Bab 10

503 16 0
                                    

Bab 10

Mungkin yang orang lihat kita hanya bertukar kata. Namun bagiku, kita justru saling mengucap rasa yang ada di dada.

Dimas sudah memiliki seragam baru, pemberian dari sekolah. Hasil sumbangan para siswa di SMA Kita pun telah dia gunakan untuk untuk buku baru. Sisanya dia serahkan pada orang tuanya untuk membeli keperluan lain.

Beberapa hari pula sehabis pulang sekolah, Dimas dan Rival mencari kayu, papan dan seng atau atap bekas. Meminta pada warga yang memilikinya, lalu membawanya ke rumah kecil Dimas yang dulu terbakar. Setelah terkumpul nanti akan digunakan untuk membangun rumah kecil pemuda itu. Bantuan dari pemerintah setempat tidaklah cukup untuk kembali membangun rumah tersebut secara utuh. Maka dari itu Dimas membantu dengan mencari kayu dan atap atau seng yang masih bisa digunakan.

Dini tentu tidak ingin tinggal diam. Apalagi dia masih merasa tidak enak hati karena tidak bisa menyumbangkan uang untuk membantu Dimas. Dia dengan percaya diri menawari pemuda itu bantuan mengangkat kayu atau atap bekas. Bantuan yang langsung ditolak pemuda berwajah hitam manis itu mentah-mentah. Mana ada pria jantan yang merepotkan wanitanya? Begitu pikir Dimas.

“Cukup kau bersikap ramah dan penuh perhatian seperti ini saja, Din,” kata Dimas dengan nada menggombal yang cukup membuat bulu kuduk Dini merinding. Saat itu mereka sedang berada di salah satu rumah ketua RT. Mengambil seng bekas atap dapur RT tersebut.

Mulanya, Dini ingin menyanggah. Mengatakan bahwa dia hanya memberi perhatian sebagai seorang teman sekelas. Tidak lebih. Namun setelah mempertimbangkannya lagi, Dini mengurungkan niatnya. Kali ini dia memutuskan untuk tidak bersikap kasar atau menyakiti perasaan Dimas. Jadi, dia membalas gombalan pemuda yang tak kenal malu itu dengan senyum tipis.

Di sebelah Dimas, Rival pura-pura tidak melihat dan mendengar apa yang keduanya obrolkan. Juga berusaha agar tidak berekspresi ingin muntah. Pemuda itu memilih menyeriusi ikatan seng pada tali yang dia dapat dari RT.

Sikap Dini yang lebih bersahabat dan menerima rayuannya membuat Dimas berbunga-bunga. Pipi pemuda itu bersemu untuk sekian detik. Jantungnya juga berdegup lebih cepat. Sensasi menyenangkan yang ingin selalu dia nikmati sepanjang hari. Dalam benaknya, dia meyakini bahwa Dini mulai tertarik padanya.

Jeda beberapa detik pada akhirnya membuat Rival penasaran. Pemuda itu menoleh pada sahabatnya yang senyum-senyum sambil melirik Dini penuh cinta.

Melihat polah Dimas membuat Rival mendengus geli. Tak habis pikir pada sikap sahabatnya yang sedang kasmaran itu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika Dimas yang berbahagia karena cinta akan terluka oleh cinta itu sendiri. Walau begitu, dia tetap mendoakan agar Dimas bisa terus berbahagia. Juga berharap, Dini akan terus bersikap hangat pada sahabatnya. Rival juga berdoa semoga kisah cinta yang masih seumur jagung ini bisa berakhir bahagia. Tidak berakhir menyedihkan seperti kisah kedua orang tuanya.

“Ehem!” Rival menegur Dimas yang masih mencuri pandang dengan Dini. Tak menyadari bahwa gadis itu mulai gerah dipandangi selekat itu. “Kau kemari untuk memandangi Dini atau membawa seng ini?” tanyanya.

“Oh. Iya. Sori,” kata Dimas dengan sikap salah tingkah.

Rival mengiyakan sekenanya.

Dini mencoba mengangkat salah satu ujung seng yang sudah digulung dan diikat dengan susah payah oleh Rival tadi. Baru saja dia mengangkatnya, Dimas sudah buru-buru merampas ujung gulungan itu. “Sudah kubilang kau tidak perlu membantu. Ini bukan kerjaan cewek,” tegasnya.

“Tapi aku benar-benar mau membantu, Dim. Seng itu cukup ringan, aku bisa kok bantu mengangkatnya,” paksa Dini.

Dimas menggeleng. “Wahai Adindaku tersayang,” dia mulai dengan kalimat gombalan yang membuat Dini kembali merinding geli. “Jikalau Adinda begitu ingin membantu Kakanda, Adinda bisa membantu dengan memberi Kakanda informasi saja. Kalau Adinda mendengar ada yang punya papan tidak terpakai, kabari Kakanda. Itu sudah membantu, kok,” Dimas tersenyum lebar di akhir kalimatnya. Bangga dengan kalimatnya barusan.

Melihat ekspresi riang Dimas, senyum Dini pun mengembang lagi. Dia juga merasa lucu sekaligus geli dengan kata Adinda dan Kakanda yang Dimas ucapkan.

“Oke, Adinda?” kata Dimas lagi.

Dini tergelak untuk beberapa saat. Masih merasa lucu dengan panggilan manis itu. “Oke,” katanya disela tawa.

Rival tak sadar bahwa sejak hari itu gelak tawa Dini mampu meluruhkan segala penolakannya tentang pesona gadis itu.

[]

Hujan Kemarin Karya Orina Fazrina (Telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang