4

1.9K 130 1
                                    

"Dialah Mentari yang kini bersama Langit"

***

"Mars, pokonya nanti siang lo yang jemput gue! Gue gak mau di jemput sama temen lo itu!"

"Iya bawel! Belajar yang rajin, gausah mikirin yang bikin otak lu koslet!"

"Iya"

Lalu aku berjalan masuk ke dalam sekolah dan Mars yang mengantarku, pergi ke kampusnya. Aku berjalan dari ujung sampai ujung, lalu mataku tak sengaja melihat Langit sedang berjalan berdua bersama perempuan itu. Kenapa akhir akhir ini aku sering melihat kejadian menyakitkan ini sih, kenapa juga Langit yang harus muncul. Kenapa gak cowok lain aja.

Aku sudah berusaha tidak memperdulikannya tapi semakin aku mencobanya semakin aku tidak bisa melakukan itu. Mereka berjalan berlawanan denganku, dan terpaksa aku harus melihat mereka. Melihat pemandangan yang menyakitkan ini.

"Langit, aku ke kelas duluan ya" ujar Mentari.

Lalu aku terdiam sebentar dan melihat Langit tidak meresponnya. Sebenarnya apa yang terjadi sama Langit, kenapa dia seperti orang gak niat hidup sih. Dan perubahan drastis terjadi di dirinya, dulu aku melihat Langit orang yang murah senyum, periang, pintar, dan suka sekali menyapaku. Tapi sekarang Langit yang berada tepat di depanku, bukanlah langit yang dulu melainkan Langit yang asing bagiku.

Aku melangangkah maju, begitupun dengan Langit. Kami saling berdiam diaman. Setibanya di kelas, aku melihat Dira membawa sebuah brosur.

"Eh Dir, brosur apaan tuh?" Tanyaku sambil menyimpan ransel di meja, lalu duduk di samping Dira.

"Ini nih, katanya sekolah kita bakalan ngadain acara promnite pas akhir akhir kita lulus sekolah. Ya katanya sih sebagai hiburan dulu sebelum akhirnya kita lulus" ujar Dira.

Bahkan aku gak berpikir kalau sebentar lagi aku mau lulus. Gak terasa aku dan Langit akan lulus dan akhirnya berpisah. Tapi aku gamau berpisah sama Langit, meskipun Langit bukan milikku lagi setidaknya aku bisa melihat dia kalau satu sekolah.

Dulu aku dan Langit pernah berjanji akan satu kampus, tapi lihatlah keadaan sekarang, berharap itu boleh tapi kenyataannya bisa terwujud atau enggak.

"Gue jadi ngebayangin gaun apa ya yang cocok gue pake"

Dira senyum senyum sendiri, dan temanku yang satu ini emang suka mengkhayal. Tapi dia teman terbaik Bulan, karena selama hampir tiga tahun Dira bersama Bulan.

"Niat banget sih, kita kan mau lulus udah acara itu, emang kamu gak sedih apa?"

Dira tersenyum dan senyumnya itu menunjukan gigi gingsulnya. "Sedih sih Lan, apalagi harus pisah sama kamu"

"Iya Dir, makasih ya karena selama ini kamu udah mau jadi sahabat aku, aku gak ngebayangin deh, aku ke kantin dan ngelakuin hal baru dengan temen baru, dan itu pasti ngingetin aku sama kamu"

Tiba tiba mataku berkaca kaca, saking menghayati. Sementara Dira dia udah duluan netesin air mata, tapi dengan senyum diwajahnya, mungkin Dira juga tidak mau membuat aku ikut menangis.

"Dir, udah dong jangan nangis, aku jadi pengen nangis nih"

"Iya enggak" Dira mengelap air matanya.

"Nah gitu, nanti air mata kamu abis disini gimana, kan belum juga kelulusan"

Dira tersenyum mendengar ucapanku, karena aku juga gak mau membahas soal perpisahan ini. Apalagi pikiranku selalu saja tertuju pada Langit. Jujur disisi lain aku juga tidak mau berpisah dari Langit.

***

Suara ponselku berbunyi dan terlihat nama si penelpon itu adalah Mars. Aku memutar bola mataku, lalu kembali menatap nama itu.

"Hallo Mars, dimana sih lo!"

"Gue gabisa jemput lo nih, mobil gue mogok, terus si Langit lagi ada urusan. Jadi lo pulang sendiri aja ya, hati hati!"

Tak sempat aku menjawab, Mars bodoh itu langsung memutuskan sambungannya, dan membuatku berdecak kesal. Mars itu memang seperti ini, padahal aku tau ini hanyalah akal akalan nya si Mars buat bisa ketemuan sama pacar barunya itu. Kenapa aku bisa tau, ya karena aku pernah memergoki Mars waktu itu.

Aku terpaksa berjalan kaki mencari angkot, karena di depan sekolah tidak di perbolehkan angkot lewat, jadi harus berjalan kaki ke terminal angkot. Tapi saat di pertengahan jalan, tiba tiba hujan turun sangat deras. Lalu aku memutuskan untuk berteduh di caffe dekat sekolah. Lumayan isi perut dulu.

Tapi saat aku masuk, aku melihat Mentari duduk di salah satu meja, dan anehnya dia tidak bersama Langit.

"Dia, ngapain dia ada disini?"

Tiba tiba saja Mentari melihat kearahku, dan tersenyum, lalu dia berjalan menghampiriku.

"Hai, kamu Bulan kan? Ngobrol yuk sama aku. Itung itung nungguin hujan reda"

Ajakan Mentari membuat mataku mengerjap, lalu kulihat senyumannya seperti tulus. Aku mengangguk, dan sebenarnya aku juga ingin lebih jauh mengenal siapa Mentari ini, dan hubungan apa yang Mentari jalani dengan Langit.

Aku duduk di kursi depan Mentari, sehingga kami saling berhadapan. Aku maupun Mentari terlihat canggung, karena ini kali pertamanya aku dan Mentari sedekat ini.

"Kamu tau aku darimana?" Tanyaku memecah keheningan yang sedari tadi aku dan Mentari ciptakan.

"Dari Langit, karena kamu adalah mantannya Langit, iya kan?"

Mataku terus memperhatikan Mentari, dan jujur saja aku merasa sebal dengan kata "mantan" meskipun itu memang kenyataannya.

"Iya, kamu siapanya Langit?" Tanyaku.

Mentari tersenyum sambil mengaduk aduk jus di depannya. Lalu kembali mengarahkan pandangannya kearahku.

"Aku, aku pacarnya Langit"

Jleb!

Aku terkejut, dan sekarang serasa anak panah menusuk di hatiku. Mendengar pernyataan itu ragaku seraya melayang pergi. Dan mendadak tubuhku kaku.

"Selamat ya"

"Kamu gak marah kan?"

Aku menatapnya heran, kenapa dia bertanya seperti itu sedangkan dia tau sendiri kalau aku tidak ada hubungan apa apa lagi dengan Langit.

"Untuk apa aku marah?"

"Karena perasaanku mengatakan, kalau kamu masih mempunyai perasaan sama Langit"

Aku terdiam, dan memang benar aku masih mempunyai perasaan terhadap Langit. Kenapa juga dia bisa merasakan hal yang benar.

"Enggak kok" aku menggeleng, meskipun itu jawaban yang palsu.

"Kita sama sama wanita kan Bulan, dan aku mau kamu pergi jauh dari hidup Langit"

Jleb!

Lagi lagi kata kata yang Mentari katakan membuat hatiku sakit lagi. Kenapa Mentari berkata seperti itu. Sikapnya sih biasa aja, tapi setiap perkatannya seperti orang yang memperingati supaya aku jauh jauh dari Langit.

"Iya, kamu tenang aja. Hujan udah reda, aku pulang duluan"

"Oke, namaku Mentari"

Aku mengangguk, lalu pergi meninggalkan Mentari saat aku tau hujan sudah berhenti. Karena aku tidak mau terus terusan berada di dekat Mentari. Bisa bisa hatiku hancur.

Kesel juga sih! Mentari bilang seperti itu. Yang pertama dia bilang dia pacarnya Langit, dan yang lebih parah dia suruh aku menjauh dari hidup Langit. Apa maksudnya itu, padahal selama ini aku memang sudah jauh dari Langit, apa mungkin Langit belum bisa move on jadi Mentari menyuruh aku untuk menjauh dari Langit, supaya proses move on Langit bisa selesai.

***

Terimakasih sudah membaca❤

Antara Bulan & LangitWhere stories live. Discover now