Prolog : The First Dance

1K 88 0
                                    

London, 5 tahun yang lalu....

Seorang gadis masuk ke dalam ruang ballroom dengan perasaan gugup. Ini bukanlah acara pesta dansa kerajaan, melainkan acara ulang tahun ayahnya. Tapi hari ini dia merasa kalau semua orang memperhatikannya sebagai putri kesayangan ayahnya. Seakan-akan dialah yang berulang tahun pada hari ini. Banyak rekan-rekan ayahnya yang datang padanya dan berbicara, meskipun dia hanyalah seorang gadis berumur dua belas tahun. Banyak yang bilang, Clara terlihat dewasa untuk gadis seumurnya.

Semua itu karena Clara terbiasa hidup mandiri di Indonesia. Ayahnya sangat jarang pulang karena masalah bisnisnya di London, Inggris. Karena itu, Clara selalu tinggal bersama ibu dan kakak laki-lakinya di Indonesia. Semua itu karena keputusan ibu Clara yang ingin tinggal di Indonesia. Ayahnya sedang berniat untuk membuat kantor pusat di Indonesia dan dia bilang, dia akan segera melakukannya karena dia tidak ingin berpisah jauh dari keluarganya. Ayahnya bilang proyek perusahaan baru itu akan selesai dua tahun lagi.

Kali ini, ayahnya mengundang semua keluarganya untuk merayakan ulang tahunnya di London. Tapi gadis itu tidak suka dengan keramaian di ruangan itu. Kakinya tanpa sadar membawanya menuju balkon utama di dalam ruang ballroom yang ayahnya sewa khusus untuk malam itu. Matanya menatap langit dan perlahan bibirnya tersenyum. Meski terlihat samar, gadis itu bisa melihat bintang-bintang kecil yang ada di atasnya.

Satu tangannya terangkat ke atas dan dia mulai menghitung jumlah bintang yang ada di atasnya. Menit setelahnya, gadis itu mendengar suara tawa pelan dari belakang punggungnya. Hal itu membuatnya dengan cepat menoleh ke belakang dan mendapati sosok seorang laki-laki sedang tertawa pelan sambil menatapnya. Laki-laki itu bergerak mendekat hingga dia berdiri di sebelah Clara. Gadis itu bisa melihat siluet wajah laki-laki itu. Sepertinya laki-laki itu seumuran dengannya atau lebih tua darinya.

Tubuh laki-laki itu lebih tinggi sedikit dari dirinya, mungkin sekitar lima senti di atasnya. Tapi wajahnya terlihat tenang, dewasa dan tampan. "Are you counting stars?" ucapnya dengan logat British yang kental.

 Pipi gadis itu bersemu merah dan dia hanya bisa mengangguk. Uh-oh. Dia tidak begitu pandai berbicara Bahasa Inggris dengan orang asing. Dia biasa hanya berbicara dengan ayahnya dan rasanya itu tidak sulit karena ayahnya mengerti dua bahasa sekaligus. Laki-laki itu beralih menatapnya dan tersenyum padanya. "I'm afraid, I can't help you. It will take forever to count those stars," laki-laki itu tertawa pelan. Sebelah tangannya terulur di depan gadis itu. "Would you dance with me, poppy?"

Gadis itu mengerjap. "Poppy?" tanyanya pelan dan sedikit bergetar.

"As cute as," bibir laki-laki itu tersenyum semakin lebar. Dia menggoyangkan tangannya di depan gadis itu. "Don't worry, poppy. I won't bite. Just a dance, I promise."

Dengan gerakan takut, gadis itu meletakkan tangannya di atas tangan laki-laki itu. Mereka bergerak ke dalam ruangan ballroom. Sebelah tangan laki-laki itu menariknya pinggang gadis itu mendekat ketika mereka tiba di tengah ruangan. Gadis itu bisa merasakan beberapa orang membuka jalan untuk mereka berdua ketika mereka mulai berdansa dengan tempo pelan. Dalam cahaya ruangan itu, dia bisa melihat wajah laki-laki itu dengan jelas.

Mereka bergerak dengan pelan dan kikuk. Gadis itu sedikit bersyukur karena dia sempat les balet sehingga dia bisa bergerak sedikit. Tapi karena dia sama sekali tidak bisa fokus dengan kakinya, dia menginjak kaki laki-laki itu satu kali. Tapi laki-laki itu tetap tersenyum dan tertawa pelan. "Easy, poppy," gumamnya pelan.

Setelahnya, gadis itu sama sekali tidak menginjak kaki laki-laki itu lagi. Matanya sibuk memperhatikan setiap inci wajah laki-laki di depannya. Seperti dia sedang berusaha merekamnya di dalam memori. Mata keemasan dan rambut kecoklatan. Hidung yang tinggi dan alis yang tegas. Semua yang ada di wajah laki-laki itu.

Saat itu, dia berjanji kalau dia tidak akan melupakan wajah laki-laki itu.

Meskipun pada akhirnya dansa itu berakhir terlalu singkat dan gadis itu terlalu gugup untuk menanyakan namanya. Laki-laki itu menghilang di balik kerumunan orang-orang yang datang malam itu. Tapi mata laki-laki itu masih menatapnya, seperti dia ingin menawarkan gadis itu untuk berdansa satu kali lagi.

Jika dia bertemu dengan laki-laki itu lagi, gadis itu tahu kalau dia akan mengingatnya.

Flawless (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang