delapan

33 4 0
                                    

"Halo."

"Kenapa kamu gak ketemu Justin tadi sepulang sekolah? Kemana kamu?"

Caroline mendengus. Mamanya ini, kalau menelepon dia, sudah pasti bukan untuk menanyakan kabarnya. Dia sudah tau itu.

"Bukan urusan anda."

"Bicara yang sopan. Saya ini masih Mama kamu."

"Mama apa yang menelantarkan anaknya demi pekerjaan, dan memaksa anaknya untuk menjadi apa yang diinginkan?"

Klik.

Caroline memutuskan begitu saja panggilan tersebut.

Dadanya membuncah karena marah. Tak bisakan Mamanya menelepon sekali saja untuk menanyakan kabarnya, apa yang sudah ia lakukan sepanjang hari, bagaimana kabarnya. Tidak bisakah?

Ia kangen Mamanya yang dulu. Yang hangat. Yang selalu menanyainya dan juga Veve setiap saat. Memperhatikannya. Membuat bekal baginya. Memasak makanan kesukaan Caroline yang bahkan sekarang tidak bisa ia makan karena diet.

Pelupuk matanya sudah menggenang air, yang mungkin sekali kedipan mata, akan membuat air itu tumpah keluar begitu saja.

Seharusnya ia memang menemui Justin hari ini. Tapi kalian ingat kan rencananya dengan Ben? Ya. Harusnya ia ke tempat itu. Hanya saja, Ben memaksa nya pulang karena ia sendnag kurang fit. Jadilah ia pulang tanpa ke tempat itu. Tapi sekarang ia ingin sekali ke tempat itu. Dan besok, ia akan meminta Ben, atau mungkin memaksanya, untuk menemaninya kesana.

Sudahlah. Tak usah pikirkan itu. Lebih baik memikirkan yang bagus-bagus saja.

Seperti, kejadian di gudang sekolah tadi. Ah, memikirkannya saja, sudah membuat pipi Caroline kembali memanas.

Iseng, Caroline mengambil ponselnya.

Caroline: Oi.

Ken: ??

Eh? Tumben langsung dibalas. Tapi tetap saja irit balasnya.

Ia memilih untuk membacanya saja. Toh ia hanya iseng.

Tak terduga, Ken malah meneleponnya.

"Halo?"

"Hm?"

Sebenarnya ia tau ini siapa. Karena waktu itu, saat Ken sedang masak, Caroline mengambil nomor Ken dan ia terkejut karena ada nomornya disana. Tidak mau kalah, Caroline menelepon hapenya sendiri menggunakan hape Ken dan menghapus riwayat teleponnya.

Jadi, Caroline tentu saja tau ini siapa.

Ia hanya ingin mengerjai Ken. "Ini siapa ya?"

Dan percakapan mulai begitu saja, singkat. Karena apa? Karena ucapan Ken yang ambigu, tapi membuat Caroline malu.

Entahlah. Ia sudah bilang kan? Ia gampang malu dan memerah pipinya saat ada Ken.

"KAKAK!"

Hampir saja Caroline melempar ponselnya saking kaget karena pekikan adiknya di pintu kamarnya.

"Aish. Veve! I already told you. Don't scream in my room! Kenapa kamu masih teriak juga?"

Veve menyengir dan berjalan, menaiki kasur kakaknya itu. "Kakak. Tadi Mama telepon Veve. Katanya Veve mau disuruh ikut les balet sama piano. Seru deh pasti nanti."

Tidak. Tidak akan ada serunya sama sekali. Apalagi yang direncanakan Mama sekarang?

"Emang Veve seneng ikut les gituan? Gak capek? Seminggu bisa dua kali loh."

Amour Indicible [STOP]Where stories live. Discover now