sembilan

25 3 0
                                    

Keheningan kembali melanda mobil Ken. Seperti biasa. Tidak ada yang berbicara sama sekali, kecuali kalau Caroline sedang menunjukkan arah.

Kalau Caroline tidak mencari topik, akan diam selama perjalanan sampai tempat tujuan. Jangan harap Ken akan mengajaknya bicara duluan. Suatu hil yang mustahal. Kalau sampai Ken yang mengajaknya bicara duluan, sudah dipastikan langit mendung dan hujan lebat akan--

"Emang kita mau kemana, Lin?"

--turun.

Caroline mengerjapkan matanya dan menatap langit yang mulai mendung. Oke. Berarti nanti akan ada hujan lebat. Selalu seperti itu. Setiap Ken mengajaknya bicara duluan, beberapa kali hujan lebat mengguyur kota.

Aneh. Tapi nyata.

"Ke tempat yang biasa gue datengin kalo lagi bete sama nyokap."

"Tapi ini arahnya ke kuburan."

Caroline hanya tersenyum.

Iya. Benar.

Kalau Caroline sedang ribut dengan ibunya, ia akan ke kuburan. Bukan seperti anak populer lainnya yang akan memilih pergi ke club. Disini tenang. Karena semuanya sudah bahagia diatas sana. Atau tidak? Karena kita sendiri tidak tau kita akan masuk kemana. Surga? Neraka? Itu adalah akhir dari pilihan yang kita pilih saat ini.

"Ngapain kesini?" tanyanya lagi dengan nada datar.

"Ketemu papa."

Dan satu hal lagi yang terkuak bagi Ken tentang Caroline.

Mendengarnya, Ken memilih untuk diam.

Sampai akhirnya mereka tiba di depan gundukan tanah yang tertera batu nisan 'Waldy Liano Mc Kenzie.'

Papa tersayangnya sudah menjadi tulang belulang dibawah sana. Caroline berjongkok disampingnya, menaruh rangkaian bunga cantik yang tadi sempat ia beli. Matanya tiba-tiba mengabur. Air matanya sudah menumpuk, minta ditumpahkan.

"Papa," lirihnya, mengusap batu nisan itu. "I miss you. Really. I miss you, i miss the time when you hold me in your hug when i asked you even you're tired. I miss your warm hug. Your comfort hug." Tumpah sudah air matanya. Ia tidak mempedulikan Ken yang bahkan dia sendiri lupa kalau ada Ken disana.

Baru kali ini Ken melihat Caroline menangis. Baru kali ini. Dan, kali ini, biarkan Ken mengikuti kata-kata dari Jovan dan Jordan.

"Yeh si bego. Kalo cewek nangis tuh ya dipeluk. Di tenangin. Bikin dia merasa kalau ada orang yang bisa ia jadikan tempat bersandar disampingnya, selain orangtuanya. Bikin dia merasa kalau lu ada disana," kata Jovan sembari menoyor kembarannya itu.

Jordan meringis. Salahnya juga sih. Tadi Karina sedang sedih karena habis ribut dengan orangtuanya. Dan Jordan malah memilih diam. Bahkan ia main mobile legend di sampingnya.

"Gue kan gak tau somplak. Abis Karina kan bukan tipe cewek mewek. Terus gimana dong?"

"Ya mana gue tau. Urus sendiri sono."

Itulah yang Ken dengar saat melewati kamar Jovan dan Jordan.

Bikin dia merasa ada seseorang yang bisa ia jadikan tempat bersandar.

Ken menarik tubuh mungil Caroline kedalam dekapannya. Ia tau rasanya rindu pada orang yang sudah tidak bisa kita capai. Ia sangat tau.

Di dalam hangatnta dekapan Ken, Caroline semakin tersedu. "Aku kangen pas kita sekeluarga pergi piknik. I miss our picnic time. Our quality time. I miss Mom. Even Mom is still alive, live with me and Veve, she seems so far. I can't hug her. Even Veve and i can't speak with her." Ia menghapus jejak air matanya. Sudah cukup ia menangis. "Tapi jangan khawatir. Karena ada Ben yang selalu jagain aku sama Veve. Ben sudah kembali, Pa. Anak kesayangan Papa yang selalu Papa belain, selalu Papa banggain lebih dari aku sama Veve," katanya sambil tertawa kecil.

Amour Indicible [STOP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang