Kedua: Pemilik Beruban

5.1K 545 60
                                    

*2*

Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, akhirnya mobil avanza hitam berhenti di depan rumah batu kumuh.

Seluruh pasang mata di dalam mobil memandangnya. Seolah tidak yakin.

"Ayah, Ibu, itu benar rumah Nenek?" tanya Lani.

"Yang Ibu tahu rumah nenek memang di sini. Wajar Lan, kita kan baru pertama kali ke rumah nenek sejak sepuluh tahun pindah ke kota," jawab Anggun sekenanya.

Mereka kembali memandang rumah tersebut. Sejauh jarak mata memandang, rumah berlantai satu dengan tembok marmer berlumut memang penampakan ganjil. Pohon mangga di halaman depan pun meranggas dengan ranting bergantung ayunan kayu--jika diteliti, ayunan itu seolah bergerak perlahan--bahkan, tidak ada pagar sebagai pengaman rumah, hanya ada kotak surat dan lantai batu sebagai penyambut.

Dengan ukuran beberapa hektar saja serta penampilan kumuhnya, dipastikan tidak ada yang berani merampok rumah itu.

Sebelum sempat menyelesaikan penilaian, kenyaringan muncul di bangku tengah mobil. Nararya meronta-ronta ketika mendapati gagang pintu di sebelahnya berbunyi kilat seolah seseorang memaksa untuk masuk. Sementara Lani, Praja, dan Farabi tersudutkan menekan pintu lainnya.

Mereka yang berada di bangku depan langsung terkejut dan berusaha menenangkan anak-anaknya. Walaupun bunyi gagang pintu itu semakin kuat.

Tuk ... Tuk ... Tuk

Dan ada yang mengetuk kaca mobil di samping wajah Lani yang melekat. Saat matanya membengkok, wajah tua beruban menyambut dengan senyumnya yang bermakna. Lani menjerit dan nyaris menggila ketika Praja menyumbat mulut kakaknya itu.

"Itu Nenek," lirih Praja sembari melepas tangannya.

Saat bola mata Lani memeriksa kedua orangtuanya, mereka berdua mengangguk. Benar. Itu adalah si tuan rumah. Tapi yang membuat kening Lani berkerut, dari mana Praja tahu kalau sosok itu adalah Nenek? Adik bungsunya itu baru saja bertemu, bahkan setahu Lani tidak ada yang pernah menceritakan soal Nenek kepada Praja. Aneh.

Anggun segera membuka pintu mobil, menurunkan Milengga dari pangkuannya. Gadis berumur sebelas tahun itu merasa bulu kuduknya meremang, entah suasananya yang dingin atau terdapat sosok yang memerhatikannya. Ketika ingin masuk kembali ke mobil, ada sebatang tangan yang bertengger di bahunya.

"Kenapa mau masuk lagi?" tanya pemilik tangan itu. Terdengar ramah tapi mencekik.

"Dia pasti sedikit takut, Bu. Wajar, anak-anak Anggun kan baru datang lagi ke sini," kata Anggun membalik tubuh Milengga yang ketakutan dan merangkulnya.

Nenek itu malah tertawa kecil, "Jadi kamu datang satu keluarga?"

"Iya, Bu. Mumpung anak-anak libur sekolah, jadi saya mengikutkan mereka untuk mengunjungi Ibu," Anggun merekahkan senyumnya, lalu mengetuk kaca mobil hingga turun, "Sayang, ini benar-benar rumah Ibu. Ayo."

Satu per satu mereka keluar dari mobil, bersalaman dengan Nenek. Kemudian masuk ke dalam rumah tersebut.

Mereka sudah berada di ruang tamu, ternyata penampakan dari depan tidak seburuk di dalam. Desain interior berunsur jaman dulu membuat isi dalam rumah itu menarik; ada perapian di bawah lukisan wajah Nenek. Jendela berlapis perak dan emas. Dan hampir semua barang di dalamnya antik.

"Bagi yang belum tahu, perkenalkan ini adalah Nek Adanu. Selama libur sekolah kita akan menginap di rumahnya," jelas Anggun.

Tanggapan anak-anaknya berbeda. Lani malah tersenyum kaku, ragu untuk memandang Nek Adanu. Farabi yang berdiri di dekat beberapa koper memutar matanya, baginya libur kali ini membosankan, tinggal di rumah sekumuh itu. Terlebih lagi dia harus memberhentikan kebiasaan merokoknya karena takut ketahuan.

Milengga yang masih berada di samping Anggun masih ketakutan, malah sekarang berubah menjadi anak yang pendiam. Sementara Nararya sibuk main game sambil mendengar musik, tidak peduli apa yang kini dibicarakan.

Terakhir si bungsu, dia tersenyum miring sambil menggigit jari kelingkingnya. Memandang sosok wanita di depan. Wajah keriput dengan bola mata merah, rambut beruban seolah menambah kesan seramnya. Pakaian kebaya yang dipakai selusuh senyum yang dipancarkan.

Rega merangkul Anggun dan membagikan tawa bahagianya. "Anak-anak, kalau begitu silahkan ke kamar masing-masing," pinta Rega sambil membagikan satu demi satu koper yang berisi pakaian dan barang bawaan mereka, "Lani, kamar kamu dan Milengga di dekat kamar mandi. Farabi sekamar dengan Nararya di sebelah dapur. Dan Praja ...."

"Biar sama Nenek aja," lirih Nek Adanu sembari melangkah dan menarik tangan Praja ke kamarnya.

Rega menoleh ke Anggun, istrinya itu tersenyum lalu menempelkan wajahnya ke lengan.

Rega menoleh ke Anggun, istrinya itu tersenyum lalu menempelkan wajahnya ke lengan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Rumah tersebut memang hanya berlantai satu, tapi ruangannya begitu banyak. Ada enam kamar, dua kamar mandi, satu dapur serta ruang makan, ruang tamu yang menyatu ruang keluarga, dan ternyata ada loteng.

Lani yang sekarang berada di kamar berukuran segi empat--duduk di bawah ranjang yang masih ada lagi di atas--memandang seisi ruangan tersebut. Seluruh tembok ternyata tidak dicat, hanya wallpaper bunga melati kertas yang menempel. Memang terlihat ketinggalan jaman, tapi masih bersih dan rapi. Gadis itu tidak habis pikir, bagaimana seorang nenek dapat mengurus rumah sebesar itu. Tanpa bantuan pembantu atau siapa pun.

Lani mendengus keras. Memutuskan untuk berhenti sejenak memikirkan masalah rumah dan kengerian Nek Adanu.

"Kakak mau kemana?" tanya Milengga yang duduk di ranjang atas ketika Lani berjalan ke luar kamar.

Lani berhenti dan menengok, "Kakak mau cari angin, Mil. Kamu di situ saja."

Setelah Lani pergi, Milengga merebahkan tubuhnya ke ranjang. Bunyi decitannya nyaring seolah ingin rubuh. Saat tubuhnya berpaling memandang ke bawah, sebuah lemari kayu dari mahoni bergetar. Milengga menajamkan matanya dan membuat lemari itu semakin bergoyang. Tubuh anak itu kaku dan segera ingin berlari, tapi entah kenapa sepotong pikiran membuatnya penasaran.

Kini lemari itu bergoyang disertai bunyi dentuman keras seolah ada yang meronta-ronta ingin keluar. Milengga masih terpaku di ranjang atas, menutup kupingnya, namun suara dentuman dari lemari itu seakan pisau yang menembus di sela-sela kulit. Memaksa untuk didengarkan.

Hingga nafsu gadis berpakaian santai tersebut merenggut ketakutannya dan perlahan turun dari ranjang. Tangan yang bergetar digenggamnya dengan erat, melangkah sedikit demi sedikit ke lemari yang tak kunjung berhenti berdentum.

Tap ... Tap ... Tap

Langkah kaki Milengga semakin berirama dengan dentuman lemari itu. Matanya membelalak ketika tinggal selangkah bahunya dicengkeram oleh seseorang dari belakang. Dan akhirnya ....

Bunuh Ibumu Sebelum Pukul 12 Malam✔ [LENGKAP]Where stories live. Discover now