VI

8 1 0
                                    


Suara berisik di kebun belakang membangunkanku. Bangun dari tidur lelap tanpa mimpi. Aku turun dari tempat tidur dengan mata setengah tertutup. Masih ingin tidur, tapi suara tak-tok dan tawa Milo sudah membuyarkan rasa kantukku.

Kuputuskan untuk mandi agar bisa bangun dengan benar. Tidak memakai air panas biar segar. Di Indonesia saja aku tidak kebiasaan mandi air panas.

Aku sudah jauh lebih baik begitu keluar dari kamar mandi. Tidak lagi terganggu oleh keributan di kebun belakang. Kusiapkan diriku dengan baju yang nyaman. Begitu selesai dengan ritual pagi, aku bergegas turun dari kamar.

Akhir pekan, ibu masih memasak di dapur jam segini. Baru jam 8 lebih sedikit. Pukul setengah 10 nanti baru akan berangkat kerja dengan ayah. Ibu memasak sarapan sekalian untuk makan siang. Ya, mereka masuk kerja di akhir pekan di musim panas.

Aku mencium aroma bumbu semur memenuhi dapur. "Good morning, Mom. Sarapan apa?" ku sapa Ibu yang membalikkan badan tepat ke arahku.

Ibu mengecup pipiku. "Semur daging. Sebentar lagi, sayang. Kau bisa ke kebun belakang dahulu. Atau membantu ibu." Ibu kembali ke panci di atas kompor.

Beralih dari hadapan ibu, "Aku ke kebun saja ya, Mom." Lalu kuambil segelas susu dalam perjalanan keluar dapur.

Di kebun, Ayah dan Milo ada di luar gudang, mengganti jendela yang sudah rusak. Milo mengecat pintu dengan cat warna merah marun. Aku menghampiri Milo. Kucium pipinya. Kusapa ayah yang tertawa pada teriakan Milo.

"Kau minum susu," protes Milo.

Aku menarik ember kayu tua, membalik ember lalu duduk di atasnya. "Jadi aku tidak bisa menciummu, adikku sayang?" godaku pura-pura sedih.

"Susu non fat!" Milo berseru.

Dia tidak suka susu non fat yang kukonsumsi. Aku hanya membalasnya setelah apa yang Milo lakukan hari kemarin. Gelitikan lawan ciuman susu non fat. Milo tidak boleh melakukan hal itu lagi.

"Aku tidak keberatan dengan susu non fat." Cale muncul dari dalam gudang.

Aku berjengit. Heran kenapa dia ada di rumah pagi-pagi. Dia bahkan tidak dijadwalkan untuk datang. Akan tetapi Cale tidak menggubris reaksiku.

Cale membawa harpun, menghampiri sepetak tanah di dekat dinding rumah yang sudah dipasang patok. Dia menggaruk tanah dengan rapi. Seakan-akan dia ahli kebun. Sejenak dia berhenti dan menatapku.

Aku melengos. Aku duduk tegang menghabiskan segelas susuku. Saat aku tidak bisa lagi memainkan gelas kosong, aku bangkit. Tampaknya lebih baik membantu ibu di dapur.

"Bunga apa yang hendak kau tanam?" tanya Cale ketika aku melewatinya.

Aku berhenti. "Bukan bunga. Tanaman herbal." Kuangkat bahu.

"Bukan bunga?" heran Cale.

Satu gelengan kepala untuk Cale. Aku melanjutkan langkah. Tapi, dia bicara lagi.

"Mau kuantar membeli bibit?"

Aku mengerling ke arah ayah dan Milo. Keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. "Bertiga, dengan Milo."

"Deal." Cale kembali pada tanah garapannya. "Ah, pukul 12," imbuh Cale.

"Ya." Aku melambai tidak perlu.

Di dapur, semur daging ibu beranjak matang. Ibu memintaku mengatur meja. Untuk lima orang. Itu berarti aku harus mengambil kursi tambahan. Selesainya aku menyiapkan meja, ibu pun selesai memasak.

Sarapan berat non-Amerika ala keluarga Herrmann. Ibu menata hasil masakannya di tengah meja. Semua menggiurkan sekaligus akan mengeyangkan. Aku penasaran pada reaksi Cale. Bisa jadi bukan sarapan untuknya, melainkan perjamuan makan pagi.

Forest Ranger : Arriving (Completed)Where stories live. Discover now