12 | Ternyata oh ternyata

4.6K 327 122
                                    

Nana berbaring di sofa, sebelah tangannya menggenggam remot tv. Sejak pulang sekolah siang tadi, adik kecilnya mengalami demam tinggi. Pasalnya, kemarin bocah itu melahap tiga bungkus es krim dan dua kotak susu dingin sekaligus.

"Askia mana?" Suara seorang wanita yang begitu panik menyadarkan Nana dari televisi di depannya.

Gadis dengan rambut yang diikat seadanya itu menoleh, mendapati wanita bergaun merah marun dengan wajah panik. Nana terpaksa mengirim pesan pada mamanya, lantaran Askia tak mau meminum obat jika tidak disuapi sang ibu.

Askia memang sangat dekat dengan Diandra. Berbeda dengan Nana yang lebih memilih memberi jarak untuk mamanya.

"Di kamar," jawab Nana sekenanya.

Waktu semakin larut, jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi Nana masih berbaring di ruang keluarga.

"Aaaarrrgghh! Ngantuk! Sampe kapan sih Mama di sini?" gerutu Nana sambil memindah-mindahkan saluran tv. Semua acara tv terasa sangat membosankan, seperti makanan tanpa penyedap. Ditambah Raga tak kunjung membalas pesan-pesannya semakin membuat Nana geram.

"Savina?" panggil seorang pria bersetelan pakaian kantor yang sekarang sudah duduk di samping Nana.

Nana mengerjap sambil menutup mulutnya yang menguap. "Hmm..." Lantas membalikkan badan, memunggungi pria yang sedang mengelus puncak kepalanya.

"Kamu kenapa tid--"

"Ada Mama," potong Nana cepat dan singkat. Seolah dia memang tahu arah pertanyaan sang ayah.

"Mama pulang?"

"Iya, di kamar aku. Askia sakit dari siang."

"Kenapa kamu tidak memberitahu Papa?" Pria itu sekarang terlihat panik mendengar anak bungsunya sakit.

Ngapain? Dia bukan anak Papa. Lagian juga nanti kalian pasti berantem setiap ketemu.

Nana memang tahu kalau Askia bukan anak kandung dari papanya. Dulu, tidak sengaja ia mendengar percakapan antara mamanya dengan seseorang melalui telepon.

***

"Askia sakit dan kamu tidak memberitahu saya? Kamu anggap saya ini siapa?" Saat itu juga emosinya meledak, terlebih kala Diandra meliriknya sekilas tanpa menyapa. "Saya ayahnya, berhak tahu keadaan anak saya!"

Wanita berbalut piama itu tersenyum sinis. "Peduli apa kamu?" Diandra balik bertanya dan mulai beranjak dari kasur. Bibirnya mencebik saat Doni mulai mendekati Askia.

"JANGAN DEKATI ANAK SAYA!" bentak Diandra dengan keras sambil menyingkirkan tangan Doni dari pipi gadis kecil itu.

Ya dia bersikap seolah gadis kecil yang terkulai lemas itu hanya miliknya seorang. Miliknya yang tak boleh disentuh siapa pun.

Doni berjalan mendekati Diandra, tersenyum sinis sekilas. "Anak kamu? Sudah jelas itu anak saya juga!" Suaranya kembali santai namun sangat terlihat tidak ramah.

"DIA BUKAN ANAK KAMU!" Napas wanita itu tersengal setelah mengucapkan empat kata itu.

"Apa maksudmu?" tanya Doni dingin.

"Apa penjelasanku kurang jelas, Mas?" Diandra bertanya retoris yang diakhiri sebuah senyum sinis. "ASKIA BUKAN DARAH DAGINGMU!" ungkapnya lagi dengan penuh penekanan pada setiap katanya.

Doni terdiam. Ia terkejut bukan main. Bagaimana bisa istrinya mengatakan jika Askia bukan darah dagingnya?

"Askia anak Mas Rama. Saya sudah menikah dengannya," ucap Diandra dingin. Matanya fokus menatap Askia yang terkulai lemah sambil sesekali mengigau memanggil 'Mama'.

Nana yang sejak tadi sengaja mengintip benar-benar terkejut. Dadanya kembali sesak, seperti tertimpa batu besar yang bisa saja dengan tiba-tiba menghilangkan nyawanya.

Air matanya semakin mengalir kala Nana berusaha menghapusnya. Nana benci saat mamanya menyebut nama laki-laki itu. Laki-laki yang membuat keluarganya tidak harmonis (lagi).

Mama beneran udah nikah lagi?

Selama ini Nana selalu menyangkal mengenai gosip yang beredar di sekolahnya. Nana tidak pernah percaya dengan semua omong kosong yang diberitakan pada acara gosip.

Namun pada akhirnya? Nana salah telah menganggap kalau semuanya itu hanya sebatas gosip murahan. Pada kenyataannya desas-desus itu adalah fakta.

Doni mengepalkan kedua tangannya, lantas mengangkat tangan kanannya ke udara. Tak lama tangannya terayun bebas menghapiri pipi mulus Diandra, bersiap memberikan polesan merah pada pipi putihnya.

Namun gerakan Doni terhenti di udara dan ia lebih memilih melampiaskan kemarahannya pada tembok yang jelas-jelas tak bersalah sama sekali.

Sejak dulu, pria yang satu itu memang pantang melakukan kekerasan pada seorang wanita. Ya, ia selalu mendengarkan nasihat almarhumah ibundanya.

"Tampar aku, Mas, tampar!" ucap Diandra di tengah isak tangisnya sambil mencengkram pergelangan Doni. Namun pria itu pergi tanpa memedulikan ucapan wanita di depannya.

Ketika Doni melangkah keluar, ia sempat berhenti sejenak dan melihat Nana yang menangis di depan pintu kamar dengan tatapan sendu.

Alih-alih menenangkan anaknya yang menangis, dia justru pergi meninggalkan rumah dengan amarah yang berkecamuk.

***

Sumpah demi apa pun kok kesel yak sama emaknya Nana -_- Nana sabar ya :')

Semoga kalian semua selalu bahagia ya :)

*btw anggep aja itu Askia wkwk*

Makasih ya tayank udah baca hoho ;) mau ngasih emot lope tapi di hape ini gak ada emotnya :( kezel

restartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang