35 | b i c a r a

3.8K 239 79
                                    

Suasana tenang tanpa emosilah yang selalu Nana sukai saat bersama Raga. Begitu pun dengan Raga, dia sangat amat menyukai setiap kali berada di samping Nana.

Inilah saat-saat yang--sebenarnya--selalu mereka inginkan.

Setelah beberapa hari lalu Raga memberikan Nana fakta yang cukup mengejutkan, Raga kembali bertandang ke rumah gadis itu. Berniat ingin memperbaiki semuanya. Meskipun kemarin mungkin sudah bisa dibilang resmi bermaafan, tetapi Raga ingin meminta maaf lagi.

Sudah dua hari Nana menghilang. Raga paham bagaimana gejolak amarah, kecewa, dan benci yang bersarang dalam diri Nana. Karena jauh sebelum Nana tahu, Raga jelas lebih dulu mengetahuinya.

Keadaan Nana pagi itu sangat jauh berbeda dengan Raga yang amat rapi. Nana masih berbalut piama yang terlihat agak kebesaran di badannya. Rambut gadis itu pun terlihat berantakan ... tatapan matanya begitu redup.

Rasa itu kembali mendorong kuat Raga untuk melakukan sesuatu, tidak peduli jika nantinya gadis itu akan merespons.

Dalam hitungan detik, tubuh Nana sudah berada dalam dekapan Raga. Dan gadis bernama Savina itu sama sekali tidak merespons, tidak membalas pelukan yang selama ini sangat ia rindukan. Pun tidak berusaha melepaskan, karena memang dia juga menginginkannya.

Tak apa kan berpelukan untuk sejenak?

"Bisa kita ngomong sebentar, Na?" pinta Raga setelah melepas pelukan itu. Nana mengangguk dan berjalan menuju sebuah bangku kayu yang berada di halaman depan rumahnya.

"Gue--"

"Apa salah kalau gue sayang sama lo, Ga?" potong Nana sebelum laki-laki melanjutkan kalimatnya.

Helaan napas berat kembali terdengar. Raga menunduk. Mencoba mencari kalimat lain yang lebih tepat tanpa menyakiti hati gadis itu lagi. Raga pikir, sudah cukup dirinya menyakiti Nana.

Nana tertawa miris, menegakkan tubuhnya dan berbalik menghadap Raga yang duduk di sampingnya. "Gue salah ya karena punya perasaan lebih sama lo?"

Sebelum memberikan kesempatan untuk Raga bicara, Nana tertawa getir. "Jelas salah, lah, ya?"

"Emang sih, nggak seharusnya gue berharap. Gue juga bodoh, sih, karena dengan mudahnya ngomong suka sama lo."

Raga menatap lekat-lekat gadis yang sedang berusaha tersenyum, lantas berdesis agak jengkel, "Savina!"

"Lo hebat," ucap Raga setelah berhasil meredam emposinya.

"Lo berani jujur sama perasaan lo, gak kayak gue yang pengecut dan lebih milih pergi ninggalin lo," lanjutnya lagi yang diakhiri dengan sekilas tawa yang ditujukan untuk menertawakan dirinya sendiri.

Nana meghela napas lagi. "Baguslah kalau lo sadar. Lo itu emang pengecut."

"Na?" panggil Raga seraya mencoba meraih tangan Nana untuk digengggam. Namun Nana justru menolaknya.

"Egois gak, sih, kalau gue berdoa supaya Mama dan Ayah lo cerai? Ah gue tau itu pasti bikin gue jadi anak paling durhaka sedunia."

"Hmmmm sebenernya kita ini kan nggak ada hubungan darah apa-apa. Jadi kayaknya nggak masalah kali ya kalau pacaran?"

Entah ada angin apa yang membuat Nana mengutarakan kalimat itu. Memang, mereka tidak memiliki hubungan darah apa pun. Tetapi apakah pantas berpacaran dengan seseorang yang berstatus sebagai keluarga?

Beberapa detik kemudian terdengar tawa hambar dari gadis itu.

"Salah gak, Na, kalau gue mengharapkan keadaan yang lo inginkan?" Terdengar sebuah kesungguhan dari suara Raga.

Nana menghela napas, kenapa juga Raga harus jadi seperti ini? Kenapa sikap Raga semakin sulit untuk membuat Nana menerima semua keanyataan ini?

Kalau tahu begini, rasanya Nana lebih memilih Raga yang selalu menghindarinya. Siapa tahu, dengan sikap kasar Raga, Nana lebih cepat move on, kan?

***

Tempat favorit Raga sekarang sudah menjadi tempat kesukaan Nana juga. Entah sejak kapan, Nana jadi sering mengikuti kebiasaan cowok itu.

Bicara di depan sebuah pusara dengan batu nisan yang terukir nama Renata bertinta emas di atasnya.

"Hallo, Bunda," sapa Nana diiringi senyuman tipis.

"Raga udah baikan, Bun, sama Anak Kesayangan Bunda," Raga menimpali ucapan gadis di sebelahnya.

Gadis dengan rambut yang diikat menjadi satu bagian itu tersenyum pahit. Tidak tahu harus mengatakan apa.

Raga menoleh sekilas ke kanan, melirik gadis yang sedang fokus membersihkan pusara itu dari dedaunan kering. Kenapa lo harus semanis ini, Na?

Tanpa Raga tahu, Nana yang berusaha sibuk dengan dedaunan kering justru sebenarnya sedang berusaha meredam degup jantungnya. Ah sungguh, Nana belum terbiasa dengan statusnya yang sekarang.

Entah mengapa, Nana sepertinya belum bisa menerima kenyataan ini. "Ga, gue egois ya kalau mau elo?" Itulah pertanyaan pertama Nana setelah berada di boncengan Raga.

Nana membiarkan dirinya menuruti sisi egoisnya. Kedua tangannya sudah melingkar pada pinggul Raga, kepalanya bersandar pada punggung lelaki itu.

Satu yang perlu digarisbawahi. Izinkan Nana bersikap egois untuk saat ini saja. Biarkan Nana egois untuk meraih kebahagiaannya sejenak.

Raga menghentikan laju motornya di bawah pohon besar dekat halte yang tak jauh dari area pemakaman. Tangan kirinya diletakkan di atas punggung tangan Nana. Memberikan usapan lembut.

"Percaya sama gue," ucap Raga seraya menoleh ke belakang. Membuat gadis itu menatapnya dengan tatapan sendu.

"Selamanya, Raga akan selalu sayang Savina," ujar kedua remaja itu bersamaan dan di akhiri seulas senyum yang tidak memancarkan arti kebahagiaan.

Hanya mereka yang tahu arti sesungguhnya dari senyum itu.

***

Gak tau lah pokoknya sayang :')

Entahlah masa pas ngetik ini w merasa apa ya, deg-degan, sedih wkwk Gak tau lah, apa ini efek w yang lagi galau atau gimana wkwk

Kayaknya mah efek w yang lagi dengerin lagu galaw :')

Acu up sekarang bikos besok takut gak kepegang :v mau ngurusin review-an sama booktour dulu di IG 😂 sumpah, parah banget aku ngutang review banyak 😂 *lah cuhat*

Luppp yuuu buat yang masih setia sampai di sini 💞💞💞 beberapa hari lagi akan berakhir koks dan ada cerita balu wkwk 😋😋

restartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang