17a

24K 2.3K 132
                                    

"Astaga, badan Russel panas sekali!" seru Fiera panik sambil mendekap Russel lebih erat ke dalam pelukan.

"Sepertinya tadi dia baik-baik saja." Rachles yang sedang menyetir melirik Russel. Ekspresinya juga menampakkan rasa khawatir.

"Aku juga tidak tahu." Bisik Fiera lemah. Kecemasannya meningkat karena wajah Russel memucat sementara tubuhnya bergetar seperti menahan dingin.

"Jangan khawatir. Sebentar lagi kita akan melewati rumah sakit. Kita langsung berhenti di sana."

Fiera hanya mengangguk.

Di luar langit sudah malam. Saat ini mereka dalam perjalanan pulang. Semua tampak baik-baik saja selama keberangkatan. Namun kini mendadak Russel demam tinggi.

"Papa." Bibir Russel bergerak pelan dan suara yang ia keluarkan sangat lirih.

"Apa, Sayang?" tanya Fiera sambil mendekatkan wajah Russel ke wajahnya.

"Papa." Kali ini suaranya lebih keras meski masih sangat lemah.

"Oh, Russel mau sama Papa? Tapi Papa masih nyetir. Russel sama Mama saja, ya."

"Papa." Lagi-lagi bocah itu berkata dengan mata terpejam.

Fiera melirik Rachles meminta bantuan.

"Sebentar lagi kita sampai, Jagoan. Setelah itu Russel akan Papa gendong." Bujuk Rachles.

"Papa...Raynand..."

DEG.

Fiera dan Rachles saling pandang selama beberapa detik lalu perhatian keduanya tertuju pada bocah kecil yang masih terpejam itu.

Air mata Fiera menetes. Dia semakin erat mendekap Russel. "Kita bisa menyebarkan berita palsu bahwa Russel bukan anak kandung Raynand. Tapi ikatan batin dan hubungan darah tidak bisa dikelabui." Fiera berkata serak. "Russel kangen Papa Raynand, ya?"

Tidak ada jawaban selain bibir Russel yang masih bergerak-gerak menyebut Papa Raynand.

"Jangan khawatir. Aku akan menghubungi Raynand sesampainya di rumah sakit." Ujar Rachles.

Fiera melirik Rachles tak yakin.

"Ayolah, tidak perlu menatap ngeri seperti itu." Rachles tersenyum menenangkan. "Ini bukan pertama kali kami bertengkar. Biasanya setelah beberapa hari tidak bertemu, kami mulai saling merindukan."

Rachles bermaksud melucu namun Fiera sama sekali tidak tersenyum apalagi tertawa. Wanita itu hanya mengangguk singkat lalu kembali fokus pada putranya.

Beberapa menit berlalu, mereka sampai di rumah sakit. Demam Russel hanya demam tinggi biasa, bukan gejala demam berdarah atau lainnya. Tapi dokter menyarankan bocah itu dirawat inap selama satu atau dua hari.

Setelah membantu Fiera mengurus administrasi, Rachles keluar kamar rawat Russel untuk menghubungi Raynand. Namun sayang, ponsel Raynand tidak aktif.

"Bagaimana?" tanya Fiera yang menyusul Rachles keluar.

"Ponsel Raynand tidak aktif."

Fiera meremas kedua tangan khawatir. "Russel masih terus memanggil-manggil Raynand."

Mendadak ada rasa tidak suka di hati Rachles. Dia tidak masalah Russel merindukan Raynand. Wajar seorang anak merindukan ayahnya. Tapi yang Rachles tidak suka melihat kecemasan Fiera. Apa wanita itu masih mencintai Raynand?

"Kau mencemaskan Russel apa mencemaskan Raynand yang tidak bisa dihubungi?" nada Rachles terdengar ketus. Padahal dia bermaksud bicara biasa.

Fiera melotot kesal ke arah Rachles. "Bisa-bisanya kau cemburu di saat seperti ini."

His Smile (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang