satu | kali pertama

332 52 4
                                    

Gimana kalau ternyata hujan punya alasan lain untuk turun ke bumi?

Engga, bukan hanya karena kandungan uap air di awan sudah penuh, atau alasan ilmiah lainnya. Tapi mungkin karena ada mahluk bumi yang membutuhkan turunnya hujan.

Contohnya, Aldebaran Antariksa yang kini sedang berdiri di depan kafe, sibuk memperhatikan sesosok gadis di dalam kafe tersebut yang tengah fokus dengan layar laptopnya—Danika Soranya.

Aldebaran, atau sering dipanggil Ale, sibuk menimbang - nimbang mana yang sebaiknya dia lakukan;

Pertama, tetap diam di tempatnya, menikmati keheningan yang menyenangkan ini.

Kedua, masuk ke kafe, duduk di dekat Soranya, dan tetap memperhatikan tanpa melakukan apapun.

Ketiga, masuk ke kafe, duduk di sebelah Soranya, dan dengan berani memulai percakapan kecil.

Ketika sedang asyik menimbang - nimbang, langit mulai menggelap dan awan mulai menghujani bumi dengan ribuan rintik hujan. Maka, Ale terpaksa masuk ke dalam kafe itu untuk berteduh.

Pada akhirnya Ale memilih pilihan keempat—duduk di sebelah Soranya tanpa melakukan apapun. Freak, memang. Tapi itu hal yang paling berani yang bisa dilakukan seorang Aldebaran Antariksa.

Ale duduk di sebelah kursi Soranya. Untunglah gadis itu memilih meja panjang dekat jendela yang bisa diduduki siapapun walaupun ada orang di sana, jadi tidak aneh bila Ale tiba tiba datang dan duduk di sebelahnya.

Selama beberapa menit, yang Ale lakukan hanyalah menyesap kopi hangatnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Berusaha mengumpulkan keberanian untuk memulai suatu percakapan dengan gadis di sebelahnya itu, yang ternyata sia sia karena Danika Soranya-lah yang memulai percakapan kecil itu.

"Lo nunggu hujan reda?"

Ale mengangguk pelan. "Iya."

Bohong. Ale jelas berbohong, karena mobilnya terparkir di gedung sebrang dan dia bisa saja lari menerobos hujan untuk sampai di mobilnya dan pulang.

Tapi nyatanya pemuda itu lebih memilih membuang - buang waktu di sini.

"Kita satu sekolah ya?" tanya Soranya yang fokusnya kini tidak lagi kepada laptop di hadapannya melainkan kepada pemuda di sampingnya itu.

Ale mengangguk lagi. "Seragam kita kan sama, berarti kita satu sekolah."

Soranya terkekeh. "Bukan gitu. Lo kan ketua osis, masa iya gue ga kenal Aldebaran Antariksa."

"Oh iya, bener juga," sahut Ale sambil tertawa canggung.

"Nama lo kayaknya berbau angkasa banget ya? Aldebaran kan nama bintang, Antariksa artinya ruang angkasa."

"Hahaha, iya nih. Orang tua gue kebetulan demen banget sama astronomi," jawab Ale sambil ketawa.

Soranya membulatkan mulutnya dan mengeluarkan suara 'oh' yang panjang.

"Nama lo siapa?" tanya Ale pada akhirnya, walaupun dia tau siapa nama gadis di hadapannya ini.

"Danika Soranya," jawab Soranya sambil tersenyum kecil. "Panggil Anya aja."

"Danika artinya—"

"Bintang timur," potong Anya sambil tersenyum kecil. "Iya, keluarga gue juga suka banget sama astronomi."

Ale tertawa. "Kenapa ya demen banget sama hal hal diluar bumi? Padahal kan, hal hal di bumi juga belum kita pahami sepenuhnya."

Tanpa diduga, Anya menjawab dengan entengnya. "Biar kita sadar kalau dunia ini luas, jadi kita itu bukan apa apa."

Ale tersenyum. Baru saja hendak melontarkan pujian, ponsel Anya bergetar dan menampilkan nama 'Fausta Benjamin' di layarnya.

"Eh bentar ya, gue angkat telepon dulu."

Senyum di wajah Ale langsung musnah detik itu juga. Ingin rasanya dia merutuki dirinya sendiri, bagaimana bisa dia lupa akan kenyataan?

Kenyataan bahwa Danika Soranya sudah punya seseorang di hatinya. Juga, kenyataan bahwa ada seseorang yang masih merindukan Ale di ujung sana.

Ale meraih ponselnya ketika ada telepon dari Nayla Lesiana, pacarnya yang kini terpaut ratusan kilometer dari tempatnya berdiri saat ini—setidaknya, itulah yang Ale tahu saat itu.

"Halo? Nay?"

"Aldebaraaaan!!!! Kamu dimana???"

"Aku lagi neduh, di Bandung hujan. Kenapa?"

"Aku lagi di Bandung loh!!!"

"Loh?! Serius?! Kok ga bilang-bilang dulu sih?"

"Loh kok malah ngomel sih? Mau suprise tau, kan kamu ulang tahun hari ini hehe. Mumpung sekolah aku libur, lagian. Udah ah, cepet jemput aku di stasiun ya!"

"Iya—"

"Eh jangan deh! Tunggu ujan reda aja dulu hehe, nanti kamu sakit. Aku tunggu disini aja gapapa."

"Aku naik mobil, Nayla."

"Tapi tetep aja kamu bakal ujan-ujanan pas jalan ke mobilnya! Udah lah gapapa, aku tunggu aja kecuali kalo ujannya sampe malem."

"Serius gapapa?"

"Gapapaa!! Udah ya aku matiin, entar pulsa aku habis lagi."

"Line kan ngga pake pulsa, Nayla."

"Oiya ya hahaha. Udah ah, aku matiin ya. Bye, see you!!"

"See you juga."

Ale mematikan teleponnya, kemudian meletakkan ponselnya di atas meja.

"Pacar?" tanya Anya yang sudah selesai bertelepon dengan Fausta.

Ale mengangguk pelan. "Itu yang nelepon lo juga pacar ya?"

Anya terkekeh. "Iya nih. Gue duluan ya? Pacar gue udah di depan kafe."

"Loh? Masih ujan."

"Dia pake mobil kok. Duluan ya, Le!"

Ale mengangguk. Matanya menatap punggung Anya yang semakin menjauh, dan perlahan bayangan itu hilang dari pandangannya.

Seandainya yang mencintai itu mata bukan hati. Mungkin, perasaan Ale juga akan ikut pergi ketika Anya sudah tidak ada di pandangannya.

let me love you ✔Where stories live. Discover now