TWO

471 36 3
                                    

1 tahun yang lalu.

Catherine Georgina Eden's POV.

Pernahkah kalian mendengar kalimat 'If a girl tell you that she's alright, that is mean she's lying. Because when she said to you like that, the truth is she's in pain. But she doesn't want you or anyone else to know. She wants to keep the pain on her own.'? Yah, sebuah kalimat yang panjang memang. Aku pernah mendengarnya di sebuah tempat. Entahlah, aku bahkan tak yakin apakah benar-benar tepat seperti itu kalimatnya.

Namun, kurasa aku harus memberikan tepuk tangan meriah pada seseorang yang menciptakan kalimat itu. Harusnya ia mematenkan kalimat itu. Ia pasti akan kaya raya.

Karena, kalimat itu sangatlah tepat. Akurat.

Sama seperti yang ku alami sekarang.

3 jam yang lalu, setelah aku dengan gemilangnya menghancurkan pernikahanku sendiri, aku kembali ke mansion milik keluargaku di London. Aku meninggalkan St. Paul Cathedral setelah melihat seluruh tamu undanganku pergi meninggalkan acara dengan kebingungan. Sebagian bahkan mencaci maki pernikahanku. Pernikahan yang sia-sia, menurut mereka.

Akhirnya setelah berdiam diri di gereja tanpa melakukan apapun, aku memutuskan untuk pulang.

Satu hal yang langsung ku lakukan setelah sampai di mansion adalah bergegas menuju kamarku. Setengah berlari, lebih tepatnya. Ketika sampai di kamar, aku memandang seluruh isi kamar dan merasa sesak karenanya. Too clean, too white, too bright. I starting to hate this room, I don't know why.

Aku memutuskan untuk mengunci pintu kamar dan duduk diatas tempat tidurku yang sangat bernuansa putri. Aku menatap diriku melalui cermin di sudut ruangan, menyadari bahwa aku bahkan masih menggunakan gaun pernikahanku. Gaun putih panjang yang sangat sederhana. Tidak ada payet atau apapun, tidak ada renda. Hanya sutra.

Harusnya aku menikah dengan gaun ini. Aku ingat saat 6 bulan yang lalu aku datang ke sebuah butik dan perancang busananya, David Emmanuel bertanya, "Gaun seperti apa yang kau inginkan, Georgie? Kamu ingin gaun yang seperti princess?" Tanyanya.

Saat itu aku hanya tersenyum. Aku melihat gaun-gaun indah yang memenuhi seluruh butik. Lace, sparkle, long train, tule, puffy skirt. There are plenty of gorgeous dress on it. Tapi anehnya, aku sama sekali tidak menginginkan apa yang aku lihat di butik itu. Aku menginginkan hal yang lain. Maka dari itu aku menggeleng. "Aku menginginkan sesuatu yang sederhana. Tidak ada payet, motif, renda, tule, you named it. Tidak ada hal yang seperti itu." Jawabku.

David terkejut. Kemudian ia bertanya dengan bingung. "Kalau begitu, gaun seperti apa yang kamu inginkan?"

"Sutra. Sopan. Well-fitted, tapi jangan terlalu ketat. Dan terakhir, berwarna Ivory. Bisakah kau membuatnya untukku?"

Dan jadilah gaun ini. French-lace di gaun ini membungkus tubuhku dengan sangat sempurna. Cantik, menurutku. Tapi tidak berlebihan. Aku membayangkan akan menikahi dia dengan gaun ini. Tapi sepertinya kehendakku bukanlah kehendak-Nya.

Mungkin ini yang Tuhan mau.

Bukan, bukan maksudku Tuhan ingin aku menderita. Bukan itu. Namun, Tuhan ingin aku mengetahui sesuatu.

Bahwa tidak semua hal di dunia ini bisa ku miliki. Hati pria itu, adalah salah satu diantaranya.

Atau mungkin juga Tuhan ingin mengingatkanku kalau aku sudah berlaku jahat pada mereka. Menghalangi mereka untuk bisa bersama. Menyakiti hati perempuan itu. Menahan pria itu untuk diriku sendiri. Betapa jahatnya aku bukan?

Aku berhak menerimanya.

Pemikiran itu menyadarkanku, mungkin rasa sakit yang ku rasakan tak sebanding dengan yang wanita itu rasakan. Jika saat ini air mataku terjatuh, rasanya tak sebanding dengan berapa banyak air mata wanita itu yang tumpah karena aku. Aku mengigit lenganku sendiri, menahan suara tangisan yang pecah.

Karena ada satu hal yang selalu ku pegang. Jika kamu ingin menangis, pastikan jangan sampai ada orang yang tahu.

Kunci kamarmu.

Gelapkan kamarmu.

Tutup wajahmu dengan bantal, kalau perlu gigit tanganmu.

Biarkan tangismu redam di dalam kesunyian. Hingga dunia tidak tahu, apa yang kau alami. Yang mereka tahu, kamu akan selalu tampil dengan kekuatanmu.

Aku menghabiskan 2 jam duduk di tempat tidur hingga tangisku reda dengan sendirinya. Yang tersisa hanyalah tatapan kosong yang menatap bayanganku di cermin. Hingga ketukan terdengar di pintu kamarku. Aku menghapus air mata dan mencuci muka di wastafel. Sedikit lebih baik, meskipun tidak bisa menutupi mataku yang membengkak dan merah. Aku juga meneteskan sedikit obat mata untuk menutupi merahnya.

Ketika membuka pintu, ayah dan ibuku sudah berdiri disana. Aku sedikit memaksakan senyum di wajahku, meskipun tak ada satupun dari mereka yang menggubrisnya. Ibuku menatapku dengan tatapan kecewa, tapi aku sedikit melihat ada rasa khawatir disana. Dan ayahku...

He's mad at me. Well, it's not a new thing. Kurasa semua orang marah padaku hari ini.

Aku membukakan pintu lebih lebar untuk mereka berdua. Mereka duduk di tempat tidur dan memandangku. "Apa kamu sadar apa yang telah kamu lakukan ini, Catherine?" Sudah lama rasanya aku tidak mendengar Dad memanggilku dengan nama depanku. Tapi aku tahu, jika ia melakukannya berarti ia marah padaku. Marah besar.

"Aku tahu." Jawabku dengan mantap.

"Bodoh. Apa yang kamu lakukan itu bodoh. Kamu mempermalukan seluruh keluarga. Kamu menghancurkan apa yang sudah kita rencanakan. Semuanya hancur. Kamu tahu itu?"

Aku mengangguk. "Aku tahu." Tapi tidakkah Dad juga berpikir? Aku juga terluka, Dad.

"Kenapa kamu melakukannya, Georgie?" Kali ini bukan ayahku, melainkan ibuku yang bertanya. "Aku tahu bahwa kamu juga mencintainya. Lantas mengapa kamu menghancurkan pernikahanmu sendiri?"

Aku tersenyum pada ibuku. Aku terluka tentu saja, tapi aku berharap mereka tak dapat melihatnya. "Aku merelakannya karena aku ingin dia bahagia. Salah jika aku harus terus menahannya disisiku. Salah jika aku bersikap egois. Aku lelah menjadi pemeran antagonisnya disini." Ujarku pada mereka. "Lagipula, cinta bukan hanya soal menerima bukan? Tapi cinta juga soal melepaskan."

Mom tak membalas ucapanku dan hanya terus memandangiku. Aku terus tersenyum pada mereka. Karena aku tahu, senyuman akan membuat semuanya tampak baik-baik saja.

Ayahku tersenyum meremehkan perkataanku. "Tapi cinta juga egois. Kamu bodoh ketika kamu melepaskannya." Kata Dad padaku. Aku hanya tersenyum. "Sayangnya, aku memilih untuk tidak mencintai dengan keegoisanku, Dad." Jawabku.

Dad menatapku dengan sedikit terkejut, kurasa. Kemudian ia menatap sekeliling kamarku sebelum ia akhirnya kembali menatap diriku. "Besok pers pasti akan meributkan masalah ini. Tidak, aku yakin mereka sudah berguncing soal ini. Beritanya akan segera menyebar. Apa yang akan kamu lakukan?"

"Maafkan aku, Mom, Dad. Ini semua salahku. Namun aku tak menyesal karena melakukan ini. Aku akan pergi dari London."

Mom dan Dad menatapku seakan aku sudah gila. Tapi kurasa ini lebih baik. Aku hanya akan makin memperburuk nama baik keluargaku jika aku tetap tinggal di London. Meninggalkan tempat ini adalah keputusan terbaik. "Pergi? Kamu akan pergi kemana, Georgie?" Tanya ibuku.

Aku menghela nafas. "New York. Aku akan pergi ke New York."

BECAUSE IT'S YOU | NEW YORK SERIES #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang