9b

25K 2.5K 205
                                    

Fiera merengut kesal dengan tatapan tertuju pada Rachles yang sedang merapikan dasi kupu di leher Russel. Kedua lelaki itu tampak riang, berbeda dengan raut wajah Fiera yang kesal.

"Nah, sudah." Rachles mundur, memperhatikan penampilan Russel yang sedang berdiri di ranjang. Bocah itu tampak tampan sekaligus menggemaskan dengan celana panjang, kemeja, serta dasi kupu.

"Ma, Russel sama seperti Papa, kan?" Russel bertanya dengan wajah berbinar.

Fiera berusaha menampilkan senyuman. "Iya, Sayang. Mirip sekali. Ayo kita main di halaman belakang." Ajak Fiera seraya mengulurkan tangan hendak menggendong Russel.

Bocah itu menggeleng kuat-kuat. "Russel mau ikut Papa!"

"Sayang, Mama sendirian di rumah." Fiera berkata dengan wajah memelas.

"Tidak perlu manja. Aku mempekerjakan dua pelayan dan seorang tukang kebun. Kau tidak akan sendirian." Cibir Rachles seraya mengenakan jasnya.

Fiera menjulurkan lidah pada Rachles. "Semoga Russel membuatmu kesusahan di kantor."

"Hei, kau mendoakan anak kita menjadi anak nakal, ya?"

Pipi Fiera merona mendengar kata 'anak kita' dari bibir Rachles. Itu mengingatkannya pada dua ciuman tak terduga mereka sebelumnya. "Bukan begitu. Aku hanya—"

Rachles terkekeh lalu mengacak rambut Fiera lembut. "Sudahlah, kami harus segera berangkat mencari nafkah sekarang."

Fiera mendengus tapi tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk mencegah Rachles membawa Russel. Sebenarnya Fiera bukan khawatir Russel membuat ulah atau apa di kantor. Dia hanya belum terbiasa jauh dari Russel. Sejak Fiera melahirkan bocah itu, belum pernah sekalipun mereka berpisah meski hanya beberapa jam. Kemana-mana mereka selalu bersama. Tapi kini Fiera harus merelakan Russel jauh dari jangkauannya. Dan itu sungguh membuat Fiera sedih.

Namun jika harus memilih Russel menangis sepanjang hari atau pergi bersama Rachles selama beberapa jam, tentu Fiera akan memilih opsi kedua.

Fiera segera menggendong Russel lalu berjalan di sebelah Rachles menuju pintu depan. "Kalau dia menangis, segera telepon aku." Dia mengingatkan.

"Ya, Nyonya."

"Jangan biarkan dia main ponsel lagi. Kau sudah bawa mobil-mobilan dan balok susun yang kukatakan tadi?"

"Sudah ada di mobil, Nyonya."

"Jangan belikan makanan sembarangan."

Sampai di ambang pintu Fiera masih mengoceh tentang larangannya. Rachles terkekeh mendengar itu.

"Aku serius, Rachles."

"Iya, aku tahu." Ujar Rachles seraya mengambil Russel dari gendongan Fiera. "Pamit sama Mama." Perintah Rachles pada Russel.

"Ma, Russel pergi dulu." Russel mencium bibir Fiera, kedua pipinya, lalu menyentuhkan kening mereka hingga hidung mereka bersentuhan. Persis seperti ciuman yang diajarkan Rachles, yang selalu mereka lakukan jika hendak berpisah.

"Iya—"

Cup.

Mata Fiera melebar. Lagi-lagi dia tidak bisa mengantisipasi ciuman dari Rachles. Mendadak lelaki itu sudah mengecupnya lembut lalu berbalik dengan Russel di gendongannya.

Jantung Fiera kembali bergemuruh. Tapi kali ini dia tidak membiarkan dirinya hanya mematung. Segera dia menghampiri Rachles yang baru saja memasangkan sabuk pengaman di kursi Russel.

"Rachles, dengar. Mungkin selama ini kau telah salah paham akan sikapku. Tapi aku hanya menganggapmu seperti adik, meski rumah tanggaku sedang diterpa badai."

His Smile (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang