sepuluh | dia, pergi

58 23 3
                                    

Guess what happen after that?

Setelah jujur dengan perasaannya masing masing, setelah mengakui kesalahan masing masing, mereka mendapat ganjarannya.

Mungkin bukan mereka. Tetapi Danika Soranya.

"Fausta?"

Ada Fausta. Dengan motor vespa-nya yang tidak lagi semenarik itu di mata Anya. Berdiri di depan rumah pacarnya, dan menyaksikan pacarnya itu turun dari mobil cowok lain ketika matahari sudah nyaris hilang dari langit.

Fausta diam. Raut wajahnya datar, tidak menunjukkan ekspresi apapun.

Dan itulah yang bikin Anya takut. Fausta ngga pernah seperti ini sebelumnya.

Melihat ada Fausta di depan rumah Anya, Ale langsung keluar dari mobilnya. Fausta ngga boleh salah paham, walaupun sebenernya dia berhak.

"Ta, biar gue jelasin dulu ya?" kata Ale baik baik, sambil berdiri di depan Fausta.

Tak diduga, Fausta tersenyum. "Ngga usah, lo balik aja. Makasih udah nganter Anya."

"Tapi—"

"Le, balik aja." potong Anya. "Biar gue yang jelasin ke Fausta."

Akhirnya Ale pergi, dengan harapan Anya dan Fausta bisa menyelesaikan masalahnya baik baik. Walaupun ada bagian kecil di hatinya yang mengharapkan sepasang kekasih itu berakhir pisah.

"Ta, masuk dulu yuk? Idung kamu merah tuh," kata Anya.

Fausta mengangguk, dan mengikuti langkah gadis itu memasuki rumah di hadapannya.

"Aku ambilin minum dulu ya?"

Anya beranjak menuju dapur, namun Fausta menahan pergelangan tangannya.

"Ngga usah, aku ngga pengen minum. Kamu disini aja duduk sebelah aku."

Akhirnya Anya nurut.

"Fausta, jangan salah pa—"

"Aku ngga mau salah paham, coba kamu jelasin dulu kamu habis ngapain sama Ale."

Akhirnya Anya menjelaskan kejadiannya dari A sampai Z, tentang Ale yang mau nyari kado buat ibunya tapi ngga ada temen karena pacarnya di Jakarta. Tanpa bohong sedikit pun, karena begini saja sudah cukup membuat Anya merasa bersalah.

Selesai Anya bercerita, Fausta tidak menjawab. Yang pemuda itu lakukan hanyalah memeluk Anya, kemudian diam seribu bahasa.

"Fausta.. kenapa sih?" tanya Anya gelisah, sambil menepuk-nepuk punggung pemuda itu.

"Aku tau kamu ada sesuatu yang lebih sama Ale, Soranya."

"Fausta—"

"Diem dulu, ya. Aku mau ngomong."

"Kalo gitu lepasin dulu pelukannya. Masa ngomong ngga tatap tatapan."

"Ngga usah. Kamu jangan liat muka aku dulu sekarang."

Karena nyatanya Fausta lagi masang muka pengen mewek. Masih ganteng sih, tapi ya tetep aja gengsi.

Anya menghela napas. "Yaudah, ngomong."

"Aku tau kamu ada sesuatu sama Ale.. dari kapan, Nya? Pas kamu makan bareng Ale itu kamu udah punya perasaan sama dia? Kalo belum, harusnya aku ngga ngebolehin kamu makan bareng dia waktu itu."

"Ale, aku ngga ada apa apa—"

"Diem dulu, Nya. Kamu mau ngelak sekeras apapun juga, itu udah keliatan jelas. Kalau kamu ngga ada apa apa sama Ale, kenapa kamu ngga izin dulu ke aku? Karena kamu takut aku tau, Anya. Kamu takut aku ngira ada apa apa diantara kalian, karena itulah kenyataannya. Ada apa apa diantara kamu sama Ale."

let me love you ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang