Chapter 8 : Who?

328 49 0
                                    

"Clara."

Suara itu membuat gadis itu mendongak. Matanya menatap lawan bicaranya yang sedang menatapnya dengan tatapan khawatir. Dia sadar kalau sejak tadi tubuhnya ditarik menuju ke taman belakang. Tapi hatinya terasa dingin karena dia tidak menduga akan mendengar hal yang barusan dia dengar di meja makan. Bagaimana bisa Clara tidak tahu bahwa Hans memiliki hubungan yang buruk dengan ayahnya sendiri?

Hal itu adalah hal yang paling membuatnya marah. Karena dia tidak pernah memikirkan kenapa Hans bisa begitu dewasa untuk anak seumurannya. Kenapa laki-laki itu selalu tampak sebagai laki-laki paling kuat di antara teman-temannya yang lain. Tentu saja karena dia memiliki pengalaman yang lebih banyak dari anak lainnya. Tentu saja karena dia sudah mengalami lebih banyak hal di dalam hidupnya dibandingkan anak-anak lainnya.

"Aku baik-baik saja," ucap Clara dengan suara bergetar. "Aku hanya merasa sedih karena aku tidak pernah mengetahui hal ini sebelumnya."

"Ini karena aku tidak pernah menceritakan apa-apa padamu," Hans mengusap kepala gadis itu pelan. "Ini salahku."

"Benar," Clara menghapus air mata di pipinya dengan kasar. "Ini salahmu, kenapa aku harus menangis?"

Hans tersenyum tipis, senyuman itu pudar perlahan. "Ayahku dan ayahmu memang berteman baik. Tapi mereka adalah dua laki-laki yang berbeda. Bisa dibilang kalau ayahku adalah orang yang penuh dengan persiapan sehingga dia mempersiapkan aku untuk menjadi penerusnya sejak dini. Aku tidak pernah mengeluh, menurutku selama dia senang dan tidak dimarahi olehnya, itu sudah cukup untukku."

Clara menggeleng pelan. "Itu tidak cukup."

"Kamu benar," Hans tertawa pelan. "Seiring aku bertambah dewasa, aku sadar kalau aku memiliki hal lain yang perlu aku nikmati. Hal lain selain belajar tentang bisnis dan kursus bersama kenalan ayahku dari luar negeri. Seperti bagaimana rasanya berteman dengan bebas dan bagaimana rasanya jatuh cinta," matanya berkedip jahil pada Clara. Hal itu membuat pipi gadis itu memanas. "Aku bersyukur malam itu aku bertemu denganmu."

"Hans-"

"Aku tidak menceritakan kalau aku juga kabur malam itu," Hans melanjutkan sambil tersenyum. "Ketika ayahku sedang membicarakan soal bisnis dengan temannya dari Paris, aku memutuskan untuk pergi sebentar ke toilet. Lalu aku melihatmu berjalan keluar menuju balkon di pojok ruangan. Karena aku merasa penasaran, aku mengikutimu dan menemukanmu sedang menghitung bintang di langit."

"Tapi mungkin saat itu aku merasakannya," Hans menarik napas. "Mungkin malam itu aku jatuh cinta padamu."

Entah kenapa saat itu dada Clara terasa sesak. Hans bukanlah tipe laki-laki yang bisa mengatakan kalau dia menyukai Clara sesering itu. Karena itu jantung Clara selalu berulah setiap kali Hans mengatakannya di saat yang tepat. Seperti saat ini. Rasanya ada air mata yang mendesak keluar dari ujung matanya dan matanya terasa panas. Clara merasakan tangan dingin Hans menyentuh pipinya.

Air mata yang Clara tahan sejak tadi kini mengalir bebas jatuh ke pipinya. "Seharusnya aku mengatakan kalau aku adalah gadis itu sejak awal kita bertemu ya?" Clara mulai terisak. "Kenapa aku tidak mengatakannya sejak awal?"

"Jika kamu mengatakannya sejak awal, mungkin jalan ceritanya akan berbeda," Hans menghapus air mata gadis itu dengan sabar. "Tapi aku bersyukur karena kita ada di sini sekarang seperti ini."

Clara menatap laki-laki itu seakan-akan dia baru saja berhasil memetik bintang di langit malam itu. Akhirnya setelah sekian lamanya Clara mencari, dia menemukan laki-laki yang tepat untuknya. Laki-laki yang dia tahu akan menjadi masa depannya. Kedua tangannya terangkat dan memeluk laki-laki itu erat. Dia terisak pelan di dalam pelukan Hans, tidak sadar kalau laki-laki itu ikut memeluknya dengan sama erat.

Flawless (FIN)Where stories live. Discover now