Raka

181 6 12
                                    


Minggu malam.

Sudah hampir jam tujuh malam ketika aku tiba di alun-alun Utara menikmati wedang ronde lesehan bersama dua teman kerjaku. Shiftku usai sejam tadi dan tak butuh banyak waktu untuk berada di sini, karena lokasi kerjaan memang sangat dekat.

Sejam yang lalu, Aji dan Candra mengajakku wedangan dulu sebelum pulang ke rumah. Kami cukup berjalan di pinggiran Malioboro melewati banyaknya orang yang sedang berbelanja aneka oleh-oleh. Bahkan ketika melewati Tugu Jogja banyak kami temui orang berselfie.

Sekarang di sinilah kami bertiga dengan minuman yang membuat hangat tubuh. Aku hanya diam sambil memandang para penjual makanan disekitar alun-alun.

"Ka, ngelamun ae. Selak adem lo wedangmu. " kata Aji tiba-tiba sambil menepuk bahuku.

"Ah yo! Ki tak ombene." Setengah gagap aku langsung menyendok rondeku dan kudapati punya mereka pun masih utuh. "Halah, kalian juga belum minum lo."

"La kita ngobrol juga kamu malah ngalamun aja. Mikir opo to kwe Ka?"

Hm, memang benar kata Candra, meski pandanganku menyusuri seluk alun-alun tapi entah tiba-tiba aku jadi berfikir coba dia motoin ini, pasti bagus jadinya deh.

"Hehe, sorry bro. Rapopo kok. Santai aja." Balasku sambil cengengesan.

Dua orang ini memang kawan kerjaku yang cukup dekat. Kami sering main bersama. Melakukan perjalanan ke luar kota sekedar ingin mengunjungi tempat-tempat menarik.

Cukup lama kami berbincang, merencanakan dimana lagi perjalanan selanjutnya, lalu tiba-tiba Aji mendapat telepon dari rumahnya dan berpamitan pulang. Jadi tinggal aku dengan Candra.

"Kenapa ya sama si Aji. Mugo-mugo ae ra ono opo-opo." Kataku.

"Halah Ka, paling kon ngajari adek e sinau." Jawab Candra. "Deen kan anak mbareb. Sama kayak kamu Ka."

"Eh. Tapi aku cuma punya adek cewe, satu. Itupun udah SMA." Balasku ngeles.

"Iya tahu. Drupadi kan namanya." Kata Candra sambil menenggak habis mangkuk berisi kuah ronde. "Hm.. Raka dan Drupadi."

"Yoi." Sekarang giliran menghabiskan butiran ronde milikku.

"Kata bapakku, Raka itu artinya kakak laki-laki. Mungkin orang tuaku sudah berniat melahirkan anak setelah aku cukup besar, dan menjadikan aku seorang kakak." Kataku lagi.

"Trus arti Wisnu Suryandaru apaan?"

Candra sudah tahu nama lengkapku, bahkan anak-anak di tempat kerjapun banyak yang hapal. Kata mereka namaku apik lan njawani.

"Bapakku to Can suka banget sama Mahabarata. Bapak suka sosok Khrisna yang bijaksana, nah si Khrisna itu kan jelmaan dewa Wisnu, gitu deh. Yah mungkin artinya Kakak laki-laki bijak yang bisa menerangi adek-adeknya kali." Kataku terkekeh.

"Wejian, sangar tenan." Jawab si Candra sambil mengangkat tubuh bongsornya berdiri lalu mengeluarkan dompet dari saku celananya."

"Eh, kwe arep nyang ndi?" Tanyaku seketika.

"Pulang, capek aku Ka. Kamu mau pulang apa masih disini. Rondemu wes tak bayari."

Tanpa menunggu jawabanku, Candra melangkah menuju motor lanangnya.

"Gak. Aku disini dulu aja. Ntar tak jalan aja. Rumahku kan deket."

"Ya udah. Balek sek ya. Assalamu'alaikum."

"Yo. Wa'alaikumsalam."

Candra berlalu. Suara motornya terdengar menjauh hingga tak terdengar. Aku masih disini. Ingin sedikit lama berteman dengan malam dan dinginnya udara Jogja.

Oh, ya. Namaku Raka. Sudah kujelaskan tadi arti namaku kan. Keluargaku asli Jawa. Aku muslim. Mungkin ada yang bertanya kenapa namaku ga ada arab-arabnya gitu, padahal kebanyakan akan memberi anak nama-nama nabi atau arti yang bagus dalam arab kan. Hm, kata Bapakku. Wong Jowo ojo kelangan Jowone. Orang Jawa jangan kehilangan sifat jawanya. Gitu kira-kira.

Aku laki-laki umur 21 tahun. Aku suka menulis dan travelling. Dua hal itu tak dapat dipisahkan dalam hidupku. Karena kalian tahu? Segala apapun yang terjadi semua itu adalah sebuah cerita, bahkan perilaku manusia dengan manusia lain, pikiran-pikiran mereka dalam menghadapi sesuatu pun adalah sebuah cerita yang oleh kita, ah bukan olehku khususnya, bisa dijadikan sebuah cerita.

Dan perjalanan, adalah perihal mengumpulkan cerita-cerita dalam hidup.

Angin berhembus menyapa pipiku yang tidak tembem. Ah, bahasa apa ini, alay. Aku terkekeh sendiri. Layar smarphone kugeser-geser. Mencari aplikasi Instagram yang akhir-akhir ini sering kubuka. Hanya untuk melihat foto-foto yang diposting dia. Hm. Lian namanya.

Kami berteman di medsos ketika tergabung dalam sebuah grup travelling MyTrip. Entah sejak kapan dia suka me-like status-status Facebookku. Dan dari sanalah kutahu dia suka fotografi, jadi kufikir pasti dia banyak posting di Instagram. Ah, mungkin sebuah keberuntungan atau bagaimana, aku berhasil menemukan IG dia dari nama Fb nya.

Sembari tersenyum kugeser-geser poto-poto yang dia posting. Tak lupa kusematkan 'like' di tiap poto yang kuanggap bagus, dan itu hampir semua. Entah kenapa aku setertarik ini kepada seseorang. Mungkin mudah saja kutanyakan dia tinggal dimana dan kuajak ketemuan. Tapi tak ada niatan seperti itu. Meski terkadang sesekali aku memikirkan cowok putih berkacamata ini, dia orang keturunan sepertinya, diliat dari namanya juga keliatan. Sama sepertiku yang bisa diliat dari nama. Tapi perbedaannya kulitku coklat, tidak terlalu tinggi, hanya 158cm, tapi tampang kurasa cukup ganteng. Terbukti aku pernah pacaran dua kali, terakhir waktu SMA. Sekarang aku lebih memilih hobiku dulu daripada cewek.

Setelah puas dengan IG, aku beralih ke Facebook. Aku suka sekali menulis di note Fb. Kuketik dinote ketika ingin menulis cerita atau sajak. Atau di status ketika hanya buah fikiran singkat yang ingin tertuang.

Oh, ya. Aku suka sastra, penulis favoritku Sapardi Djoko Damono dan Aan Mansyur. Sederhana tapi mengena. Sangat suka karya mereka berdua.

Mungkin jika perasaanku sekarang dapat kuutarakan, rasanya ada gelisah entah disudut hati mana.

Entah perjalanan keberapa, yang asing akan menjadi karib. Hingga gelisah ini akan sirna.

Post.

Angin semakin menampar wajahku, menggerakksn rambutku yang sedikit panjang karena belum kupangkas di tukang potong Madura, pinggiran.

Aku merapatkan jaket dan berdiri. Berpamitan pada penjual ronde dan berjalan pulang.

Entah sejak kapan, tiap posting status atau note ada nama yang selalu kutunggu memberikan jempolnya.

Lian.


Raka Wisnu SuryandaruWhere stories live. Discover now