Chapter 5: Truth & Lies

353 50 0
                                    

Clara menatap kartu hitam di tangannya dengan tatapan cemas. Tidak terasa dia sudah melewati beberapa ujian akhir di tahun terakhirnya di SMA. Dia berhasil melalui tes-tes di sekolahnya tanpa memikirkan hal lain. Tentu saja karena Hans ada di sampingnya. Sejak Clara bilang kalau dia akan mulai masuk minggu ujian, Hans menjaga jaraknya. Mereka tetap bertemu ketika mereka ada kesempatan. Clara sempat merasa kesepian dan kecewa karena Hans menerima hal itu dengan entengnya.

Tapi kemudian perasaan itu menghilang ketika Hans mulai sering meneleponnya malam-malam. Awalnya Clara memang sedang membaca buku pelajaran dengan bosan di kamarnya. Hari itu sudah genap seminggu sejak Clara mulai sibuk dengan ujiannya dan jarang bertemu dengan Hans. Ponsel di atas mejanya mendadak bergetar dan dia melihat nama Hans di layar. Dengan gerakan secepat kilat, dia meraih ponselnya dan berkedip beberapa kali.

Apa Hans benar-benar meneleponnya?

Dia mengangkat telepon itu setelah berdeham pelan. "Ha-halo?"

"Clara," suara Hans memenuhi pendengarannya. Suaranya terasa hangat dan lembut di telinga Clara hingga gadis itu melemaskan bahunya. Clara mendengar Hans berdeham pelan. "Apa aku mengganggu waktu belajarmu?"

Clara spontan menggeleng dan baru sadar kalau Hans tidak bisa melihatnya. "Sama sekali tidak," jawab Clara cepat. Hening sebentar. "Kenapa kamu menelepon?"

"Ah, tidak," Clara mendengar Hans berdeham lagi. "Hanya ingin mengecek keadaanmu saja."

"Apa kamu sedang sakit tenggorokan?" tanya Clara khawatir.

"Hah? Tidak," jawab Hans bingung.

"Tapi kamu terus berdeham sejak tadi," Clara menghela napas. "Jaga kesehatanmu. Bukankah kamu ada pertandingan beberapa minggu ke depan? Bagaimana kalau kamu sakit? Luke dan Josh pasti akan mengomel-"

"Sst," potong Hans tidak sabar. "Aku tidak menelepon untuk diceramahi. Aku hanya ingin mengecek keadaanmu," Hans berdeham lagi. "Apa kamu sibuk sepanjang minggu ini? Kamu makan dengan baik? Kamu tidak sakit atau-"

"Berhenti ceramah jika kamu tidak suka diceramahi," Clara mendengus. Bibirnya perlahan membentuk lengkungan senyum. "Dan aku baik-baik saja. Hanya sedikit merasa jenuh karena harus belajar," dan aku tidak bisa bertemu denganmu, batin Clara.

"Begitu ya," Hans terdiam sebentar. "Kalau begitu, aku akan meneleponmu setiap malam di jam yang sama untuk menemanimu belajar. Supaya kamu tidak merasa terlalu jenuh belajar, bagaimana?"

Clara merapatkan bibirnya dan bersiap untuk menjawab tidak. Tapi bibir dan hatinya menghianatinya. "Baiklah."

Hans benar-benar meneleponnya setiap malam dan menemaninya belajar. Mereka tidak berbicara banyak dan terkadang Hans melakukan video call dengannya. Clara bisa melihat kalau Hans juga sedang tiduran di atas ranjangnya sambil membaca buku tebal. Terkadang Clara bertanya karena penasaran buku apa yang dia baca. Hans tentu saja menjawab kalau dia sedang membaca buku Sherlock Holmes. Clara menggeleng pelan dan baru ingat kalau dia memang penggila misteri.

Seminggu setelah rutinitas menelepon itu berlangsung, Hans datang ke kelasnya dengan membawa sebuah tas kertas cokelat polos padanya. Saat Clara bertanya apa isi dari tas itu, Hans hanya mengerling. "Mood-booster," balasnya singkat lalu pergi untuk latihan di lapangan basket. Sepulang sekolah Clara membuka isi tas itu dan melihat kotak berisi cokelat panas dalam sachet. Sejak hari itu Clara meminum cokelat itu setiap malam dan Hans tersenyum ketika melihat Clara meminumnya di video callnya hari itu.

"Katanya cokelat bisa melepas stress," ucap Hans sambil tersenyum padanya lewat layar ponsel.

Rasanya Clara ingin bilang kalau hilangnya stress dalam dirinya bukan dipengaruhi oleh cokelat panas pemberian Hans. Mood-booster Clara yang sebenarnya adalah Hans sendiri yang bersedia menemaninya hingga larut malam untuk belajar. Hans yang saat ini tersenyum padanya dan membuatnya merasa beruntung karena sudah mengenal laki-laki itu. Tidak ada hal lain yang lebih baik dari hal itu.

Flawless (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang