Lagu Pejalan

50 1 15
                                    


Pada akhirnya masing-masing kita akan berjalan di jalur yang berbeda.

Barangkali perayaan perpisahan yang mengharukan adalah sepasang kekasih yang masih dalam rasa sayang mereka, beda dengan perpisahan sepasang kawan yang baru merasa dekat lalu berpisah.

Barangkali jika waktu tak menyeret masing-masing kami, aku dan Lian akan melakukan perjalanan-perjalanan seru lainnya.

Seseorang tidak akan tahu betapa berartinya sebuah pertemuan jika belum dihadapkan oleh perpisahan, kenyataan bahwa aku dan Lian akhirnya bisa bertemu merupakan suatu kebetulan yang dinamakan takdir, biasa, tak istimewa tapi mulai membekas didada. Ada ruang-ruang tanda tanya yang beberapa kali terjawab ketika perjalanan di Semarang dan Solo. Seolah menemukan suatu kenyamanan dan kecocokan dalam berkawan.

---

Sepulang dari Semarang Bapak memberitahukan perihal keinginanku dulu yang belum disetujui beliau, bekerja di luar kota. Malam itu Bapak mengajakku duduk dan berbincang.

"Le, kowe kelingan kepinginanmu kerjo nang luar kutha biyen kae?" (Nak, kamu masih ingat keiinganmu kerja di luar kota dulu?) kata Bapak di teras rumah pada malam itu. Diletakkannya kopi hitam yang baru saja diseruputnya.

"Nggeh Pak, pripun?" (Iya Pak, gimana?)

"Kepiye Le, iseh pingin kerjo kutho liyo?" (Gimana Nak, masih ingin kerja keluar kota?)

"La enten nopo to Pak kok tiba-tiba tangklet ngonten?" (Ada apa sih pak kok tiba-tiba tanya begitu) tanyaku heran.

"Ngene iki Le, dulu itu bapak tidak setuju kamu kerja di luar kota karena menurut bapak kamu belum benar-benar dewasa, jek durung iso ngurus awakmu dewe." Bapak bergeser duduknya sambil membetulkan letak sarung yang dia gunakan. "La banjur saiki bapak rasa ki kowe wes gedhe, iso bertanggung jawab mbe awakmu dewe. Bapak delog soko kerjomu saiki." (Sekarang Bapak rasa kamu cukup dewasa bisa bertanggung jawab terhadap dirimu sendiri. Bapak lihat dari kerjamu selama ini.)

Aku diam mendengarkan penjelasan Bapak. Pandanganku yang sedari tadi tertuju di jalanan lewat teras rumah sekarang beralih ke Bapak.

"Kowe kan isen enom, masih muda, nah bapak seneng kalau kamu punya banyak pengalaman."

"Nggeh Pak, Raka tahu itu. Itulah sebabnya Bapak membiarkan Raka sering travelling kan."

"Nah, kui." Bapak menyeruput kopinya lagi.

Dalam hatiku tiba-tiba ada cemas yang mulai datang, apakah mungkin Bapak akan membahas tentang apa yang mas Galih tanyakan padaku kemarin. Tentang relawan di Maros, Sulawesi Selatan.

"Bapak kui, asline ora masalah yen kowe saiki meh kerjo luar kutha. Tapi kalau mau menjadi seorang relawan, itu lain ceritanya Ka."

Tuh kan.

Sedikit panik, aku bertanya pada Bapak. "Ehm, Bapak kok tiba-tiba bahas itu. Bapak tahu dari mana?"

"Yo, ngerti no.. La wong mau awan Galih mrene ngandani Bapak kok." (Ya tahu lah, siang tadi Galih ke sini memberitahu Bapak kok.)

Lah, kan. Ngapain juga mas Galih ketemu Bapak, yah meskipun ketika dia tanya aku selalu menjawab yang kurang adalah ijin dari orang tua.

"Hm.."

Aku tak bisa menjawab Bapak, ada rasa khawatir akan reaksi bapak selanjutnya. Bagaimana jika bapak tidak mengijinkannya.

"Gini Le, yang mau bapak bilang itu, opo wes mbok pikir baik-baik. Cari pengalaman itu bagus, tapi kelangsungan hidup sendiri juga lebih penting. Dengan pekerjaanmu sekarang bapak rasa sudah cukup, dengan sering jalan-jalan itu juga apakah masih kurang? Bapak cuma mau mengingatkan Le. Kowe kui wong lanang. Anak laki-laki, harus bisa memikirkan dan mempunyai kesiapan untuk masa depanmu."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 09, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Raka Wisnu SuryandaruWhere stories live. Discover now