Awal

68 6 5
                                    

BRAK!!

Meeooww!!

Mimpi sewaktu kecil tiba-tiba putus ditengah jalan. Aku terbangun, menemukan hening dan remang kamar.

01.24am.

Aku melihat hp. Lewat tengah malam.

Rasa haus menyergap tenggorokan. Aku beranjak dari kasur meraih air putih yang ada di meja samping kasurku.

Suara berisik kucing berhasil membuatku setengah sadar. Masih posisi duduk, aku meraih handphone di kasur dan menyalakan data selularnya. Sekedar ingin membuka newsfeed di FB atau IG.

Ting. Ting. Ting.
(notif wa memberondong masuk)

Candra : "Ka, sesok bar subuh langsung cuz ke rumahku."

Kubuka pesan yang masuk lagi.

Mbak Maya : "Kalian ini. Ini terakhir kalinya ya libur bareng-bareng gini. Lain kali aku ga bisa ngasih lagi. Ok."

Dia Manajer toko. Mengatur jadwal absen para karyawan. Mbak Maya sudah tahu kami bertiga memang suka libur bareng begini. Satu ambil cuti, dua ijin. Atau sebaliknya. Baiknya mbak Maya dia selalu mengatur untuk kami supaya stand jaga kami selalu ter back up.

"Oh ya. Karena ini terakhir kalinya kalian bisa libur bersama, so nikmati liburannya deh. Jangan lupa oleh-oleh buatku ya. Oke ^^v"

Aku tersenyum membaca WA mbak Maya.

"Siap mba. Gampang. " Balasku.

Lalu yang terakhir cukup membuatku termenung. Pesan dari mas Galih. Sebuah gambar,  screenshoot.

dan sebuah pesan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

dan sebuah pesan. "Terima kasih Ka, telah menjadi sahabat adikku. Terima kasih sudah menjadikan dia sesuatu yang penting bagimu. Tapi lepaskan Ka, sampai kapan luka itu terus kau pelihara. Kau harus ingat ini. Yang dekat itu kematian (kau tahu sendiri kan) dan yang jauh adalah masalalu."

Aku berulang membaca puisi Galih Pandu itu, penyair asal Rembang, teman mas Galih. Ah ya, nama mereka sama. Pernah setengah tahun lalu ketika kopdar di Kedai Kopi daerah Mataram Galih Pandu datang dan yang lain cukup gampang memanggil dengan Galih dan Pandu, meski ada juga yang memanggil Galih satu dan Galih dua.

"..yang dekat itu kematian dan yang jauh adalah masa lalu."

Kata-kata itu terngiang di kepala. Aku merebahkan diri dan kenangan itu menyergap tiba-tiba. Terbayang ketika motor yang kami kendarai dihantam truk pasir dari depan. Entah bagaimana saat itu yang kutahu aku sudah berada di rumah sakit. Dan ketika sadar, kutemukan wajah-wajah sedih dan berduka disekelilingku.

Aku diam, tak berkata apa-apa maupun bertanya. Hingga beberapa saat kemudian mas Galih datang sambil menangis memelukku, mengatakan sesuatu yang cukup lama membuat menyimpan semua kata dalam ruang terdalam diriku. Ada yang hilang dan kosong dalam hati. Dan sesuatu hal yang lama-lama tumbuh bagai pohon yang mengakar kuat. Membuatku sekarang ini masih tak bisa menghilangkannya meskipun sudah bertahun berlalu. Satu goresan yang masih terus membekas meski semua luka ditubuhku hilang tak bersisa.

Aku memegang bekas luka parut memanjang kira-kita 5cm di pelipis sebelah kanan. Rasa bersalah karena kematian Awan adalah hal yang telah mengakar dihatiku dan luka di pelipis inilah tandanya.

"Hahh..." Aku memejamkan mata dan menghela nafas panjang. Rasanya tak akan habis jika aku memikirkan Awan. Seperti masalalu yang tak pernah jauh dariku.

Aku kembali melihat hape. Membuka Facebook dan Instagram. Ada notif pesan masuk di Instagram. Dari, dia. Lian.

"Maaf Raka, Waktu itu saya tak bisa menemuimu, Ayah saya memberi kabar dan saya mesti ke rumah sakit segera, sungguh ini bukan sekedar alasan saya untuk sengaja menghindar.
Tentu saja saya ingin bertemu dan ditemani ngopi, siapa sih yang tak ingin ditemani saat sendiri?
Seharusnya waktu itu saya menyapamu barang sebentar ya?
Maaf sekali lagi kalau begitu...
Ah, lain kali kita harus bertemu ya...
Jangan hanya menikmati pahitnya saja, sebab ada rasa lain dalam pekatnya kopi itu...
Semoga ada waktu dimana saya bisa berjabat tangan dan memperkenalkan diri sebagai teman.
Sekali lagi saya minta maaf,
Sampai jumpa lagi ya, Raka..."

Aku membaca pelan apa yang ditulis oleh cowo berkacamata itu. Ada rasa-rasa yang merayap dihati ketika membaca baris-baris yang disampaikan Lian. Lega, sesuatu yang membuatku untuk mulai tersenyum dan perasaan ingin bertemu lain kesempatan.

Ternyata benar kejadian di kedai kopi itu karena ada sesuatu, bukan karena ingin menghindari.

Sambil tersenyum jempolku mulai mengetik jawaban.

"Iya gak apa, Lian... Bukan masalah."

Send.

Aku sedikit tersenyum. Meletakkan hape di sebelahku kemudian mulai mencoba memejamkan mata untuk kembali tidur.

---

06.15am.

"Ra opo to kamu berjalan sendiri sendiri dulu Ka?." Kata Aji sambil memakai masker dari saputangan hitam plmiliknya.

"Iyo. Santai lah. Ntar kan kita bisa gantian." Jawabku.

Kami sudah berada di teras rumah Candra. Motor Aji ditinggal di rumah Candra karena kami hanya menggunakan dua motor saja.

Candra keluar dari dalam rumah dan menepuk pundakku.

"Woi! Ngapain kamu senyum sendiri Ka?"

Seketika pandanganku beralih padanya dari hp.

"Hehe.. Ra ono opo-opo. " Jawabku cecengesan.

Kupakai helm dan menyiapkan motor untuk segera berangkat menuju Semarang.

Aku tersenyum lagi mengingat apa yang barusan aku lakukan. Aku mengirim dia direct massage lagi.

"Ah iya...  aku tahu kok, ada rasa lain dipekatnya kopi. Aku pernah merasakannya. Mungkin lain kali, aku bisa menikmatinya bersamamu. Semoga... "

Lian.

***

bersambung..

Raka Wisnu SuryandaruWhere stories live. Discover now