Bab 8

315 16 0
                                    

Bab 8

Hidup memang tak pernah mudah... Kadang, ada kalanya manusia butuh rasa sakit untuk menjadi kuat.

Garis polisi telah di pasang. Para polisi masih menanyai penyebab kebakaran pada salah satu saksi. Dari cerita mereka dapat diketahui sumber api berasal dari korsleting listrik. Penyebabnya rumah yang pertama terbakar sedang memompa air. Tiba-tiba muncul percikan api dari kabel pompa yang mengelupas. Lalu terjadilah ledakan. Beruntung tidak ada korban jiwa.

Dimas menghela napas berat dengan mata masih tertuju pada rumahnya yang tinggal kerangka saja. Dinding dan atapnya habis terbakar. Meski begitu, dia pun tetap mensyukuri bahwa kedua orang tuanya tidak apa-apa. Andai kedua orang tuanya menjadi korban, Dimas mungkin tidak akan setenang sekarang.

“Kau tidur di mana malam ini?” tanya Rival khawatir.

“Kata mamaku tadi, kami akan tinggal di tempat Paman, adiknya Mama,” Dimas menjawab dengan lirih. Sisa lelah sehabis berusaha keras memadamkan api tadi masih menguasai tubuhnya.

“Baiklah.” Rival sekali lagi menepuk pundak Dimas. “Kalau kau perlu sesuatu, katakan saja padaku,” katanya.

Dimas mengangguk penuh terima kasih.

“Kalau besok kau mau minta ijin, aku bisa sampaikan ke Bu Aida,” tawar Rival sebelum menuju ke sepedanya. Dia yakin tidak mungkin suasana hati dan mental kawannya itu akan membaik dalam sehari. Dan yang pasti, Dimas harus memikirkan bagaimana dia berangkat sekolah besok, jika semua pakaiannya –selain yang melekat di badannya, telah hangus terbakar.

“Terima kasih,” lirih Dimas dengan suara parau.

Jujur saja, melihat Dimas yang bersedih seperti sekarang lebih menyebalkan bagi Rival dari pada melihatnya bertingkah konyol. Tapi, yang lebih menyebalkan dari semua itu, mengapa Tuhan membiarkan rumah Dimas terbakar? Padahal Tuhan pasti tahu betapa susahnya kehidupan keluarga Dimas saat ini.

Rival mendengus. Tuhan juga menjauhkan dirinya dari orang tuanya. Padahal Yang Maha Esa itu tahu bahwa dia masih mengingini kasih sayang mereka.

Memang, tak ada yang tahu maksud Tuhan atas segala cobaan yang menimpa hamba-Nya. Hanya saja, haruskah mereka yang sudah menderita, menjadi semakin menderita? Rival masih tak menemukan jawaban dari segala tanya yang menghinggapi kepalanya.

Rival melambai pada Dimas sebelum mengayuh sepedanya.

[]

Nenek sudah siap mengomel saat melihat kedatangan Rival. Cucunya yang pulang sangat terlambat dan tidak memberi kabar apapu. Membuatnya panik dan nyaris melapor ke RT bahwa cucu satu-satunya itu hilang.

Wanita lebih setengah abad itu melotot dan menghampiri Rival yang baru memarkir sepedanya. Dia mengomel ketika melihat wajah cucunya yang tampak lelah dan kotor itu.

“Habis main di mana? Kenapa kotor begitu?” marah Nenek. Dia mencubit lengan Rival dengan gemas. Mengeluarkan segala amarahnya dalam cubitan kecil ke lengan pemuda itu.

Rival meringis kesakitan. “Rival tidak main, Nek!” sahutnya sembari mengelus lengannya yang dicubit tadi. “Tadi Rival menolongi kawan Rival yang rumahnya kebakaran,” terangnya buru-buru saat tangan Nenek sudah mengudara lagi. Siap memukulinya.

“Kebakaran?” Nenek mengulang dengan nada heran. Tangannya turun perlahan-lahan. “Jadi bunyi sirine tadi bunyi pemadam? Bukan ambulan?” dia memastikan.

Rival mengangguk.

“Jangan-jangan gara-gara kebakaran itu, listrik jadi padam sejak tadi ya, Kek?” ujar Nenek pada Kakek yang sedang menutupi warung.

“Jadi bagaimana nasib kawanmu?” tanya Nini tanpa menunggu respon dari Kakek.

Kakek yang sudah hendak menyahut menutup mulutnya kembali. Lanats melanjutkan kegiatannya menutup warung.

“Rumahnya habis terbakar, Nek. Pemadamnya terlambat datang,” kata Rival dengan wajah menyayangkan kejadian tersebut.

“Mudah-mudahan kawanmu kuat menghadapi cobaan itu,” ujar Nenek yang langsung diamini Rival. “Sudah sana. Mandi. Cuci pakaianmu sekalian, biar besok bisa langsung kau jemur.”

“Iya, Nek.” Rival menyahut patuh lalu masuk ke dalam. Namun baru dua langkah dia masuk ke dalam rumah, Rival kembali berbalik. “Nek!” panggilnya. Benaknya sudah menyiapkan pertanyaan yang dia harap bisa neneknya jawab.

Nenek yang masih di luar dan hendak membantu Kakek menutup warung menoleh.

“Kenapa Tuhan membiarkan rumah Dimas terbakar? Sekarang kawan Rival itu tidak punya apa-apa lagi,” ucap Rival kecewa. Wajahnya tampak membenci kejadian yang menimpa sahabatnya itu.

Nenek tersenyum bijak. Senyum yang selalu bisa menenangkan hati Rival tiap kali pemuda itu jengkel akan sesuatu. “Tuhan memberikan ujian siapa saja, Cu,” kata Nenek seraya mendekat. Dia menepuk pundak Rival beberapa kali dengan lembut. “Ada yang Dia uji dengan kekayaan. Sementara kawanmu itu, mungkin sedang diuji dengan musibah.”

“Tapi hidupnya sudah susah, Nek! Kenapa harus dibuat tambah susah lagi?” heran Rival. Masih tak terima dengan nasib yang menimpa Dimas. Masih tak memahami dengan segala kejadian yang menurutnya sangat tidak adil.

“Kemiskinan juga ujian, Cu. Musibah pun termasuk ujian. Mungkin Tuhan ingin menguji keteguhan iman kawanmu dan orang tuanya,” ujar Nenek. Dia tersenyum tipis. “Mari kita doakan orang tuanya tetap sabar dan kuat,” ucapnya dengan suara bergetar. Dia lalu memandang Rival dengan tatapan sedih.

“Jangan sampai mereka seperti ibumu yang tidak tahan hidup pas-pasan, lalu memilih pergi. Meninggalkanmu yang masih memerlukan dukungannya,” kata Nenek menyayat hati Rival. Kenangan memilukan itu kembali hadir dalam benak Rival. Meski dia menangis meraung-raung, ibunya tidak pernah datang. Sampai air matanya kering dan tangisnya tak pernah ada lagi, ibunya itu tak pernah kembali.

“Jangan pula seperti ayahmu yang pergi meninggalkanmu karena marah pada keadaan. Memilih menghilang tanpa kabar. Meninggalkanmu tanpa ada rasa tanggung jawab.” Ada luka yang terpancar di mata Nenek saat mengucapkan kalimat tersebut. Luka yang sama dengan yang Rival punya. Menyembilu sampai pemuda itu tak mengerti lagi arti kasih orang tua sepanjang usia.

Tak pernah sekalipun mereka akan merasa senang jika mengingat kepergian orang tua Rival. Luka yang ada di hati Nenek pun bukan karena merasa terbebani dengan adanya Rival di rumahnya. Melainkan karena asa kecewa pada orang tua –anak dan menantunya, yang melupakan tanggung jawab mereka. Terkadang, jika teringat kedua orang tua Rival, Nenek pun akan mengeluhkan dirinya yang gagal menjadi mertua dan ibu yang baik untuk menantu dan anaknya itu.

Rival sadar sepenuhnya, bahwa kemalangan yang menimpanya bukan salah Nenek. Hal itu terjadi mutlak salah orang tuanya. Mereka memilih pergi karena keegoisan mereka sendiri. Mengabaikan tanggung jawab yang mereka emban saat memiliki buah hati.

Nenek meremas pundak Rival. “Hidup memang tak pernah mudah, Cu,” ujarnya lagi lebih pada diri sendiri. “Kadang, ada kalanya manusia butuh rasa sakit untuk menjadi kuat. Tugas kitalah untuk percaya pada keputusan-Nya dan menjalani ujian yang dia beri dengan sabar.”

“Iya, Nek,” sahut Rival dengan senyum tipis. Sabar, kata yang mudah diucapkan tapi terlalu sulit untuk dilaksanakan.

[]

Hujan Kemarin Karya Orina Fazrina (Telah terbit)Where stories live. Discover now