Chapter 9 : Pancakes

438 57 0
                                    

Calvin sedang bersenandung pelan sambil membersihkan motornya di halaman depan rumahnya. Dia sibuk menyirami motor kesayangan yang menjadi hadiah ulang tahunnya tahun kemarin itu dengan tatapan kagum. Tangannya perlahan mengusap badan motor dari sabun dan kini motor itu terlihat sangat bersinar di bawah sinar matahari. Ini adalah motor kebanggaannya sejak dia masuk kuliah dan dia selalu mencucinya seminggu dua kali. Ibunya bahkan sampai tidak percaya Calvin yang malas bisa melakukan kegiatan rutin seperti ini.

Tangan Calvin sedang mematikan keran air di sampingnya ketika dia mendengar suara gerbang pintu rumahnya terbuka. Dia melihat sosok Clara masuk dan mengunci gerbang itu kembali. Bibir Calvin tersenyum lebar dan dia berhenti bersenandung. "Yo, bug," panggil Calvin dengan sebutan yang selalu dia gunakan untuk memanggil adiknya itu. Senyumannya perlahan pudar ketika dia melihat mata Clara yang berkaca-kaca sambil memasuki rumah dan mengabaikannya. Calvin langsung meletakkan selang air itu sembarangan dan mengikuti langkah Clara ke dalam rumah.

"Bug, apa yang terjadi?" tanya Calvin ketika Clara berhenti untuk melepas sepatunya.

"Tidak ada yang terjadi," suara gadis itu terdengar dingin dan bergetar.

"Tunggu, ini pasti salah Hans, iya 'kan?" Calvin merapatkan giginya. "Biar aku beri pelajaran anak itu. Memang sejak awal seharusnya aku memperingatkannya-"

"Cal, kamu tidak perlu ikut campur," Clara mendesah berat sambil berjalan cepat menuju tangga rumahnya. Ibu mereka sedang pergi arisan dan Calvin sedikit bersyukur. Jika tidak, ibunya itu pasti sudah heboh melihat Clara yang menangis seperti ini.

"Kamu adikku, jelas ini urusanku," Calvin menekankan lagi. "Aku benar-benar harus memberinya pelajaran."

"Cal, sudahlah," Clara berhenti di depan pintu kamarnya sambil memejamkan matanya. "Aku tidak ingin diganggu. Aku tidak ingin berbicara sekarang, ya?"

Calvin mendesah berat kemudian mengangguk pelan. Clara masuk ke dalam kamarnya sementara Calvin berdiri di depan pintu itu selama beberapa saat. Memang salahnya sejak awal tidak memperingatkan Hans soal hubungannya dengan Clara. Calvin paling tidak bisa melihat adiknya itu sedih. Meskipun dia terlihat tidak peduli, tapi sebenarnya dia sangat menyayangi adik perempuan satu-satunya itu. Calvin kembali turun ke bawah dan membereskan selang yang tadi dia letakkan sembarangan.

Hans pasti akan datang ke rumahnya lagi. Begitu dia datang, Calvin harus membuat perhitungan dengannya.

**********

"Iya, ini memang salahku. Tidak seharusnya aku bersikap kekanakkan. Aku hanya takut-"

Clara menggeleng kemudian merebahkan dirinya kembali ke ranjang. Sudah dua jam dia berusaha merangkai kata-kata yang pas untuk dia katakan pada Hans. Tapi tidak ada yang terasa benar. Semua kalimat yang keluar dari mulutnya terasa salah. Dia benar-benar tidak tahan jika dia harus bertengkar dengan Hans seperti ini. Terutama karena mereka sudah jarang bertemu. Kenapa sekali bertemu mereka harus bertengkar? Sejak awal memang Clara lah yang membuat semuanya menjadi rumit.

Hans bahkan sudah mengatakan bahwa dia memang tidak ada hubungan spesial dengan Gia. Tapi Clara tidak bisa mempercayainya. Clara memejamkan matanya dan dia masih bisa melihat bayangan Hans yang menyentuh kepala Gia dengan entengnya. Kedua tangannya terkepal dan dia menggeleng kuat. Tenang. Dia harus tenang. Setidaknya Clara tidak harus melihat adegan itu setiap hari 'kan? Clara mendudukkan dirinya di atas ranjang kemudian meraih ponselnya.

Ibu jarinya menekan speed dial nomor 7. Alasannya menggunakan nomor itu adalah karena nomor punggung milik Hans di lapangan.  Clara ingat pernah satu kali Hans menunjukkan seragam barunya itu pada Clara di mobil ketika dia baru mendapatkannya. Hans terlihat sangat bangga dan senyumannya begitu lebar. Clara ikut senang dan hari itu mereka merayakan status Hans sebagai kapten dan seragam barunya itu. Clara menempelkan ponselnya di telinga kemudian memejamkan matanya.

Flawless (FIN)Where stories live. Discover now