10 - Sial

69.5K 3.8K 21
                                    

Vella menatap lurus pada sebuah buku tebal yang dipegangnya. Ia membaca tulisan-tulisan dalam novel itu dengan penghayatan, agar dirinya terasa seperti ada di dalam cerita itu. Terkadang, membaca novel memang butuh tempat yang agak tenang, agar kita bisa membacanya dengan fokus. Ditambah lagi jika dibacanya dengan penghayatan, kita akan merasa seperti masuk ke dalam ceritanya.

Vella memaki dalam hati. Bagaimana tidak? Okta dan Jean yang mengikuti ekskul modern dance itu membuat Vella menghabiskan waktu jam istirahatnya di dalam perpustakaan sendirian. Di antara mereka bertiga, memang Vella sendiri yang tak tertarik dengan ekskul modern dance itu. Ia akan mengikuti ekskul menulis di sekolahnya jika ada, tapi sayangnya ekstrakulikuler menulis sudah ditiadakan karena peminatnya yang terlalu sedikit. Kebanyakan dari mereka lebih memilih ikut ekskul basket, futsal, dan modern dance, dibanding eskul menulis yang katanya sangat membosankan.

Helaan napas keluar dari bibir mungil gadis itu. Merasa sudah cukup bosan, Vella meletakkan pembatas buku di halaman yang terakhir ia baca. Ia meraih ponselnya yang ia letakkan di sebelah novel, lalu menyalakannya. Vella membuka aplikasi wattpad dan mengecek perkembangan cerita barunya. Dan benar saja, pembacanya semakin banyak saja.

Vella terkekeh pelan. "Gak nyangka curhatan pembaca gue berguna juga. Thanks, God."

Vella membaca satu-satu komentar para pembacanya, seraya terkekeh pelan. Sesekali ia tertawa geli karena komentar pembacanya yang sangat lucu. Terkadang pula ia tersenyum ketika membaca komentar pembaca yang menyemangatinya untuk melanjutkan cerita itu.

Sekedar info, pernah ada salah satu pembaca cerita Vella yang awalnya selalu mendukung bahkan komentar di setiap chapternya, tetapi tak seperti dugaan Vella, ketika Vella mengecek akun orang itu, ternyata orang itu membuat cerita yang sama persis seperti cerita Vella. Bedanya, orang itu mengganti judul serta nama tokoh-tokohnya, tetapi alurnya sama persis dengan cerita Vella. Antara kecewa, kesal, dan marah, Vella menegur orang itu. Dan tak lama, orang itu menghapus cerita hasil plagiatnya dan sudah tidak pernah muncul lagi.

Tiba-tiba, Vella memekik kencang ketika sebuah kamus tebal jatuh dari atas dan menimpa ponsel yang sedang dipegangnya. Alhasil ponsel kesayangannya jatuh ke lantai, membuat pemiliknya membelalakkan matanya tak percaya. Semua mata pun tertuju pada mereka berdua.

"Eh, maaf!" Cowok itu meletakkan buku-buku tebalnya di atas meja, lalu menunduk dan meraih ponsel Vella yang terjatuh ke lantai, kemudian mengembalikannya ke Vella.

Vella memaki dalam hati, lalu mendongak dan menatap cowok itu. Mata mereka bertemu cukup lama, sebelum akhirnya Vella mengalihkan pandangannya.

"Sorry," ujar cowok itu seraya membenarkan kaca matanya. "Lo gak papa?"

Guenya si gak kenapa-napa. Hape gue yang kesiksa, woi! batin Vella kesal.

"Gak, gak papa," jawab Vella.

Mata Vella tertuju pada name tag yang tampak di sisi kanan kemeja cowok itu yang bertuliskan Daniel Tristan W.

Cowok berkaca mata itu menggaruk leher belakangnya yang tidak gatal. "Um..., soal hape lo, biar gue ganti aja ya?"

Vella terdiam. Mengingat ponselnya yang sudah mulai lemot dan banyak lecet itu, sebenarnya Vella ingin sekali hape lamanya diganti dengan yang baru. Namun, gengsi menahannya. Mana mungkin ia bilang kalau ia mau hapenya diganti dengan yang baru?

"Ngh ... nggak usah kok, gak apa-apa." Vella mengecek ponselnya, apakah ada yang rusak atau tidak.

Dan ternyata, anti goresnya saja yang retak, entah layarnya kena atau tidak. Yang pastinya, Vella sangat kesal sekarang.

Daniel menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah dengan perbuatannya. "Hape lo sampe retak gitu. Gue gantiin aja, plis, mau ya?"

"Gak usah, ini mah anti goresnya doang yang lecet." Vella menolak lagi.

"Kalo hapenya rusak, gimana?"

Vella menunduk, kembali menatap ponselnya yang retak. Jika sudah ditawarkan begitu, Vella pun tak bisa menolak.

"Tapi lo gak mungkin gantiin hape gue pake hape n*kia, kan?" tanya Vella hati-hati.

Mendengar pertanyaan Vella, Daniel pun tertawa geli. Tanpa ragu, Daniel mengacak rambut Vella, membuat cewek itu membelalakkan matanya. Daniel tak tahu saja, Vella paling anti dengan yang namanya 'mengacak rambut'. Karena apa? Karena hal itu membuatnya baper setengah mati. Efek kebanyakan nonton drama Korea ya begini.

"Lo lucu banget sih," kata Daniel sambil terkekeh. "Gak bakal lah gue gantiin pake hape jadul. Masih mampu kok gue buat beli hape yang lebih layak."

Vella jadi ikut-ikutan terkekeh. Diam-diam ia merutuki dirinya sendiri karena sifatnya yang gampang baper itu. Inget, Vel, lo udah punya Alan!.

"Jadi, gimana? Mau kan, hape lo gue gantiin?" tanya Daniel sekali lagi.

Vella tertawa kecil. "Gak bisa nolak lah, orang lo maksa."

Daniel mengangguk. "Gimana kalo nanti pas pulang sekolah, kita ke mall buat beli hape lo?"

Vella pun mengatupkan bibir mungilnya. Ia terdiam. Ia jadi bertanya-tanya, bagaimana dengan Alan? Vella takut jika Alan akan marah karena ia pergi bersama cowok lain, walaupun hanya sekedar membeli ponsel saja. Alan, kan, posesifnya setengah mati. Bisa-bisa Alan marah-marah, atau lebih parahnya lagi, Alan bisa saja menghajar Daniel.

Vella meringis. Ia bergidik ngeri, membayangkan wajah Daniel yang akan babak belur ketika Alan menghajarnya habis-habisan.

"Lo kenapa?" tanya Daniel ketika melihat tingkah Vella yang mulai aneh.

"Gak, gak apa-apa."

"Bisa kan, nanti?" tanya Daniel untuk memastikan apakah Vella bisa pergi bersamanya atau tidak.

Vella menghela napas. "Sorry, kayaknya gue gak bisa."

Daniel mengerutkan dahinya. "Kenapa? Oh, lo ikut ekskul basket, ya? Atau dance?"

Vella menggeleng. "Bukan itu."

"Terus?"

"Gue takut--" Vella menggantungkan ucapannya. "Um ... Alan."

Daniel mengernyit. Otaknya berusaha mencerna perkataan Vella. Beberapa detik kemudian, akhirnya Daniel mengangguk-angguk, mengartikan bahwa ia paham.

"Oh iya, lo itu pacarnya Alan, kan?" tanya Daniel. Vella hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Hm ... gue ngerti, gue ngerti." Daniel mengangguk-angguk. "Maksud lo, Alan itu cemburuan?"

Lagi-lagi Vella mengangguk.

"Gue ngerti sih, Alan orangnya emang posesif. Apa yang menurut dia berharga akan dijagain bener-bener sama dia," ujar Daniel, lalu tertawa kecil. "Hahaha, jadi inget waktu kecil."

Vella mengerutkan dahinya. "Maksud lo? Lo pernah deket sama Alan?"

Daniel yang sudah pegal karena terlalu lama berdiri itu akhirnya menarik kursi di sebelah Vella dan duduk di sana. Vella juga membenarkan posisi duduknya senyaman mungkin, agar dapat mendengarkan Daniel dengan jelas.

"Waktu SD sampe SMP, gue deket banget sama Alan."

●●●

She's MINE!! (✔)Where stories live. Discover now