15 | h a c h i

4.2K 314 179
                                    

Nana berlari tergopoh-gopoh menaiki undakan tangga menuju lantai tiga. Seraya mengatur napas, Nana merangsek masuk ke kelas tanpa memberi salam atau mengetuk pintu sedikit pun.


Pak Komar yang sedang mengajar langsung menoleh kala mendapati muridnya tertunduk dengan posisi tangan di lutut. "Apa apaan kamu ini? Tidak sopan!"

Nana mengatur napas, membenarkan posisi berdirinya. "Ma... af, Pak," tutur Nana dengan napas yang masih terengah.

Pa Komar menatap bingung, lantas mulai menginstruksikan, "Tarik napas dan buang perlahan." Nana mengikuti perintah gurunya yang sudah mirip layaknya instruktur senam, lalu mulai bicara lagi.

"Pak, maafin saya ya. Tadi mobil yang nganter saya tiba-tiba mogok tanpa izin, terus saya jadinya telat. Ditambah tadi dihukum nyanyi lagu Indonesia Raya, Padamu Negeri, Mengheningkan Cipta, sama Mars sekolah."

Nana melaporkan semua hukuman yang diberikan guru piket untuknya pada guru berkumis tebal. Sementara Pa Komar menggelengkan kepalanya.

Nana menyalami Pak Komar berulang kali sambil cengar-cengir, kemudian saat Pak Komar tak melihatnya, mulut Nana membuat gerakan seperti ingin muntah.

Semua teman sekelasnya juga tahu, Nana sangat tidak suka dengan guru yang satu itu. Dulu, saat semester satu, Nana kerap dihukum karena tidak bisa mengerjakan latihan di papan tulis. Selain itu Nana tidak menyukai Pak Komar karena minyak wangi yang dipakainya tercium seperti minyak tawon.

***

Bel berakhirnya pelajaran kimia pun berdering setelah Nana menunggunya sedari tadi. Nana dan Elsa sengaja berjalan melewati kelas Raga, namun kelasnya sudah kosong, hanya ada beberapa yang setia di dalam kelas.

"Eh, lewat kelasnya Hani yuk," ajak Nana bersemangat. Tangannya menarik Elsa yang belum merespons. "Hani itu anak kelas 11 IPS, dia pacaranya Raga," tutur Nana menjelaskan.

Elsa mengikuti sahabatnya menuruni tangga dengan cepat. "Pelan-pelan, sih," protes Elsa karena tangannya semakin di tarik.

Nana berhenti dan Elsa yang di belakangnya langsung menabrak dirinya karena Nana mengerem mendadak. Nana menyengir sambil menunjuk ke arah Raga yang berdiri di depan kelas 11 IPS 2.

Nana segera menghampiri sepasang kekasih yang sedang bercengkrama dengan wajah yang begitu berseri. Dia berhenti tepat di depan Raga dan tersenyum pada cowok itu.

"Ha—" Mulutnya baru saja mengucapkan dua huruf, namun Raga langsung menggandeng Hani, membawanya pergi. Keduanya berjalan ke arah kantin, Nana yang tidak rela tertinggal pun segera mengekor.

"HA--HACHI ANAK YANG SEBATANG KARA, PERGI MENCARI IBUNYA..." teriak Nana menyanyikan lagu yang selalu didengarnya semasa kecil.

Raga berhenti, menoleh pada Nana yang berdiri di sampingnya. "Bisa lo pergi dari hadapan gue sekarang?" Smentata Nana hanya bergeming.

Entah ada dorongan dari mana, Hani yang semula diam kali ini ikut angkat suara. "Kakak itu jelas-jelas udah dibuang jauh sama Kak Raga, jadi buat apa sih masih deketin Kak Raga? Sekarang ini Kak Raga punya aku. Aku pacarnya."

Nana mengerjap, mendengar gadis itu mengatakan kalimat yang sungguh membuat hatinya terasa dirobek secara paksa.

"Buat apa sih, Kak, ngejar Kak Raga terus? Serendah itu kah diri Kakak sampai harus ngejar cowok orang?" Hani menjeda ucapannya. "Aku tahu, Kakak bilang suka 'kan ke pacar aku?"

Nana mengerutkan dahinya. Entah kali ini rasanya sakit, bagai luka baru yang ditaburi garam. "Terus apa urusannya sama lo? Lagi pula gue juga gak minta--"

"Ya, aku tahu. Tapi mana mungkin sih ada orang yang nggak mengharapkan balasan dari orang yang disukai-nya? Aku tahu Kakak pasti mengharapkan Kak Raga punya rasa yang sama, kan?"

Dengan susah payah Nana mencoba menahan emosi. Tangannya meremas sisi roknya. "Oh tentu, lo bener. Gue munafik kalo bilang sama sekali nggak pernah mengaharapkan Raga. Dulu—oh bahkan mungkin sampai sekarang gue masih suka berharap Raga jadi milik gue."

"Kak, di mana harga diri Kakak sebagai seorang perempuan? Jangan bersikap seolah Kakak itu cewek murahan dong, Kak."

Nana melirik Raga yang masih setia berada di samping sang kekasih. "Gue cuma butuh penjelasan Raga, apa salah?"

Hani menyunggingkan senyum. "Bisa kan Kakak cari laki-laki lain?" Hani menyelipkan jemarinya pada jemari milik Raga. "Kak, please, jangan ganggu hubungan aku sama Kak Raga. Inget, Kak, Kakak-udah-dibuang!"

Kedua sudut bibir Nana terangkat, lantas menepuk-nepuk sebelah bahu Hani. "Segitu takutnya ya kalau Raga nanti berpaling ke gue? Tenang, gue nggak akan rebut Raga, kok."

Raga kembali bersuara. "Bisa kan lo hargai gue dan pacar gue?" tanyanya dengan menekankan kata pacar. "Jadi, lo silakan pergi."

"Kakak punya telinga, kan? Cepat pergi kalau nggak mau lebih sakit lagi."

Sakit sekali. Nana merasa Raga sudah benr-benar membuangnya, ya, persis apa yang dikatakan Hani. Nana berusaha mengembalikan suasana hatinya--meski sulit. Berpura-pura jika yang dikatakan Raga dan Hani tidak menyakiti perasaannya sama sekali.

Tanpa mengacuhkan Raga yang terus menatapnya intens, Nana kembali berulah. Mulutnya kembali berkicau seraya berjalan mundur. "NANA ANAK YANG SEBATANG KAYU..." ucapnya lagi dengan suara yang sengaja di besar-besarkan. Dia langsung berhenti saat beberapa orang mulai menertawakannya.

"Anjir kesel gue sama itu cowok, sok banget jual murah," gerutu Nana sambil menghentakkan kakinya.

"Jual mahal, Bodoh!" Elsa membenarkan ucapan sahabatnya itu.

"Bodo amat," ucap Nana sambil mengibaskan tangannya di udara. Lalu berlari menuju kelasnya, meninggalkan Elsa yang menyerukan namanya berulang kali.

***

Bah Raga udah punya pacar :v sing sabar yo Nanakuuuu :) Kok, Hani, rada-rada minta dipites ya hmmm

Yeah yeah terima kasihhh sekali gaiz sudah setia sama Raga dan Nana XD jadi enak ada yang setia (?)

Oh ya aku up cepet bikaus lagi bahagia gitu wkwk for the first time ketemu sama yang kenalan dari WP jugak XD

restartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang