V

6 1 0
                                    

Aku cerita pada ibu, soal kami tidak jadi belanja sehabis dari sekolah. Aku bilang kalau Cale menukarnya dengan Jum'at malam. Tidak dengan nada seakan aku menebak ini bukan sekedar belanja bolpen dan pensil. Ibu menerimanya dengan normal. Tanpa curiga.

Tidak mengangkat apa kami bakal mengajak Milo serta. Ibu seakan sudah tahu Milo tidak akan mau diajak ke belanja malam hari. Ditambah Milo ada sewaktu cerita pada ibu. Dia sendiri mendukung untuk tidak ikut. Itu gara- gara Malvin dan Ty mau datang bermain.

Tinggal aku. Sendiri di kamar pada Jum'at sore. Duduk di tepi tempat tidur memandang sendu lemari yang terbuka. Hari Kamis aku baru bisa menata kamarku. Baju-baju masih asal masuk lemari. Belum kukategorikan. Sepatu ditumpuk asal di bawah lemari.

Baju-bajuku jadi membuatku bingung. Begitu sedikit pilihan. Aku tidak tahu mana yang bisa kupakai untuk belanja bersama Cale. Oke, ini seharusnya tidak terjadi. Ada yang keliru dengan diriku. Aku punya banyak baju yang pantas kupakai. Tidak peduli belanja malam. Tidak soal keluar di akhir minggu dengan Cale.

Setelah kurasa berabad-abad aku memilih baju, kudengar bel pintu. Aku terpaku di depan cermin. Ibu berseru memanggilku sekaligus memberitahuku kalau Cale sudah datang. Kakiku makin merekat erat di lantai.

Mataku memandang diriku di cermin. Kucari-cari sesuatu yang keliru dariku. Aku tidak yakin. Tidak yakin dengan diriku. Apa yang terjadi padaku? Apa yang kulihat di cermin?

Gadis berambut coklat kemerahan bermata sipit, memakai rok A-line batik megamendung, blus krem dengan lengan dilipat, dan anting-anting bundar besar. Wajahku bersemu peach. Itu warna blush-on. Aku memakai lebih dari riasan ringkasku. Biasanya hanya bedak, maskara dan lip balm. Aku jadi tidak yakin dengan gadis di cermin itu sebenarnya siapa.

Ibu kembali memanggilku. Pertanyaan dan keraguanku luruh seketika. Ada kenyataan yang harus kuhadapi. Aku pun bergegas turun dari kamar.
Cale duduk di salah satu kursi makan. Dia memegang mug entah berisi apa. Hanya saja itu mugku yang dipegang.

Ibu lupa tidak mengecek dan membiarkan Cale memakainya begitu saja. Padahal itu mug berharga milikku.
Mereka kelihatannya tidak mempedulikan pentingnya mug tersebut. Ibu dan Cale mengobrol entah apapun itu dengan bersemangat. Saat aku masuk ke dapur pun mereka tidak menyadarinya. Baru ketika aku mengintip koran yang ada di hadapan ibu, Cale memandangku.

"Kau siap?" tanya Cale.

Aku mengangguk separuh. Aku sibuk memicingkan mata ke arah tangannya yang memegang mug. Gatal untuk mencungkil jemarinya satu persatu dari pegangan mug. Lalu mencuci mug sebanyak tujuh kali.

"Oh, sana-sana! Mumpung masih terang." Ibu turun dari kursi, mendorongku keluar dapur.

"Mana daftar keperluan Milo?" tanyaku.
Kuangsurkan telapak tangan.
Bukan sehelai kertas dari ibu yang kudapatkan, melainkan tubrukan keras dari Milo.

Dia melingkarkan tangan ke perutku. "Cale sudah menyimpannya. Kau lama sekali kakak tua!" Tanpa peringatan Milo menggelitikku.

Jeritan histerisku membuat ayah berhambur keluar dari kamar. Beliau melompat ke arah kami. Sekali raih memiting Milo sekaligus mendorongku tanpa sengaja. Sementara ibu tertawa saja.

"Kau tidak akan lolos, Milo!" seruku.

Ayah mencubit pipi Milo. "Kalian berdua cepat pergi. Kau harus pulang sebelum jam setengah 11."

Aku memimpin Cale keluar dari rumah. Di luar udara lebih menyegarkan dari pada tingkah konyol Milo. Dia selalu berusaha memberi kode pada siapapun tentang kelemahanku. Mira, Eni, Toni dan Rifki tahu itu juga dari Milo. Mereka dengan senang hati memakainya sebagai senjata negosiasi kotor.

Forest Ranger : Arriving (Completed)Where stories live. Discover now