6a

24.8K 2.4K 91
                                    

"Lho? Kok sudah pulang?" tanya Fiera bingung saat melihat Rachles masuk ke dapur.

"Memang harusnya aku pulang jam berapa?" Rachles balik tanya dengan acuh seraya membuka kulkas, menuang air putih ke dalam gelas, lalu meneguknya dengan nikmat. Hari ini cuaca di luar agak panas pahadal sekarang masih musim hujan.

Fiera menatap Rachles sambil berkacak pinggang. Raut wajahnya tampak kesal. "Kali ini aku bukan sekedar basa-basi. Tapi kenapa jawabanmu tetap mengesalkan seperti itu?"

Rachles terkekeh. Dia mendekat pada Fiera lalu membungkuk hingga bibirnya berada tepat di samping telinga Fiera. "Karena aku suka melihatmu kesal. Kau jadi terlihat semakin cantik dan menarik."

Wajah Fiera memerah. Dia mundur seraya melotot pada lelaki yang kini menegakkan tubuh dengan mata berkilat geli. "Gombalanmu tidak mempan padaku. Carilah korban lain!"

"Kupikir mempan karena wajahmu memerah sekarang." Rachles tertawa.

Gemas, Fiera melempar serbet ke wajah Rachles tapi dengan sigap Rachles menangkapnya. "Lemparan yang payah, Nyonya." Rachles mengejek seraya melempar kembali serbet itu ke pantry. "Mana putraku?" dia menoleh kanan kiri untuk mencari keberadaan sosok mungil yang biasanya selalu menempel padanya.

Putraku?

DEG.

Fiera menelan ludah sebelum berkata, "Merajuk di kamarnya. Dia marah karena saat bangun kau tidak ada."

Senyum Rachles merekah. "Aku akan menemuinya dulu."

Fiera memperhatikan punggung Rachles yang menjauhinya hingga menghilang di ambang pintu dapur. Kata-kata itu...saat Rachles mengklaim Russel sebagai 'putranya' membuat Fiera teringat ucapan Raynand.

"Wah, wah. Aku mulai curiga apa mungkin Russel sebenarnya adalah putra Rachles mengingat betapa miripnya mereka."

"Coba saja bercerai dariku sekarang. Dan lihat bagaimana kau akan membuat Rachles dipandang sebagai perebut istri kakaknya dan status Russel menjadi tidak jelas anak siapa."

Fiera menumpukan kedua telapak tangan ke meja pantry. Kepalanya tertunduk saat rasa sakit itu kembali menghantam hatinya. Kebenciannya semakin terasa dan membuncah di dada.

Sampai detik ini, Fiera masih tidak menyangka bahwa kata-kata itu keluar dari bibir lelaki yang menikahinya. Lelaki yang dijodohkan dengannya lalu mereka belajar saling mencintai bersama. Tidak butuh waktu lama bagi Fiera untuk jatuh cinta pada Raynand. Dia ramah, penyayang dan selalu berusaha menjadi suami yang baik. Karena itu dengan sabar Fiera menunggu rasa cinta Raynand untuknya muncul.

Tapi ternyata, cinta yang Fiera tunggu tidak pernah muncul. Hingga wanita itu hadir di antara mereka dan membuat sikap Raynand perlahan berubah. Kini Fiera seperti tidak mengenal Raynand lagi. Bahkan dengan tega dia berkata seperti itu mengenai putranya. Ayah dan suami macam apa dia itu?

"Fiera? Kau sakit?"

Bukan suara itu yang membuat Fiera kaget. Melainkan tangan besar yang tiba-tiba menyentuh keningnya untuk mengecek suhu tubuh Fiera.

"Eh, tidak." Buru-buru Fiera mundur lalu berbalik membelakangi Rachles yang kini menggendong Russel. Dia tidak mau mereka berdua melihat matanya yang berair. "Kalian duduk saja dulu. Sebentar lagi makan siang sudah siap."

Terdengar suara kursi di depan pantry ditarik. Sepertinya Rachles menduduk Russel kemudian dia duduk di kursi yang lain. Fiera sendiri masih belum berani menoleh.

"Aku berencana mengajak kalian piknik." Rachles berkata. "Yah, hanya di taman depan kompleks. Tapi pasti menyenangkan. Masukkan saja masakan yang baru kau buat ke dalam wadah bekal."

His Smile (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang