I

34 2 0
                                    

Arriving

I

Amerika! Mereka bilang kami akan pindah ke Amerika. Atau lebih tepatnya ke Amerika Serikat. Negara besar yang memiliki lima puluh negara bagian. Lima puluh negara bagian, Amerika Serikat. Ame-oke aku sudah mengulanginya empat kali. Sebenarnya lebih sih. Ratusan kali sejak pertama kali ibu, lalu ayah memberitahuku. Bukan karena aku senang dan tak sabar segera ke sana. Tidak-tidak, jangan salah sangka. Aku tidak ingin ke sana.

Seminggu yang lalu saat aku pulang dari sekolah, hari terakhir ulangan umum sebelum liburan kenaikan kelas, ibu menyambutku dengan sukacita. Di foyer aku dipeluk erat, tanpa sempat melepas tas dan jaket. Ibu membisikkan kabar tersebut dengan keras dan amat antusias. Seperti anak gadis yang mendapat surat cinta dari teman pria yang diam-diam disukai. Atau seperti itu lah kata dibuku cerita. Sebab aku belum pernah mendapat surat cinta. Tapi bukan berarti aku belum pernah menyukai teman pria di sekolah lho, diam-diam.

Jadi begitulah. Sambil memelukku dan sedikit melompat di tempat, ibu memekik tepat di telingaku. "Kita dapat pekerjaan di Amerika!" Ibu tersenyum dari telinga ke telinga. Melepas pelukan untuk mencubit dua pipiku. Menciptapaksakan senyum serupa di wajahku. "Kita ke Amerika, sayang! Ibu, ayah, dan kamu!" ulang ibu dengan suara normal, tanpa meninggalkan antusiasmenya.

"Milo?" aku menanyakan nasib adikku.

Ibu mengangkat kedua tangan. Tertawa kaget. "Ya Tuhan! Tentu saja Milo ikut. Dia akan ikut terbang ke Amerika! Tiga minggu lagi, sayang. Mulai bersiaplah." Ibu mendorongku ke arah kamar.

Giliranku tertawa kaget. Tiga minggu lagi? Secepat itu kah? Aku harus mengepak banyak hal. Belum lagi berpamitan dengan teman-temanku. Oh, tidak, oh, tidak. Aku tidak tahu harus berpamitan bagaimana. Terutama pada orang yang kusukai itu. Dan sekolah!

Yeah, aku sudah bilang kan kalau aku punya gebetan. Aku kan gadis berumur enam belas tahun yang normal. Aku memikirkan betapa teganya ayah dan ibu menerima pekerjaan itu. Pindah ke Amerika negara yang jauh sekali itu. Membuatku harus berpisah dengan Rifki- gebetanku sejak kelas dua SMP. Dan sempat aku berharap Milo dan aku ditinggal di Indonesia bersama nenek. Atau aku sendiri saja yang ditinggal ya?

Sayangnya, tidak ada yang ditinggal. Aku dan adik lelakiku yang berumur sebelas tahun akan ikut memulai hidup baru di tanah Paman Sam. Hidup baru, itu kata ibu dan ayah. Bukan ideku. Kalau ideku sih lebih baik tetap tinggal di Indonesia. Tapi ibu dan ayah tidak akan pergi tanpa kami.

Jadi selama seminggu setelah di foyer, ayah dan ibu makin jarang di rumah. Masih bekerja di kantor. Mengejar laporan sebelum pindah tampaknya. Belum lagi mengurus pindah, paspor, visa, tiket, dan entahlah apalagi. Nenek yang tinggal di Semarang mengirim satu koper penuh sangu. Ibu dan ayah jadi kebingungan mengurus berbagai barang dari nenek. Akhirnya dimasukkan ke daftar barang yang dikirim ke tempat tinggal baru kami nanti, sebagian.

Dua minggu lagi. Wuss! Kami bakal naik pesawat. Lebih dari tujuhbelas jam kami akan terbang. Beberapa kali transit. Sementara sejumlah banyak barang akan kami paketkan.

Oh, Amerika. Negeri Paman Sam. Negeri dimana kau hanya makan daging di antara dua roti. Minumnya soda. Negeri dengan empat musim. Tapi kau sulit dapat nasi tiga kali sehari. Mungkin aku bakal lama diperiksa di imigrasi. Sebab aku dari Indonesia. Nama tengahku nama Arab. Untung bapakku orang bule. Hanya saja lidahku lidah medhok.

"Mbak, bantuin ngepak!" seru Milo, memelas.

Aku berhenti menyairkan sedihku. Berguling turun dari tempat tidur. Milo memeluk kusen pintu. Bibir bawahnya maju dan menggantung pasrah. Dia siap meraung kalau aku tidak lantas mengikutinya ke kamar.

Forest Ranger : Arriving (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang