1.21 | Perfect

28K 3.9K 705
                                    

Sepanjang jalan kak Doyoung berusaha buat gue ketawa lagi, tapi karena efek mens gue jadi agak kesel. Kita sudah sampai di Taman Safari, kak Doyoung berhenti dulu sebentar untuk beli beberapa sayuran untuk makan hewan.

"Terimakasih." Kata kak Doyoung kepada penjualnya. Kak Doyoung noleh ke gue sebentar, habis itu dia pinggirin mobilnya. "Senyum dong."

Gue yang tadi natap keluar jendela, langsung noleh ke kak Doyoung. Dia natap gue teduh sambil senyum. Kenapa kok gue jadi pengen nangis. Gue baru aja bareng sama dia, gue baru ngerasain dia berubah. Gue nggak siap buat ditinggal, gue nggak mau.

Gue langsung meluk dia lagi. Kali ini gue nangis nggak kencang, gue capek dari tadi nangis. Gue cuma ngerasain meluk dia lebih lama. Please, buat author jangan buat cerita gue jadi Sad ending. Gue masih pingin lebih lama lagi sama dia.

"Udah dong, tadi kan katanya mau kesini mau kasih makan rusa. Jangan nangis." Kak Doyoung menjauhkan badan gue dan natap gue sambil senyum.

Dengan keadaan kayak gini lo masih bisa senyum kak. Gue bener-bener nggak bisa berpikir apa-apa sekarang.

"Habis pulang dari sini, ke rumah sakit ya?" Nggak tau kenapa gue langsung mengeluarkan kalimat begitu.

Kak Doyoung diam. Senyumnya hilang, dia natap gue lekat. Dia nggak jawab apapun, dia masih dalam posisi yang sama.

"Kalo kamu nggak mau, aku bakal terus begini." Kata gue melemah. Gue cuma nggak mau dia semakin parah dengan ngebiarin penyakitnya.

Gue tau penyakitnya dia itu bukan kayak kanker yang parah. Penyakit dia ini juga nggak kalah parah kayak kanker, terlebih penyakitnya ini nyerangnya bertahap. Kalian bayangin kalo fungsi hatinya nggak berfungsi sebagaimana mestinya? Kalian tau kan, hati itu tempat menyaringnya racun dan tempat terbentuknya sel darah. Bayangin kalo racun nggak di saring sebagaiman mestinya, pasti sel darah yang ada di tubuhnya sudah terinfeksi racun.

"Kak..."

Gue dengar suara helaan napas dari kak Doyoung. "Liat saya, Taerin."

Gue berusaha mengangkat kepala gue dan natap dia.

"Saya bawa kamu kesini untuk kamu senang bukan untuk kamu sedih."

"Kamu yang duluan buat aku begini."

"Iya, saya tau. Maka itu saya mau minta maaf. Tapi tolong, kembali ke niat awal kita kesini untuk apa." Katanya memohon ke gue.

Gue masih natap dia. "Tapi, janji habis dari sini kita ke rumah sakit?"

Dia diam lagi. Nggak merespon omongan gue. Gue nggak tau dia mikir apa. Apa sih susahnya ke rumah sakit dan kontrol?

"Kalo nggak ma-"

"Iya saya janji." Selanya yang ngebuat gue semakin lekat natap dia. "Tapi kamu juga janji, berhenti nangis."

Gue ngangguk berat. "Iya."

Kak Doyoung senyum, setelah itu mobil kak Doyoung masuk dan kita mulai berkeliling. Gue sempat ngelirik kak Doyoung yang kayak nggak ada beban. Dia ketawa, manggil-manggil binatang yang kita lewatin.

Gue pikir, kenapa gue harus sedih disaat dia bisa dengan kuat nahan sakit? Gue nggak tau seberapa sakit dirinya, tapi dia tetap kuat. Kenapa gue harus lemah? Kenapa gue harus sedih? Kenapa gue harus rapuh? Gue yakin dia pasti butuh seseorang yang bisa bikin dia semakin kuat. Dan mungkin aja itu gue. Gue nggak mau ngeliat dia semakin sakit dengan nambah beban pikiran dia yang ngeliat gue sedih terus.

Gue nggak boleh egois. Gue harus bisa lebih kuat dari dia. Gue harus bisa buat keinginan dia terwujud. Gue harus bisa bahagia dengan dia sebagai alasannya. Gue harus bisa.

Perfect | Kim Doyoung ✓ [Sudah Terbit]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora