The Sad & Mad

362 33 0
                                    

Queensha menarikku menuju ke belakang pohon. Aku menutup sedikit luka gores panah yang menyerempetku. Aku segera membuat sebuah panah dengan kekuatan Nature Controller. Aku mulai menyerang, sementara Queensha berkata, "Lari! Nyawaku tak cukup berhaga! Kau yang diincar mereka! Lari!"

Aku tersentak, "Tapi kau bisa membantu Oriane! Aku mohon, lari bersamaku!"

"Kalau aku ikut lari,mereka akan tahu tempat kau tinggal! Jangan. Sekarang lari."

Aku melancarkan serangan panah hebat dan berpikir cepat. Aku harus cari tempat berlindung! Aha! Aku segera berlari sambil menarik Queensha erat - erat. Aku terus berlari menembus semak. Queensha panik, "Apa yang kau lakukan?"

"Menyelamatkan nyawa kita!" balasku dan menyibak semak terakhir. Tampaklah rumah pohon Ariane. "Itu dia! Sekarang tetap bersamaku. Pegang tanganku, kita berlindung disitu."

Aku segera berlari bersama Queensha. Aku segera naik duluan, lalu melancarkan panah sebanyak mungkin dan menolong Queensha naik. Aku berkata, "Kau pakai busur ini dulu, tahan mereka. Aku akan me-nonaktifkan pengamannya dulu."

Queensha segera membidik aneka panah sementara aku mulai mengobrak - abrik sistem pengaman sihirnya. Satu orang jatuh, diikuti orang lain, lalu Queensha berteriak, "Cepat, cepat!"

Aku segera me-nonaktifkan seluruh sihir pelindung rumah itu dan Queensha membunuh semua orang yang menyerang kami. Aku segera menarik busurlu dan menyuruh Queensha masuk untuk mengamankan rumah ini sebentar, sementara muncul seorang yang meloncat dari atas pohon dan melempar tombak. Aku segera menarik empat panah dan melepaskannya sementara orang itu melempar tombaknya.

JLEP! TRAK! CRAAT!

"QUEENSHAAAA!!!!"

Queensha atau Elena berada di depanku, darah bermuncratan dari jantungnya, sementara dia terhuyung mundur dan si penyerang terjatuh. Aku segera menariknya kedalam rumah pohon dan mengaktifkan semua pelindung sihir, lalu mencari - cari perbam dan tisu dan memakai sarung tangan plastik, lalu memasang jam kesehatan sihir yang bekerja disitu. Jam itu menunjukan sisa darah, denyut jantung, lalu aku segera mencabut tombaknya dan mulai mengaktifkan sihir Ariane. Jam itu semakin menambah kehororan selagi aku mencoba memperbaiki kondisi jantungnya.

Queensha berkata lirih, "Aku akan mati. Jangan buang sihirmu."

Aku segera berkata, "Tidak boleh! Kau harus berperang! Hanya kau yang bisa menyadarkan Oriane, Queen! Aku mohon!"

Queensha menarik kalung angsa pemberian Etna, lalu muncul cahaya pink terang. Dia tersenyum lemah, "Kupercayakan tugas itu padamu."

Queensha melepas tanganku dari dadanya. Aku mengambil fotonya bersama Ariane dan Oriane, lalu menyerahkannya padanya. Dia membaca tulisan di belakangnya, lalu tersenyum damai dan menatap foto itu dan tersenyum, "Selamat tinggal, Aria. Kau akan selalu hidup didalam dunia."

Cahaya putih seperti yang juga terjadi di kematian Etna memancar dari Queensha, lalu menghilang. Aku menjerit, seiring dengan jam yang menulis angka 0 dan garis lurus.

Queensha pergi.

Dia memberikan tugasnya padaku. Aku menggenggam kalungku, merasakan kekuatan baru. Sambil terpuruk di tubuh Queensha yang dingin, dan menangis sejadi - jadinya.

Keesokan harinya, aku dan Frank mengubur mayat Queensha persis di sebelah rumah pohon, lalu menaruh seikat bunga mawar, lalu menaruh foto Queensha, Ariane dan Oriane diatasnya. Aku menaruh tulisan di belakang foto di atas.

Angin bertiup kencang menggambarkan kacaunya hatiku, sementara aku terus melangkah. Tulisan yang terbaca di foto itu masih terngiang jelas.

'Untuk aku, saudariku, dan sahabatku. Semoga kita bisa selalu bersama melalui suka duka. Aku harap selama kita hidup, masih ada setitik kekuatan persahabatan bahkan disaat ramalan terjadi, hingga akhirnya kita mulai terpisah oleh maut dan bertemu lagi di alam baka. Jangan lupa kalau kekuatan cinta dan perdamaian adalah sesuatu yang paling besar didunia ini. Salam, Ariane.'

Aku sudah bisa meneteskan air mata di kalimat itu. Kalung angsaku berdenyut, lalu memori baru masuk ke pikiranku. Dimana mereka bersama, bertemu, bermain, tertawa. Rasanya mereka hidup dalam pikiranku, dari memori Ariane kekuatan Queensha. Mereka hidup dalam diriku, saling merindukan saat mereka bersama. Masih ada secercah harapan untuk bersama berdiskusi. Laci album dan foto di rumah pohon itulah buktinya.

Angin semakin bertiup kencang, sehingga badai mulai turun seiring tangisanku yang bertambah keras. Dan aku, dibawah hujan yang deras, memeluk Frank kuat - kuat, berusaha mengusir semua memori itu jauh - jauh, sebelum kesedihan mereka terlalu kuat dalam diriku.

-----------------------------------------------------------

Aku bangun pagi tanpa semangat. Rasanya hari kemarin masih membekas dalam hatiku, hingga aku tak bisa tidur. Tapi kali ini segalanya berbeda, Ariane dan Queensha bertemu di alam baka. Aku bisa merasakan mereka menuang harapan dan berbahagia disana.

Sambil menguap lebar - lebar, aku menuju kamar mandi. Tak lama kemudian, aku pun siap dengan sebuah baju zirah perak dengan busur dan panah di punggung. Aku mematut diri di cermin sebentar, lalu mulai berjalan dengan cepat ke kamar Queensha. Barang yang penting semua harus dimusnahkan dengan api agar tidak ada yang bisa mencari informasi di pondoknya.

Disana ada aneka foto, semuanya, buku diary, catatan, peta, buku,ada disitu. Aku menarik buku Ramuan-nya. Isinya sangat spesifik, jadi aku bisa memakainya. Sudah banyak yang kubuat selama 3 bulan terakhir, terutama ramuan penyembuh luka. Aku mengikuti saran Hugo. 

Philippe menatapku, "Aku tahu kau sedih."

Aku menatap matanya sekuat tenaga, "Ayo kita pergi ke sungai."

Aku dan Phillipe pun berjalan ke sungai. Tempat itu luas dan menenangkan. Masih ada wakth sebelum aku kembali ke sekolah. Aku mulai beringsut duduk agak tak nyaman. Akhirnya aku menghela napas.

Author POV

"Phillipe," ucap Azura setengah memanggil.

Philippe menoleh. "Ada apa?"

"Bagaimana jika kita akhiri hubungan kita?"

Mata Philippe melebar. "Kenapa?"

Azura hanya menatapnya sedih, "Kurasa ini memang sudah waktunya berakhir."

Phillipe terdiam seribu bahasa. Akhirnya dia bersuara. "Aku... tidak bisa melakukan itu." Tatapan Frank menerawang jauh. "Kau orang pertama yang menenangkanku sejak aku kabur dari rumah. Orang pertama yang berharga di hidupku."

Azura berkata. "Kalau begitu, aku melakukannya dengan terpaksa." 

Azura bersiul memanggil pegasusnya, lalu berdiri dan mendatangi kudanya dengan cepat. Dia memegang tali kekangnya, lalu berkata, "Maafkan aku."

Azura menaiki kudanya dan menoleh sebentar pada Phillipe dengan air mata berlinang, lalu berkata, "Maafkan aku, kau tidak salah. Maafkan aku, Phillipe..." air mata biru berkilau jatuh ke tanah, "Aku tidak mau kehilangan orang yang kucintai."

Azura terbang dengan tinggi dengan kuda pegasusnya, sementara Frank hanya diam, dan akhirnya, untuk pertama kali seumur hidupnya, air mata Frank mengalir.

Magical World-The Bleu FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang