39. Sebenarnya Kesepian

250 9 0
                                    

Kalung pemberian neneknya, Hani pakai kembali. Ia teringat lagi pada Alkan karena ia berhasil menemukan kalung penting itu bagi Hani.

"Entah kenapa, hati gue resah banget kalau gue inget sama dia. Rasanya gue cemas gini. Tapi buat apa gue cemas, gue kan bukan siapa-siapa dia lagi."

Alkan terduduk di sofa apartemennya. Ia menarik dasinya dengan kasar melepas lelah fisik juga hatinya. Akhir-akhir ini, Ayahnya sungguh membuat dirinya begitu lelah.

Sesuatu yang membuatnya begitu dilema. Bertemu dengan cinta pertamanya lagi membuat Alkan harus menahan perasaan setiap kali bertemu. Persetujuan akan perjodohan yang ia lontarkan tak sengaja membuatnya berada diambang penyesalan yang mendalam. Berniat menjadi laki-laki yang bertanggung jawab akan ucapan, membuat Alkan malah harus menahan pedih pada hatinya. Jujur saja, ia tak bisa melupakan Hani hingga saat ini. Tapi, nasib yang ia dapatkan saat ini tak bisa membuatnya mendapat kebahagiaan untuk disamping Hani. Dan kini, ia harus memainkan sebuah drama sang Ayah yang memaksanya untuk berdiri di samping wanita lain. Bahkan Alkan tak tahu, apa yang ia lakukan itu baik atau tidak untuk dirinya.

***

Di kantor, Alkan membuka lagi berkas penggelapan yang menyangkut Pak Gani. Bukan hanya ingin membela Ayah wanita yang ia cintai, namun ingin juga menyelematkan perusahaannya yang selalu dalam masalah akhir-akhir ini.

"Gue rasa, ini bukti belum terlalu kuat. Perusahaan utama selalu mengalami masalah profit danpl punyai masalah juga di investasi sama impor. Sebenarnya apa yang salah dalam hal ini ya," gumam Alkan merasa bingung.

Nino kemudian masuk ke ruangan Alkan.

"Pak Alkan, boleh saya duduk?"

"Silakan, jangan canggung lagi kamu sama saya."

"Begini Pak, Pak Deni kan sedang sakit. Saya ditugaskan untuk memberitahu Bapak. Bapak disuruh menggantikan sementara Pak CEO di perusahaan utama."

"Apa? Kenapa Ayah gak bilang langsung sama saya? Yang saya tahu Ayah sudah sehat."

"Beliau baru mau bicara sama Bapak, tapi beliau malah menyuruh saya yang berbicara langsung pada Bapak. Besok Bapak bisa mulai tugas di perusahaan utama."

"Kenapa Ayah suruh gue gantiin dia?" batinnya heran.

"Ya udah kalau gitu, silakan kembali ke tempat kamu."

"Baik Pak!"

"Tunggu dulu, sementara saya di sana, kamu yang menggantikan saya di sini, biar nanti aku info ke karyawan lain."

"Saya selalu siap Pak."

"Oke baik kalau gitu."

Hani menjalani pelatihan kewirausahaan.

"Resa, aku pergi dulu ya. Tolong jaga semua ini, aku udah minta izin sama direktur buat pelatihan."

"Siap Kak!"

Hani pergi dan mengikuti pelatihannya di salah satu tempat. Setelah selesai pelatihan, Hani berniat kembali ke resto. Dan ia terlihat tengah menunggu taksi yang lewat.

Saat itu jam istirahat, Heru berniat keluar untuk mencari udara segar dan mengambil laporannya yang tertinggal di rumah. Terlihat Hani yang tengah berdiri di pinggir jalan dengan mata yang memencar ke sisi jalan kiri dan kanan. Heru si petakilan itu, lantas menghampirinya.

"Wah, bukannya itu bu Hani, habis ngapain dia?" Heru langsung menghampiri Hani yang tengah berdiri. Ia menepikan mobilnya ke sisi jalan.

Hani terlihat bingung, karena merasa penasaran.

"Bu Hani?"

"Tunggu dulu, kamu ... kamu ..."

"Ya ampun bu, saya Heru. Karyawan Pak Alkan."

"Oh iya, Heru. Kamu ngapain di sini?"

"Bu Hani sendiri dari mana? What, gedung pelatihan?" gumam Heru membaca sebuah papan reklame.

"Bu Hani abis pelatihan?"

"Iya, kamu ngapain ada di sini?"

"Oh saya lagi istirahat, ngambil laporan yang ketinggalan."

"Gitu."

"Ngomong-ngomong Bu Hani lagi ngapain di sini? Nunggu taksi?"

"Iya!"

"Kebetulan, gimana kita minum teh dulu, mumpung saya masih istirahat. Gimana?" ajak Heru.

"Emmm oke deh, boleh juga."

"Asik, ya udah Bu silakan masuk." Heru lantas membukakan pintu mobilnya untuk Hani.

Heru dan Hani pergi ke cafe untuk sekedar minum teh dan berbincang bersama. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam meeting. Dan menurut Heru, Hani adalah orang yang asik untuk diajak bicara dan dia sangat humble dengan orang lain.

"Oh iya bu, sejak kapan Bu Hani ikut pelatihan?"

"Saya udah beberapa kali ikut kok. Gak sering. Oh iya, jangan panggil saya ibu. Saya rasa kita seumuran."

"Oh haha, saya boleh panggil Hani?"

"Boleh!"

"Oh iya Han, kamu tau gak Pak Alkan sekarang tugas di perusahaan utama?"

"Apa? Alkan pindah tugas? Mmm maksud aku Pak Alkan pindah tugas?"

"Iya, disuruh sama Pak CEO, mungkin untuk sementara aja."

"Lantas siapa yang pegang perusahaan cabang?"

"Mungkin Pak Nino. Dia udah jadi Pak Alkan kedua bagi kami. Oh iya Han, kamu dulu teman SMAnya Pak Alkan kan?"

"Iya, emang kenapa?"

"Aku bingung sama Alkan. Dia itu sifatnya mudah berubah. Nanti dia jadi kelinci yang imut, jadi kayak anak kecil yang sok polos, tapi nanti dia berubah jadi singa jantan yang siap menerkam."

Hani terkekeh mendengar argumen Heru.

"Kenapa kamu ketawa?"

"Heh Heru, kiasan kamu terlalu jauh tau."

"Ya maksud aku kan, gimana caranya lembutin hatinya Alkan. Aku udah kerja lama sama dia, masih belum bisa ngerti sifat dia. Kami butuh jurus buat taklukin Alkan, cyuusss," sahut Heru seraya menggerakan tangannya ke kiri ke kanan membuat Hani semakin terkekeh.

"Alkan juga manusia Her, dia sama kayak kamu. Cuma, dia itu mungkin sedikit lebih baperan lah. Dia dulu emang kayak gitu. Tapi satu hal yang kamu tau, Alkan paling suka kalau udah kumpul bareng. Menurut dia, dia bisa punya teman karena cuma kumpul bareng."

"Jadi gitu. Pantes aja Pak Alkan sering banget ngajak kita buat meeting, padahal gak ada hal yang terlalu penting buat di bahas, hehe."

"Hehe, kamu bisa aja. Emm kayaknya udah saatnya aku ke resto."

"Oh iya, aku juga mau masuk lagi Han. Sampe lupa karena terlalu asik ngobrol. Ya udah bareng aku aja Han."

"Boleh boleh."

MOONLIGHT (Love in Business)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang