22. Shocked

27.2K 2.7K 37
                                    

Hari ini dan seterusnya aku hanya berharap dan berdoa yang baik-baik saja untuk diriku. Semoga tidak ada lagi kejadian-kejadian mengerikan yang aku lewatkan.

Aku menyeduh kopi di pantry. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Belum begitu banyak orang dan aku di sini bersama keheningan. Yah, jadi puitis gini. Oh iya, si Sashi lagi nggak enak badan makanya hari ini dia gak masuk dan entah angin dari mana pula aku berangkat pagi sekali.

Klek ....

Pintu pantry terbuka dan menampakan sosok seorang Tama. Dia seperti Tama yang kemarin-kemarin. Selalu rapi, selalu semangat, dan tersenyum. Eh, senyum? Iya, dia senyum ke aku genks.

"Tumben pagian, Ta." ucapnya sambil mengambil salah satu cangkir di rak.

"Eh .... " Lidahku mendadak kelu gini, "iya gak tau pengen berangkat pagi aja."

"Belum sarapan?"

"Belum."

Tama mengecek jam dipergelangan tangannya. "Masih ada waktu buat sarapan. Sarapan dulu aja gimana? Gue anter lo mau beli makan apaan."

"Eh, gak usah, Tam. Ganjel kopi aja sama biskuit. Sekalian mau ngerjain laporan yang belum kelar."

"Oh iya, proyek sentul itu udah di kirim ke papi?"

"Belum. Nanti deh gue liatin dulu ke lo. Kalau emang udah fix semua, gue baru berani kirim ke papi."

"Oke. Secepatnya ya, Ta. Soalnya ada laporan lain juga yang deadline-nya barengan sama proyek sentul itu."

"Siap, Pak."

B

y the way, kalian mau tau siapa yang menggantikan posisi Lukas di kantor? Dia adalah Cakra.

Aku gak tau kenapa semesta seolah sedang bermain-main atau bahkan berkonspirasi agar Cakra dan aku bisa bertemu terus. Tapi, aku beneran gak nyangka kalau Cakra bakalan kerja di sini dan satu divisi denganku.

Tadi, dia memperkenalkan dirinya ditemani Papi dan juga orang dari HRD. Ya ampun, mana hari ini Cakra rapi banget pakai kemeja. Rambutnya juga udah ditata gimana caranya supaya gak pindah posisi. Kenapa makin wow sih kamu?

"Hai, Aretta." sapanya lalu berhenti di depan mejaku. Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Aku pun membalasnya. "Hai, aku gak nyangka kamu yang bakalan nempatin kursi kosong itu."

"Aku yang gak nyangka kalau bisa sekantor gini sama kamu."

Eh iya, coba ada Sashi pasti dia yang paling heboh di sini. Dia pasti ikut gak nyangka juga kalau Cakra ternyata menggantikan posisi Lukas.

"Hai, Cakra. Ini kamu kan yang waktu makan siang ketemu?" Disty datang ke mejaku.

"Eh, iya. Gak nyangka ya kalau akhirnya kita sekantor."

"Waktu itu kamu ke sini dalam rangka mau cari kerja?"

"Engga, waktu itu cuma ketemu teman doang. Eh, belum lama ini dikabarin kalau ada posisi kosong. Ya sudah, saya coba."

Hmm, aku malah jadi kambing congek diantara Disty dan Cakra. Mereka malah jadi ngobrol berdua gini.

"Kalau gitu semoga betah ya kerja di sini."

"Oh, iya. Mohon kerja sama dan bantuannya juga, ya."

"Siap." Tidak lama kemudian Disty pamit kembali ke mejanya disusul Cakra yang juga izin pamit ke mejanya.

***


Makan siang kali ini kami ketambahan satu anggota. Iya, siapa lagi kalau bukan Cakra. Dia cukup mudah bergaul kalau kuperhatikan karena saat ini saja dia sudah bercengkrama dengan Mas Bagas dan juga Alan untuk meledek Disty.

"Genks, mau pesan apa?" tanya Daviena. Kami pun memesan makanan yang kami inginkan. Mulai dari jenis yang bersantan sampai yang dibakar ada.

"Ta, aman kan hari ini?" tanya Mas Bagas saat aku sedang sibuk dengan hp.

"Aman, Mas."

"Aretta kenapa?" tanya Cakra dengan muka bingungnya. Lalu, Alan membisikinya dan raut mukanya pun berubah.

"Serius, Ta?"

"Iya, Kra. Tapi, semoga aja gak ada lagi."

"Dah, mendingan lupain aja. Kita refreshing bareng," kata Mas Bagas memotong percakapanku dengan Cakra.

"Nah, gue seneng nih dengernya," sahut Disty.

"Kemana?" tanyaku.

"Tam, ke gunung gimana?" Mas Bagas ganti bertanya pada Tama yang dari tadi diam saja. "Kan lo anak gunung, kali-kali ajak kita ke rute yang gak biasa."

"Gue sih manut aja. Lo nya pada siap gak?" jawab Tama.

Ke gunung? Rute yang gak biasa? Auto sekarat padahal belum jalan. Aduh, aku tuh sama sekali nggak ada pengalaman naik gunung. Ini sok-sokan mau pake rute yang berbeda.

"Gue angkat tangan, guys." Disty mengangkat tangannya tinggi. Alamat gak ikut.

Daviena juga menyusul mengangkat tangan. "Makasih, kalian aja para lelaki."

"Ta? Lo harus ikut. Tujuannya biar refreshing. Pokoknya lo gak boleh nolak." titah Mas Bagas sambil melotot gitu.

"Eh? Gak boleh nolak? Ih, gak mau. Gue gak ada pengalaman naik gunung, Ya Rabb."

"Harus." Ganti Alan yang melotot ke arahku. "Lo, juga ikut kan, Kra?"

Cakra menggeleng. "Maaf banget. Gue mah cuma anak band, gak ada pengalaman naik gunung sama sekali. Beneran deh, maaf banget."

"Ya udah, sekarang gini aja. Yang fix ikut siapa, terus mau nanjak tanggal berapa?" ucap Tama menengahi.

"Oke, yang fix itu gue, Aretta, Mas Bagas, sama Sashi. Eh, tambah lo juga."

Buset dah, tanpa ada kesepakatan si Alan main asal sebut aja. Mana si Sashi gak ada di sini yang ada kalau besok dia tau bakalan perang dunia sama Alan.

"Jalan akhir tahun gimana?" usul Mas Bagas.

Aku langsung menyaut. "Boro-boro, Mas. Akhir tahun malah dikejar deadline biasanya."

"Ya udah, nanti tanggal sama tempat gue yang pilih. Kalian mulai sekarang harus banyak olahraga minimal workout tiap pagi," ucap Tama.

Aduh, Gusti! Godaan buat olahraga tiap pagi itu banyak banget. Apa lagi gaya gravitasi kasur yang sangat kuat.

Dedek mau nangis bwank.

***

08:20Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang