Kedai Kopi

72 5 8
                                    


Sudah hampir jam delapan malam aku di sini. Di sebuah kedai kopi daerah Mataram, yang terletak tidak jauh dari rumahku. Hanya berjalan ke arah timur dari Sosrowijayan melewati Jalan Perwakilan, maka sampailah di coffeshop ini.

Ada kopdar komunitas menulis yang akan aku ikuti. Janjian di tempat ini pukul delapan. Namun sampai sekarang belum satupun yang datang. Aku sudah beberapa menit lalu membuka laptop, memesan kopi espresso dan camilan.

Tepat pukul delapan seperempat satu orang yang datang disusul yang lain lima menit kemudian.

Setelah saling bertanya kabar dan menyiapkan materi-materi yang akan dibahas. Kami segera memulai pertemuan. Lima orang termasuk aku yang datang. Kami menempati pojok ruangan kedai kopi Mataram ini.

Ada beberapa yang kami bahas antara lain proyek antologi yang sedang kami garap hingga kasus plagiat yang sedang heboh di medsos akhir-akhir ini.

Kopdar selesai hampir pukul sebelas malam. Dan kedai kopi ini masih menyisakan beberapa orang di dalam.

"Ka, kamu mau pulang bareng atau pulang sendiri?"

Salah satu teman, Mas Galih menawariku berboncengan motor untuk pulang. Seperti biasanya setiap kali kopdar aku selalu merepotkan dia mengantar pulang. Kebetulan rumah kami tidak terlalu jauh.

"Ga Mas. Ntar pulang sendiri aja. Deket kan."

"La emang kamu masih mau di sini?"

"Iya Mas. Bentar lagi lah pulangnya." Jawabku masih duduk menghadapi layar laptop yang masih menyala.

"Jangan malam-malam Ka. Kami pulang dulu."

"Njeh Mas." Kataku sambil tersenyum. "Kalian hati-hati ya."

Aku masih tersenyum mendengar kata-kata Mas Galih barusan. Rasanya sungguh hangat ketika tiba-tiba aku teringat betapa dia perhatian denganku, sebagai seorang kakak tentu saja. Apalagi setelah kematian adiknya, sahabatku.

Kubuka folder di My Document yang menyimpan foto-foto kami ketika dulu. Ada yang sesak di hati ketika mataku menyusuri satu persatu kenangan itu. Aku, Mas Galih, dan Awan. Foto terakhir bersama sahabat baikku dan kakaknya ketika sehabis kelulusan dengan seragam abu-abu penuh coretan dimana-mana. Waktu itu Mas Galih datang ke sekolah kami untuk mengambil surat kelulusan dan menyempatkan berfoto sebelum konvoi motor merenggut nyawa adiknya, nyawa sahabat baikku.

"Selalu saja ada yang hujan ketika mengingatmu. Apakah kau senang membawa mendung ke rumahku, sedang semua kenangan masih kau bawa, Awan."

Post.

Tiba-tiba aku mengetik di status Facebook begitu saja.

Kenangan ketika masa SMA bersama Awan kembali berputar dan membawa rasa sesak dan sepi. Suasana kedai kopi inipun begitu mendukung untuk hanyut dalam kesepian kurasa.

"Hhhh..." Aku menghela nafas dan menyilakan rambut dengan jari-jariku.

Kusandarkan punggung di kursi kayu tempat dudukku. Mataku terpejam sesaat sebelum mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

Ternyata masih ada beberapa orang yang bertahan di sini. Tiga laki-laki di depan bar kedai. Dua di meja depanku, mereka sepertinya membicarakan hal serius, espresi mereka jelas karena tempat duduk yang cukup dekat. Dan satu di ujung seberang ruang dekat jendela. Seorang laki-laki duduk sendirian dan menghadap ke luar. Ada kopi di depannya dan terlihat sedang memainkan handphone. Aku tak terlalu jelas melihat wajahnya. Hm, mungkin seseorang yang ingin menikmati malam sendiri, sama sepertiku.

Aku kembali kepada layar laptop. Tanpa banyak berfikir aku membuka Instagram dan betapa kagetnya melihat postingan seseorang di newsfeed IG ku. Dia, baru saja posting foto dengan caption kata-kata..hm.. puisi??.

Oh, tidak. Seketika pandanganku kembali ke laki-laki yang duduk sendirian dekat dengan jendela. Kali ini dia sedang memandang keluar.

Ah, benar. Itu foto kopi di mejanya. Meski jauh tapi aku bisa melihat yang dia posting sama persis yang ada di depan laki-laki itu.

Dia di sini. Lian. Di tempat yang sama. Ah, apa dia tahu aku juga di sini.

Aku tersenyum sambil menepuk jidat. Baru saja aku posting status di Facebook dengan mention kedai ini. Jika dia membacanya, maka akan tahu.

Lian. Teman medsos yang belum pernah kutemui. Hanya sekedar like dan like di medsos, tak lebih. Tapi entah mengapa jadi perhatianku beberapa minggu ini. Entahlah.

Mungkinkah ini kesempatan yang baik untuk kenalan. Aku bertanya pada diri sendiri.

Lalu? Bagaimana caranya?. Mendatangi mejanya dan berkata. "Halo, aku Raka. Aku yang selalu suka foto-foto di IGmu. Boleh kenalan?."

Aku terkekeh dengan pikiranku sendiri. Iya, aneh pastinya jika seperti itu. Tapi, kami begitu dekat sekarang. Lalu haruskah berlalu begitu saja?.

Tanpa diaba-aba. Jariku mengetik di kolom komentar foto Lian tersebut.

"Secangkir kopi yang tak menyembunyikan pahitnya

Tapi Pahitku masih kusimpan sendiri"

"Mau kutemani menikmati pahit itu? ;)"

Post.

Ah, gila. Aku tertawa tertahan tak percaya apa yang kulakukan. Sekarang hanya menunggu saja. Aku duduk bersandar melihat dia dari mejaku.

Apa reaksimu. Lian.

Raka Wisnu SuryandaruWhere stories live. Discover now