IX

12 1 0
                                    

"Kau mau bangun jam berapa, sayang?"

Aku berguling memunggungi pintu. Aku tahu itu tidak sopan. Ibu ada di ambang pintu soalnya. Aku tidak sanggup menghadapi ibu saat ini.

"Ibu dan ayah mau ke Northern Forest lagi. Kau mau ikut?"

Aku tidak mau ikut lagi. Tiga hari aku ikut orang tuaku bekerja. Observasi pagi berturut-turut. Hanya untuk tersesat dan diendus sekawanan serigala.

"Atau kau mau memanfaatkan perpustakaan di kantor?"

Aku juga sudah melakukannya. Empat hari yang lalu. Berakhir membosankan. Maksudku rekan ayah yang mengurusi perpustakaan. Dia sama sekali tidak membiarkanku membaca dengan tenang. Malah menghujani pertanyaan klise semi rasis padaku.

"Oh, kau mau mengurusi kebunmu tentu saja."

Ya, mungkin itu yang akan kulakukan hari ini. Kalau aku mau bangun sih. Atau kalau aku siap menghadapi kemungkinan matinya benih bungaku. Oke, baru tiga minggu mereka kutebar sih. Tapikan sesuatu bisa terjadi. Terburuk sekalipun. Aku belum siap untuk itu.

"Carla, apapun yang mau kaulakukan ibu ijinkan. Asal kau bangun sekarang. Ibu berangkat lima belas menit lagi. Sekalian bawa Milo ke tempat Olga."

Oh, tidak. Milo ke tempat Olga lagi. Aku langsung terduduk. "Tidak bisakah Milo belajar di rumah?"

Ibu berkacak pinggang. "Kalau kau bisa mengajarinya, Sayang."

Maksudku belajar sendiri. Bukan aku yang mengajarinya. Aku sayang Milo, tapi aku tidak mau mengajarkan inggris atau matematika padanya. Belakangan Olga menawarkan kedua hal itu. Orangtuaku setuju. Kata ibu keuntungannya berlipat ganda.

"Aku di rumah saja." Kutarik kembali selimutku.

Ibu menurunkan tangan dari pinggang. Tampak tidak terlalu senang dengan sikapku. "Salah satu dari mereka akan datang?"

"Siapa?"

"Cale, Nick, Edgar, Karmen, Lily. Mereka menelepon tapi tak pernah kau angkat. Kotak pesan kita hampir penuh."

Aku memasang wajah lugu. "Aku tidak tahu, Mommy. Sepanjang hari kan aku sibuk di kebun dan sebagainya. Aku tidak mendengar telepon dan tidak mengecek kotak pesan."

"Mungkin kau bisa mengeceknya sekarang. Beri mereka telepon balik juga pilihan bagus. Mereka bibit teman barumu, Sayang. Kalian akan sering bertemu. Berinteraksi. Kau tidak akan bisa menghindari mereka terus."

Kulempar selimut. Bergeser ke tepi tempat tidur. "Mom, aku tidak menghindari siapapun."

"Ya, lalu apa yang kau lakukan selama dua minggu ini? Mengunci diri di kamar, berkebun seharian, bangun siang, menolak ikut Milo, tidak mengecek telepon, dan banyak lagi. Kau ingin menutup diri? Coba luruskan pada ibu." Ibu berkacak pinggang dan menyipitkan mata. Seperti superman dengan laser matanya. Zzing! Cut me into two..., millions pieces.

"Aku ikut ibu ke kantor dua kali. Ke hutan tiga kali."

"Lima kali, huh!" Ibu menggeleng. "Bangun, mandi dan telepon. Ibu tidak percaya kau minder."

Ibu meninggalkan kamarku. Tampak marah dan kesal. Malu juga. Anaknya minder bergaul di Amerika. Anaknya hanya bisa menghindar dari kenyataan. Betapa memalukan seluruh keluarga.

Anak pertama seorang perempuan. Traumatis. Bertahun-tahun takut pada anjing. Bahkan anjing nyata atau hanya imajinasinya tidak jelas. Otak anaknya telah kacau. Sayang sekali, keluarga Herrmann dirusak oleh seorang anak.

Aku anak itu. Mungkin aku autis. Mungkin aku yang multipolar. Mungkin tidak hanya mungkin. Aku mimpi buruk Herrmann. Keburukan yang merusak kebanggaan yang ayah ibu bangun.

Forest Ranger : Arriving (Completed)Where stories live. Discover now