2. Jiyeon dan Mingyu

1K 80 31
                                    

Tetesan dingin air langit seakan tidak membuat sosok bertubuh indah itu gentar, wajahnya terlihat begitu sembab karena aliran airmata yang sudah bercampur dengan tetesan hujan yang jatuh menguyur tubuh indahnya. Tatapan sendu dengan manik indah yang terlihat memerah itu masih enggan untuk berpaling, kaki jenjang yang hanya terbalut sebuah celana olahraga berwarna hitam itu seakan begitu kokoh untuk terus berdiri memandangi sebuah makam yang terlihat masih baru. Merahnya tanah pemakaman masih begitu basah karena memang dia yang terbaring itu belum begitu lama didekap bumi.

Gadis berambut hitam sebahu itu nampak tidak goyah dia masih membatu, kakinya seakan di semen disana. Dia tidak beranjak ataupun berjalan menghampiri pusara yang sudah lebih dari 3 jam dia pandangi. Lelehan airmata seakan tidak pernah surut dari kedua manik indahnya. Tetesan Kristal itu seperti tidak pernah mengering walaupun telah berpuluh-puluh kali tangis kepedihan itu keluar darinya. Hatinya menjerit nyeri saat mengingat sosok yang kini berada dalam dekapan dinginnya bumi, batinnya teramat sakit saat dengan jelas sosok itu terus terbayang hingga membuat luka yang terasa sakit itu semakin nyeri tiap detiknya.

Gadis itu memejamkan matanya yang terasa perih, lidahnya begitu kaku hingga bibir tipis pucat kebiruan itu terkunci rapat tak bersuara. Baginya kini bernapas pun terasa sangat sulit, dia menggelengkan kepalanya cepat berusaha mengeyahkan ingatan menyedihkan yang terus saja berputar layaknya kaset rusak dalam pikirannya.

Dia ingin menjerit!

Gadis itu ingin menjerit menyalahkan takdir yang begitu kejam memisahkan dia dengan sosok itu begitu tragis. Dia ingin mengumpat, menyumpahi Tuhan yang begitu tega menggariskan takdir yang tidak lebih seperti mimpi buruk yang menjadi nyata.

Park Jiyeon seorang gadis yang baru saja menginjak usia 18 tahun itu harus menerima kado terpahit yang membuat dunianya seakan berhenti berputar. Disana, didalam gundukan tanah merah yang basah itu terbaring satu sosok yang sangat berarti untuk Jiyeon.

Disana yah disana menjadi tempat pembaringan terakhir untuk laki-laki yang begitu Jiyeon cintai.

Jiyeon tahu bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, dia juga teramat mengerti tidak ada pertemuan yang tidak dibayangi perpisahan. Tapi, kenapa? Yah kenapa dengan hal semengerikan itu dia dan kekasihnya berpisah? Kenapa mereka harus terpisah dengan begitu menyakitkan?

Jiyeon ingin menyumpah, dia ingin berteriak meminta penjelasan Tuhan kenapa dia? Kenapa harus dia diantara miliyaran orang di dunia ini? Kenapa harus Jiyeon yang bahkan dia sendiripun masih begitu rapuh dan sangat lemah.

Gadis itu memandangi langit kelam yang seakan tidak ingin mengalah, tetes air langit itu terus saja mengguyur tubuhnya yang mulai menemui batas. Gadis itu mengepalkan keduanya tangannya begitu kuat mengumpulkan seluruh amarah dan perasaan nyeri yang begitu menyesakkan dadanya.

'Kenapa Kau begitu kejam padaku?'

***

Sunyi senyap seakan tidak ada satupun tanda kehidupan dalam sebuah kamar yang begitu gelap tak dimasuki cahaya. Sampah makanan seakan menumpuk menjadi satu dengan pecahan kaca dan puluhan kanvas yang tidak lagi berbentuk sebagaimana mestinya. Kamar itu tak ubahnya seperti kapal pecah yang mendarat jatuh tak berbentuk. Robekan kertas seakan ikut menambah kekacauan dengan ceceran cat yang berserakan mengotori ubin kayu kamar tersebut.

Srak!

Sebuah lengan kurus namun terlihat kekar kembali merobek kertas dari buku gambar besar di depannya, tangan dari seorang pria muda bertubuh kurus itu kembali meraih pensil yang berada didepannya. Manik tajam itu terlihat begitu redup dengan sorot yang tak lebih dari seseorang yang tidak memiliki semangat untuk hidup.

BLINDWhere stories live. Discover now