9. Seperti Tidak Pernah Mengenal

23.7K 2.8K 22
                                    

Semenjak kejadian kemarin, Lukas juga belum menghubungiku. Entahlah, kalau dipikir itu hanya masalah sepele. Lalu, mengapa ia kesal berlarut-larut? Bukannya yang harusnya kesal itu aku?

Pagi ini aku ke kantor dijemput Sashi. Tanpa kuminta, dia sudah berada di depan kost-an. Sashi yang hari ini kukenal bukan lagi Sashi yang kemarin atau yang dulu. Sekarang aku bisa lihat Sashi yang telah menjadi dirinya sendiri. Sashi yang apa adanya.

"Lukas masih belum nanyain kabar lo, Ta?" tanyanya sambil fokus ke jalan yang ada di depannya.

"Belum."

"Gila sih, kalau sampai dia marah cuma gara-gara hal kayak gitu."

"Udahlah Sas, semalam penuh gue mikir sikap dia malah cape sendiri."

"Sabar ya, Ta."

Kami sampai dan Sashi membantuku dalam berjalan. Bahkan, ia tanpa malu-malu rela menenteng tasku. Padahal aku nggak repot-repot banget meskipun harus jalan dengan tongkat sambil bawa tas. Tapi, dia sendiri yang maksa.

"Itu mobil Lukas bukan sih, Ta?"

Aku berhenti. Memandangin mobil yang sedang lewat di depan kami. Benar, itu mobil Lukas.

"Ya udah, ayo masuk."

"Oh iya, by the way, kaki lo masih sakit banget kayak kemarin?" Aku tau kalau Sashi mencoba mengganti topik, mungkin supaya aku tidak kepikiran Lukas terus.

"Udah nggak, sih. Kata ibu kost gue suruh cari tukang urut. Tapi, gue gak berani."

"Jangan ih, Ta. Itu masalahnya bukan sakit keseleo gitu. Kan jelas-jelas dokter bilangnya ada retakan."

"Makanya itu, Sas."

"Biar gue yang pencet." Sashi memencet tombol lift saat kami sudah sampai di depan lift. Sambil menunggu dari pintu lift di depanku terlihat jelas kalau di belakangku ada Lukas. Bahkan, Sashi juga memberikan kode dengan menyenggol tanganku.

Namun, saat pintu lift terbuka, Lukas justru menunggu lift berikutnya dan enggan bergabung dengan kami yang hanya berdua di dalam lift.

"Sumpah ya, dia itu cowok jenis apa sih?"

"Gak punya hati banget."

" Di sini lho, ceweknya sakit gini."

"Gue heran."

"Kalau dia masih kayak gitu, lo tetap diam aja. Nggak usah ngapa-ngapain! Biar tau rasa."

Sekiranya itulah umpatan Sashi pada Lukas saat kami berada di dalam lift. Benar juga sih apa yang diucapkan Sashi. Sikap Lukas itu aneh. Tega.

"Lho, Aretta? Kenapa?" Alan langsung heboh saat kami baru saja masuk.

Mas Bagas bahkan menyambutku dengan kata, "Lo abis main bola sampe cedera gitu? Emang berapa-berapa skornya?"

"Kampret banget lo, Mas. Bantuin gitu anak orang," ucap Sashi lugas begitu saja dan semua anak sedivisi ini melongo.

Oke, Sashi. Ini saatnya dirimu menunjukkan siapa kamu. Aku memberi semangat dengan tepukan dipundaknya.

"Guys, Sashi mau ngomong sama kalian semua," ucapku.

"Hai, semua. Kenalin nama gue Sashi. Lo semua pasti pada bingung, ya?"

"Sas, lo kenapa deh?" tanya Disty dari balik kubikelnya.

"Iya, lo kesambet di mana?" timpal Davienna.

"Ngga kok, gue nggak kesambet atau kenapa-napa. Gue cuma mau jelasin sama kalian semua."

Kemudian, apa yang selama ini Sashi rasakan dan apa yang selama ini Sashi lakukan, ia utarakan secara jelas di hadapan kami semua. Diantara kami tidak ada yang menghakimi Sashi, justru kami senang karena dengan begini dia bisa mengenal dan menerima dirinya sendiri.

08:20Where stories live. Discover now