Berdua Saja

46 3 1
                                    


Malam mulai merayap membawa gelap. Menyisakan jejak tapak percakapan dan tawa yang masih hangat diingatan, aku dan Lian. Tak pernah mengira pertemuan dengannya malah berada di tempat yang jauh dari kota kami berdua. Sebuah ketidaksengajaan yang dinamakan takdir.

Sudah pukul sepuluh mataku belum bisa terpejam, aku memutuskan untuk ke beranda rumah Putri.

Aji sedang gitaran di situ, Candra dan Putri sedang membahas entah apa di laptop, dan aku baru saja keluar meninggalkan Lian di kamar yang sibuk dengan kameranya.

"Ji." Sapaku seraya duduk dihadapan Aji yang sedang membelakangi jalan.

Dia tak menghiraukanku, tetap bernyanyi pelan dan memperhatikan petikan kunci gitarnya.

"Kamu belum tidur Ji?"

"Hm?" dia mendongak melihatku akhirnya. "Bentar lagi Ka."

jreng.. namun.. sadarku harus memilih.. semuanya tentang dirimu.. kau tlah patahkan asaku.. jreng.... tergores kembali satu luka dihatiku..

Hah. Dengusku.

"Kamu lagi patah hati yo Ji?"

Dia tak mengindahkanku, masih saja bernyanyi. Namun sebentar kemudian tiba-tiba dia berdiri dan menyodorkan gitarnya ke arahku.

"Nih, aku mau tidur."

"Tunggu Ji." Aku menghentikan langkahnya ketika akan masuk rumah. "Kenapa?"

"Gak apa. Bosen."

"Eh?"

Aneh.

"Ji, minta rokokmu."

"Ngapain kamu minta rokok?"

"Ra po Ji." Jawabku santai tanpa melihat ke arahnya.

"Lo, bukan e harusnya hatimu lagi senang ya Ka. Kan barusan kencan mbe cah kae." Kata Aji menggoda.

"Kencan lambemu ah. Wes kono mlebu.. Turuo kono." Balasku sambil mendorong pelan tubuh Aji masuk ke dalam.

"Iyo.. Iyo.. Jangan tidur malam-malam Ka. Besok pulang kita."

"Iyo... " Jawabku malas. Aku mulai membuat gitar itu berbunyi, kupetik senarnya dan bersenandung pelan.

Aku kembali menatap jalanan sepi di depanku. Lebih tepatnya rumah kosong di depanku, karena rumah Putri berada di gang yang tak terlalu lebar jaraknya dengan rumah di depannya.

Rumah tak terlalu tinggi, aku bisa melihat bintang di atas atap rumah itu. Langit yang gelap dengan beberapa pijar kecil di angkasa. Tak berada jauh dari pijar itu ada bulan yang seperempat lagi sempurna menjadi purnama. Tak berawan.

Deg.

Tiba-tiba dadaku rasanya sesak. Ada yang menyebul diingatan. Sosoknya kembali datang ketika namanya tak sengaja kusebut.

Aku tak tahu, berapa lama akan seperti ini. Sampai kapan nama Awan menjadi semacam alarm yang mengundang kenangan menekan dada. Apa ini yang dinamakan rasa bersalah. Apa dia belum bisa memaafkan diri sendiri.

Aku mengambil sebatang rokok yang ditinggalkan Aji dan mulai menyalakannya. Kuhisap dimulutku dan kuhembuskan asapnya di udara. Aku tak ingin berfikir apapun, tapi tanpa kusadari pikiranku sudah menjadi sebuah time traveller yang kembali ke masa lalu. Masa dimana aku dan Awan bertemu, bermain dan kejadian hari itu. "Uhuk.. Uhuk." Aku merasa tersedak. Tenggorokanku sakit sesakit ingatan yang tiba-tiba menekan dadaku.

"Hei." Sebuah suara dan tepukan dipundak bersamaan datang dari belakangku.

Aku buru-buru menengok dan kulihat sosok berkacamata sudah di sampingku. "Ah, Lian."

Raka Wisnu SuryandaruWhere stories live. Discover now