29 - Tangis

42.6K 2.4K 171
                                    

Sesuai kemauan kalian, aku update cepet kan wkwk.

●●●

"Vella, kamu ngapain di sana?" Suara seseorang yang terdengar panik membuat Vella menoleh. Melihat wajah Vella yang dibanjiri air mata, Alan langsung menghampiri pacarnya itu.

"Vella, kamu kenapa?" tanya Alan panik sambil menyentuh pundak Vella. Namun bukannya berhenti menangis, Vella malah semakin terisak dan menepis tangan Alan dari bahunya.

Alan beralih menatap sebuah album besar yang sedang dipegang Vella. Alan langsung panik. Apa jangan-jangan Vella sudah mengetahui semuanya? Semua yang Alan tutupi selama ini?

Padahal sudah lama Alan tidak masuk ke dalam ruangan ini. Bodohnya, Alan lupa mengunci ruangan rahasia ini. Yang Alan takutkan sejak dulu adalah jika Vella suatu hari nanti dapat masuk ke ruangan ini dan mengetahui segalanya. Dan ternyata yang ditakutkan Alan pun benar-benar terjadi sekarang.

"Vel...," lirih Alan, berusaha menarik Vella ke dekapannya.

"Lepasin!" Vella menepis tangan Alan dengan kasar. Ia kembali meletakkan album foto itu di atas meja, lalu menghadap Alan. Vella berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia mengepalkan tangannya, berusaha menyalurkan emosinya. Matanya menatap Alan dengan tajam. Bibirnya bergetar seperti sedang menahan tangis.

"Vella, dengerin aku dulu...," lirih Alan. Lagi-lagi ia berusaha menarik Vella ke dekapannya, namun cewek itu menepis tangannya lagi.

"Waktu itu di rooftop, kamu tiba-tiba nembak aku tanpa alasan yang jelas. Kamu bilang aku milik kamu, bahkan kamu gak nerima penolakan dari aku. Kamu posesif, kamu selalu marah-marah bahkan ngehajar cowok yang berinteraksi sama aku. Kamu perhatian, kamu tau segalanya tentang aku, bahkan kamu mau ngerawat aku waktu aku lagi sakit." Vella berucap sambil terisak, namun selanjutnya ia tersenyum pahit. "Tapi ternyata ... kamu nganggap aku sebagai orang lain."

Vella tertawa miris. "Harusnya aku nyadar ya, Lan. Kamu waktu itu cuma jadiin aku pacar, bukan nyatain perasaan kamu."

Alan terdiam. Ia sedikit menunduk, matanya terpejam rapat. Alan tidak kuat melihat Vella menangis, walaupun penyebab Vella menangis adalah Alan sendiri.

"Kamu selalu manis sama aku, kamu nunjukkin rasa perhatian kamu ke aku, kamu juga selalu berusaha bikin aku bahagia." Vella memberi jeda sebelum melanjutkan ucapannya. "Tapi ternyata, semua itu hanya berlangsung sementara ya, Lan."

Alan yang tadi menundukkan kepalanya kini menengadah. "Vel, plis dengerin ak--"

"Kamu puas udah bikin aku jatuh cinta sama kamu? KAMU PUAS UDAH BIKIN AKU SAYANG SAMA KAMU?" pekik Vella sambil terisak. Vella menangis tersedu-sedu, sambil sesekali menyeka air matanya. Dan pada saat Alan ingin menghapus air matanya, cewek itu selalu menepis tangan Alan. "Udah puas, Lan? Hm?"

Alan menghela napas berat. "Sayang, dengerin aku, ya?"

"Gak." Vella berucap ketus. "Muka aku mirip banget ya, sama cewek yang namanya Vio itu? Oh, pantesan kamu ngincer aku waktu itu. Pantesan kamu tiba-tiba bilang kalo aku milik kamu."

Vella berusaha tersenyum. "Tapi sori ya, Lan. Aku bukan cewek-cewek lain yang ngarep banget buat jadi milik kamu. Aku bukan cewek kayak gitu."

Tepat ketika Vella menyelesaikan ucapannya, Vella berlari kecil meninggalkan Alan yang sedang mematung di sana. Alan memejamkan matanya, kedua tangannya ia kepal erat-erat. Rahangnya mengeras, serta kepalan tangannya semakin erat, membuat kuku-kuku jarinya melukai tangannya sendiri.

Tiba-tiba, Alan meninju tembok dengan kasar sebanyak dua kali, membuat kedua tangannya mengeluarkan darah berwarna merah. Namun Alan tidak peduli dengan rasa perih di tangannya. Hanya satu hal yang ada di pikirannya saat ini, yaitu Vella.

She's MINE!! (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang