karya Orina Fazrina (Telah terbit)Where stories live. Discover now