Bab 4

429 21 0
                                    

Apakah peraturan ada untuk dilanggar?

Usai pemilihan ketua kelas, wakil ketua kelas, sekertaris dan bendahara, Bu Aida yang menjadi wali kelas X mundur diri. Sepeninggal guru cantik dan murah senyum tersebut, kelas berubah menjadi gaduh. Dini, yang ditunjuk Bu Aida sebagai Ketua Kelas kewalahan menegur mulut-mulut empat belas siswa yang terus mengoceh. Padahal hanya berempat belas, tapi rasanya dia mengurusi lima puluh siswa.

Ruangan bercat kuning muda kian riuh terdengar. Para siswinya mengobrolkan tentang sinetron yang mereka tonton, membayangkan tokoh cowok yang tampan, kaya, dan baik, ada di dunia nyata dan mencintai mereka. Sementara para cowok mengoceh soal balap liar yang dilakukan tadi malam. Semua jelas sekali tak memedulikan Dini.

Rival yang melihat Dini diabaikan tersenyum senang. Menganggap ocehan teman sekelasnya sebagai balasan atas tindakan Dini pagi tadi padanya. Wajah kewalahan dan kecewa gadis itu menjadi hiburan tersendiri bagi Rival.

Puas melihat Dini yang kepayahan, Rival menoleh ke belakang lagi. Dia melihat Dimas bangkit dari duduknya dan mendatangi siswa berambut pirang di belakang yang tampak menyodorkan puntung rokok.

Melihat rokok gratisan, Rival langsung tersenyum lebar. Tanpa menunda lagi, dia menyusul ke belakang.

Mulutnya baru saja menyentuh ujung rokok yang belum menyala, ketika seseorang dengan ganas merampas rokok tersebut. Tidak hanya dirinya, rokok di bibir Dimas pun dia rampas. Begitu juga dengan siswa lainnya.

“Kalau mau bilang saja,” ujar Agus, siswa paling kurus di kelas sembari mengeluarkan rokok yang dia simpan di tasnya. “Hari ini aku dapat banyak dan akan kubagikan gratis,” tambahnya. Siswa yang mendengar berseru girang.

“Kau mau juga?” Dimas berkata pada Dini sambil memasang eskpresi semanis mungkin.

Rival memutar bola matanya ketika melihat ekspresi Dimas itu.

Dini melotot. Siap mengomel pada Dimas yang berani sekali mengajaknya merokok. “Akan kuadukan kalian pada Bu Aida!” ancam Dini serius. Dia lantas mengambil kotak rokok dari tangan Agus.

Agus sebisa mungkin menjauhkan rokoknya dari jangkauan Dini. Dia terkekeh saat melihat Dini kesulitan mengambilnya.

Dini meniup poni tipisnya sambil memasang wajah garang. “Serahkan! Maka aku akan bilang aku menemukannya di bak sampah. Atau tetap di tanganmu dan benar-benar kuadukan pada Bu Aida. Tentu kau ingat pesan Bu Aida untuk turut pada peraturan sekolah beserta sangsinya bagi yang melanggar, bukan?”

Agus mendengus. Tak percaya dengan ucapan Dini.

“Aku serius,” tegas Dini.

Wajah Agus keruh seketika. Kakak kelas yang memberinya rokok itu pun sudah berpesan jangan sampai ketahuan Kepala Sekolah dan para guru. Mereka bisa disidang. Dihukum berat. Jikalau sampai tiga kali melakukan hal yang sama, ancamannya tidak main-main. Mereka tidak akan pernah dapat ijazah SMA. Padahal mereka sangat memerlukan ijazah itu nanti kalau mereka ingin bekerja atau melanjutkan sekolah.

Agus mulanya tidak percaya. Apalagi kakak kelas yang memberikan rokok itu secara gratis. Terlebih gosip di luar soal betapa bebasnya SMA Kita. Namun, rasa tidak percayanya berubah menjadi keraguan saat melihat ekspresi kakak kelas yang sepertinya memberikan mereka rokok dengan maksud tertentu. Agus pun tidak mau jadi yang pertama membuktikan manakah yang benar dari dua hal tersebut. Gosip di luaran yang sebagian besar disebarkan oleh siswa, atau ucapan kakak kelas barusan soal ijazah yang tidak akan dibagikan.

Akhirnya, Agus memilih mengalah. Siapa yang bersedia di hari pertamanya sekolah dia harus mendapatkan menghirup asap pembakaran dari bak sampah yang menjadi hukuman pertama bagi perokok di SMA tersebut.

“Sori, aku tidak bisa bagi-bagi lagi. Salahkan Nenek Lampir itu kalau kalian kecewa!” tunjuk Agus pada Dini yang sudah berjalan ke depan kelas.

Rival kemudian menatap Dini yang sudah keluar kelas. Dia yakin Dini benar-benar ke kantor. Semoga saja gadis itu memang mengatakan menemukan di bak sampah. Mengingat tadi pun Bu Aida tidak membahas temuan rokok yang Dini ambil di parkiran.

Rival kembali ke tempat duduknya. Dia merebahkan kepalanya di atas meja. Berpikir membunuh waktu dengan tiduran di kelas. Tapi baru beberapa menit dia melakukannya, dia sudah merasa bosan. Dia lalu menoleh pada Dimas yang duduk di belakangnya. “Aku yakin hari ini tidak akan ada pelajaran. Bagaimana kalau kita bolos?” ajaknya pada Dimas.

Dimas mengangguk semangat. Dia langsung menyampirkan tasnya dan berdiri.

“Mau ke mana?” tegur Dini yang ternyata sudah kembali ke kelas.

“Bukan urusanmu,” kata Rival ketus seraya berdiri dan menjinjing tas ranselnya.

“Kalian pasti mau bolos!” tebak Dini tepat sasaran. Dia lalu berkacak pinggang. “Kalau kalian keluar dari kelas ini, akan kuadukan ke Bu Aida!” ancamnya lalu berbalik. Siap ke kantor lagi untuk mengadu pada wali kelas.

Rival memutar bola matanya. “Dasar tukang adu! Perusak kesenangan orang!” sungutnya yang tentu saja tak didengarkan Dini.

Dimas buru-buru mendekati Dini. Meraih tangan gadis pemarah dan tukang adu itu, meski baru sedetik dia memegangnya Dini sudah menepisnya dengan sikap marah.

“Jangan, Din!” pinta Dimas dengan wajah memelas. “Janji kami tidak akan bolos,” tambahnya dengan sikap merayu.

“Bagaimana dengan merokok?” tanya Dini sambil melirik siswa lainnya di kelas. “Aku benar-benar akan mengadukan kalian kalau kalian ketahuanku merokok lagi nanti.”

Semua siswa menggumam keberatan dan kekecewaan.

Dini melempar pandangan marah. “Itu peraturan sekolah. Bukan peraturanku,” terangnya sekaligus membela diri.

“Peraturan ada untuk dilanggar!” sahut Rival jengkel. Siswa lain menggumam setuju.

“Apa esensinya sekolah kalau tidak pernah melanggar peraturan?” celetuk Agus dari belakang, meminta dukungan dari rekannya yang lain.

Dini menahan geram. “Dan jadi berandalan tidak jelas seperti kakak kelas?” sindirnya sinis.

“Heh!” Rival yang mudah emosi jika berhadapan dengan Dini langsung maju. Mendekati Dini yang kini menatapnya berang. Tangan pemuda itu menunjuk Dini dengan sikap benci. “Kalau mau sok-sokan mengikuti peraturan bukan di sini tempatnya! Sana masuk SMA Negeri! Di sini memang cuma untuk berandalan seperti kami!”

[]

Hayo,  siapa di sini yang hobi melanggar peraturan?  Ngacung!  😂

Hujan Kemarin Karya Orina Fazrina (Telah terbit)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon