Chapter 9: Realization

503 29 0
                                    

"No matter what we breed, we still are made of greed." Demons by Imagine Dragons  

Author's POV

'Minha... Kau masih mencintainya? Apakah kau masih berharap untuk kembali padanya?'

Pertanyaan Hyemi malam itu, pertanyaan yang tak mampu ia jawab karena ia sendiri tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan tersebut, masih terus menghantui pikiran Luhan. Ia kesal. Sangat kesal pada dirinya sendiri. Mengapa menjawab pertanyaan simpel tersebut begitu sulit dilakukan? Ia tahu jawabannya, tetapi ia tidak bisa menyampaikannya. Ia tidak mampu. Ada sesuatu di dalam dirinya yang menahannya, entah apa itu, ia sendiri tak tahu.

***

Bagi Minha, dua bulan ini adalah dua bulan tersulit dalam hidupnya. Setiap hari ia tertidur dengan Luhan yang selalu mengisi pikirannya. Berbagai pertanyaan akan muncul sebelum matanya terpejam, seperti 'Bagaimana kabar Luhan?', 'Apa yang dia lakukan?', 'Dia merindukanku atau tidak?', atau 'Apakah dia masih mencintaiku?'

Ia pikir ia tipe yang mudah melupakan, tetapi ternyata dua bulan tidak cukup baginya untuk melupakan perasaan yang telah ada di dalam hatinya selama tiga tahun lamanya. Mudah baginya mengatakan, "Aku tidak apa-apa." Atau, "Aku sudah melupakannya dan sekarang aku baik-baik saja." Namun hati tidak akan bisa berpura-pura. Berjuta kali pun mulutnya mengatakan ia sudah tidak mencintai Luhan, maka berjuta kali pula hatinya mengatakan hal yang sebaliknya.

Seolah itu saja tak cukup, tiap pagi ia harus terbangun dengan bayangan Luhan dan istrinya yang bahagia. Ia membayangkan Luhan akan terbangun dengan senyum di bibirnya lalu menatap istrinya penuh cinta, mengecup kening atau mungkin bibirnya, kemudian mengucapkan selamat pagi. Ia tidak bohong jika ia mengatakan dirinya akan ikut bahagia melihat Luhan bahagia, tetapi ia tidak bisa membantah kenyataan bahwa kebahagiaan Luhan di dalam bayangannya telah menorehkan luka dalam hatinya. Itu baru bayangannya saja, jika itu terjadi dalam kenyataan, ia tidak tahu bagaimana lagi dengan hatinya.

Tok! Tok! Tok!

"Minha, kau sudah bangun? Ayo sarapan!"

Suara ketukan pintu dan suara Chanyeol, kakaknya, mengembalikan ia pada realita, di mana ia masih memiliki harapan bahwa mungkin... Luhan dan istrinya tidak seperti di dalam bayangannya. Bahwa mungkin, tidak lama lagi ia akan kembali bersama Luhan.

"Ya, oppa! Aku akan turun sebentar lagi!" sahutnya.

Minha menyingkap selimut tebal yang semalam menutupi tubuhnya kemudian turun dari ranjang dan beranjak menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya untuk mencuci muka dan menggosok giginya. Di kamar mandi, ia melihat refleksi wajahnya. Sebuah senyum masam tersungging di bibirnya. Setidaknya ia tidak semenyedihkan dua bulan yang lalu, sebelum ia masuk rumah sakit.

***

Hari itu, sepulang bekerja Luhan tidak langsung pulang ke rumah, melainkan mampir ke kafe yang berada di dekat sungai Han. Ia ingat kafe ini adalah salah satu kafe favoritnya dengan Minha. Jika mereka datang ke kafe ini pada malam hari, mereka bisa melihat pemandangan sungai Han dengan air mancurnya yang disoroti lampu berwarna-warni.

Luhan hanya bisa tersenyum getir mengingat hal tersebut. Melupakan Minha tidak semudah mengerjakan soal fisika saat kau tahu rumusnya. Melupakan Minha baginya sesulit menyentuh ujung hidung dengan lidahmu sendiri. Ia tidak yakin ia bisa melakukannya saat apapun yang ia lakukan hampir selalu membuatnya teringat pada Minha.

Ada saat-saat tertentu di mana ia tidak memikirkan Minha sama sekali, tetapi waktu di mana ia teringat akan Minha lebih mendominasi. Ia teringat saat-saat ia sedang bersama Hyemi, wajah Minha akan muncul dalam bayangannya. Saat ia memeluk Hyemi, ia membayangkan Minha-lah yang sedang ia peluk. Apapun hal yang ia lakukan bersama Hyemi selama dua bulan tersebut, Minha akan selalu datang ke dalam pikirannya, memaksa ia untuk terus mengingatnya.

Beautiful Sin v 1.0Where stories live. Discover now