Chapter 3

1.3K 186 9
                                    


Kongpop meninggalkan rumah setiap hari jam 7 pagi, hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa kotak surat untuk buletin atau buku barunya, kemudian akan menyirami bunga-bunga di dalam pot di depan rumahnya. Setelah itu ia pun pergi ke perpustakaan dengan berjalan kaki. Dia suka menulis di perpustakaan, karena suasananya sepi dan terkadang pustakawan akan membantunya untuk mengedit ketikannya jika ada kesalahan. Meskipun sebenarnya, dia hampir tidak membuat kesalahan apapun, Kongpop sangat berhati-hati dalam segala hal.

"Kong, aku di sini!" seseorang meneriakkan namanya saat ia tiba di depan zebra cross.

Kong tersenyum dan mendekati asal suara tersebut.

Sejak hari terakhir mereka bertemu di panti asuhan, Arthit berjanji dan menawarkan bantuan untuk membantunya menyeberang jalan. Jadi pria itu selalu muncul setiap pagi dan menunggunya disana jika dia bangun lebih awal, atau Kong akan menunggunya jika ia terlambat, dan mereka berpisah di persimpangan, dimana Kong menuju perpustakaan dan Arthit akan pergi kegame center atau warnet. .

"Jadi, bagaimana kuliahmu?" tanya Kong.

"Seperti biasa, membosankan ... aku ingin bolos kelas..." Arthit berbohong.

"Mengapa?"

"Jika aku bisa melihat, aku ingin kuliah." Kong memberitahunya.

"Apakah aku boleh menanyakan sesuatu yang bersifat privasi?"

"Ya, apa itu?"

"Sejak kapan kau...." dia berhenti sejenak. "Maksudku... apa kau tidak bisa melihat sejak kau lahir?"

"Tentu saja tidak." Jawab Kong. "Aku demam tinggi saat berada di tahun kedua SMA, dan sedang sendirian di rumah saat itu, tidak ada yang membawaku ke rumah sakit. Orang tuaku mengira aku akan meninggal saat aku dibawa ke rumah sakit keesokan harinya, tapi kemudian Dokter berhasil menyelamatkanku, tapi sayangnya aku kehilangan penglihatanku. "

Arthit kaget saat mendengarkan ceritanya. "Jadi, bagaimana reaksimu saat itu?"

"Bagaimana reaksimu, jika kau adalah aku?" Kong membalas pertanyaannya.

"Aku?" Seru Arthit. "Aku mungkin akan bunuh diri." dia menjawabnya cepat.

"Ya, aku juga."

"Apa kau sungguh melakukannya?" Arthit terkejut dengan jawabannya, Kong mengangguk. "Apa yang terjadi setelah itu?"

"Ibuku bunuh diri mendahuluiku."

Arthit langsung membeku seketika. "K-kenapa?"

"Dia merasa bersalah karena terlambat membawaku ke rumah sakit malam itu, karena hari itu adalah hari ulang tahun pernikahan mereka, jadi ayah dan ibuku pergi makan malam bersama."

Arthit tidak bisa mempercayai ceritanya yang mengejutkan.

"Jadi, ibuku bunuh diri untuk menyumbangkan matanya padaku."

"Hah? Lalu kenapa....?" Arthit menjadi bingung.

"Aku lebih baik tidak melihat lagi selamanya daripada tidak dapat melihat ibuku lagi jika aku bisa melihat kembali. Aku sangat mencintai ibuku, dia adalah satu-satunya orang yang peduli padaku."

"Tapi, bukankah kau membiarkan pengorbanannya sia-sia? Mengapa kau tidak menerimanya saja, meskipun kau tidak dapat melihatnya lagi, tapi kau bisa melihat melalui matanya."

"Tidak, aku ingin belajar menerima kenyataan." Kong memotongnya. "Jika ibuku masih hidup, aku harus memiliki keberanian dan melanjutkan hidupku, menerima dunia baruku, belajar kemampuan baru, dan membuat semua orang yang aku cintai tidak perlu mengkhawatirkanku."

Indonesia - Love is Like Reading a Book (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang